Alumni 212 Temui Jokowi dan Minta Hentikan Kasus Rizieq, Begini Tanggapan Moeldoko

Kepala Staf Presiden, Moeldoko mengatakan, dalam setiap kesempatan, presiden menganggap mereka sebagi rekan demokrasi.

TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN Moeldoko
Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Jenderal (Purn) Moeldoko. 

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan alumni 212 beberapa waktu lalu sebagai hal biasa dalam dinamika politik.

Kepala Staf Presiden, Moeldoko mengatakan, dalam setiap kesempatan, presiden menganggap mereka sebagi rekan demokrasi bukan lawan tanding.

Sebab mereka merupakan bagian dari komponen bangsa.

“Presiden menempatkan sebagai partner demokrasi. Maka semua komponen bangsa harus ditempatkan pada posisi yang seimbang," tutur Moeldoko seusai berdiskusi di Mataram, Nusa Tenggara Barat ( NTB), Kamis (26/4/2018).

Baca: Hari ini Pemkot Jakarta Barat Gelar Perayaan Paskah

"Ya itu...karena politik itu dinamik makanya kita akan mencari keseimbangan-kesimbangan baru…dynamic equilibrium (keseimbangan yang dinamik) itu yang selalu dicari presiden”, tambahnya.

Harapannya, sambung Moeldoko, masyarakat yang adil dan sejahtera akan tercapai.

"Mengelola negara itu tidak banyak gonjang ganjing, tenang, bisa menjalankan tugas dengan baik. Sehingga tujuan akhir dari sebuah pemerintahan untuk menciptakan masyarakat adil sejahtera bisa tercapai,” lanjut Moeldoko.

Mantan Ketua Lemhanas ini menyebutkan, presiden mengharapkan semua komponen bangsa bisa saling bicara dan menganggap setiap perbedaan pendapat adalah dinamika politik.

Baca: Bersama Jusuf Kalla, Sandiaga Uno Tinjau Venue Asian Games Bernilai Ratusan Miliar

“Tapi kalau negara ini gonjang-ganjing terus, akan menganggu kosentrasi presiden yang pada akhirnya sasaran-sasaran itu tidak bisa berjalan efisien dan efektif,” tekan Moeldoko.

Terkait dengan usulan alumni 212 mengenai status tersangka Rizieq Shihab, Moeldoko mengatakan, presiden tidak bisa mengintervensi hukum.

Namun dalam konteks kemanusiaan ada pertimbangan lain.

“Dalam konteks hukum, presiden tidak bisa intervensi. Tetapi dalam konteks kemanusiaan mungkin ada pertimbangan lain, sekali lagi harus dibedakan konteks itu," ucapnya.

"Mungkin ada pertimbangan, nah itu presiden bisa mempertimbangkan. Pertimbangannya seperti apa, presiden yang akan membuat keputusan,” pungkasnya.

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved