Kisah Muji, Pengendara Transjakarta Non BRT Yang Teguh Jauhi Mo Limo

Deru suara iring-iringan bus sepanjang Jalan TB Simatupang, arah Kampung Rambutan, memecah keheningan malam.

Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Y Gustaman
TribunJakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas
Muji, sopir non BRT Transjakarta rute Pulogadung-Pondok Gede, Rabu (25/4/2018). TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas

TRIBUNJAKARTA.COM, PASAR MINGGU -
Deru suara iring-iringan bus sepanjang Jalan TB Simatupang, arah Kampung Rambutan, memecah keheningan malam.

Para sopir non bus rapid transit dari berbagai wilayah di DKI Jakarta harus singgah untuk mengisi bahan bakar di SPBU yang hanya terpusat di Jalan TB Simatupang.

Begitulah kehidupan malam Muji (55), satu di antara sopir yang sedang menunggu antrean hingga giliran busnya diisi solar tiba.

"Kita nunggu di sini paling enggak satu atau dua jam lamanya. Dari jam setengah sebelas nanti baru bisa setengah duabelas malam dapat giliran isi," ujar Muji kepada TribunJakarta.com, Rabu (25/4/2018).

Dengan mata yang sayu dan paras mukanya nan letih, tak jarang Muji menguap diterpa rasa kantuk.

"Jam 9 malam saja biasanya saya udah ngantuk tapi masih harus nunggu solar di sini," kata dia.

Ia pun ingin pengisian bahan bakar solar ini tak terpusat hanya di satu SPBU saja.

"Harusnya kan semua rute ada. Atau paling enggak terbagi dua. SPBU sini sama yang di Kampung Rambutan. Saya nyetir bus non brt jurusan Pulogadung-Pondok Gede Jakarta Timur. Lumayan bisa 25 kilometer perjalanan normal ke sini ya sekitar satu jam an," ungkap kakek dua cucu ini.

Kendati pulangnya hingga larut, penghasilan Muji sebagai seorang pramudi Kopaja bus non BRT terbilang kecil.

"Kalau Kopaja ini rute pendek dan terbilang penghasilannya terbilang rendah, per bulan dua juta. Di antara bus bus BRT atau Non BRT ini termasuk yang paling rendah. Beda kalau Damri bisa sampai Rp 10 atau 12 juta," ujar Muji.

Sebelum menjadi sopir bus transjakarta non BRT, Muji pernah telah lama bergelut menjadi kenek dan supir bus umum.

"Awal saya tamat SMA saya langsung jadi kernet bus di tahun 90an kemudian baru jadi sopir tahun 2000an. Dulu saya di PPD, karena sudah masuk bus Transjakarta. Jadi kita sebagai sopir merasa tersaingi. Akhirnya saya pindah ke sini," tutur dia.

Bahkan ia pun memiliki banyak orang-orang yang seprofesi dengannya.

"Ya kita itu enggak ada yang sempurna. Dunianya sopir itu dulu hingga sekarang engga jauh yang namanya Mo Limo dalam istilah Jawa. Lima kejahatan itu main judi, maling, madat (narkotika), minum alkohol, dan madon (main perempuan)," ungkapnya.

Halaman
12
Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved