Ramadan 2018
Masjid Al Alam Marunda, Sejarah, Asal-usul dan Para Pendirinya
Jika ingin menelusuri sejarah peradaban Muslim di Jakarta, kurang pas bila tak menengok Masjid Al Alam di Jalan Marunda Kelapa No 1, Marunda.
Penulis: Gerald Leonardo Agustino | Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino
TRIBUNJAKARTA.COM, CILINCING - Jika ingin menelusuri sejarah peradaban Muslim di Jakarta, kurang pas bila tak menengok Masjid Al Alam di Jalan Marunda Kelapa No 1, Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.
Masjid yang berdiri sejak abad ke-16 sekitar ini menyimpan sejumlah kisah menarik baik dari sejarah hingga muasal namanya.
TribunJakarta.com sempat berbincang dengan Kusnadi, pengurus Masjid Al Alam pada Kamis (31/5/2018) lalu.
Sejarah singkat
Tak ada yang mengetahui pasti sejarah berdirinya Masjid Al-Alam di Marunda, karena cerita itu hanya dituturkan dari mulut ke mulut dan tak terdokumentasi dalam bentuk tulisan.
"Sejarahnya itu enggak ada yang tahu pasti karena cuman dengan satu malam itu sudah berdiri," Kusnadi mengawali perbincangan.
Kusnadi bercerita satu di antara kisah awal mula adanya Masjid Al Alam adalah saat pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Bahurekso menyerang tentara VOC yang menguasai Batavia pada waktu itu.
Selain Adipati Bahurekso, Pangeran Fatahillah juga sempat disebutkan Kusnadi andil dalam berdirinya Masjid Al Alam.

"Bertepatan dengan masuknya pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Bahurekso bersama Pangeran Fatahillah pada saat itu. Beliau menerima kekalahan akan pulang ke Cirebon beliau singgah di Marunda ini beristirahat dan memulihkan tenaga dan luka-luka," cerita Kusnadi.
Setelah merasa pulih dan memiliki kesempatan menyerang kota Batavia, mereka akhirnya menyerang kota Batavia kembali dan akhirnya mendapatkan kemenangan.
Kusnadi menambahkan, masjid dibangun dalam waktu sehari semalam oleh para auliya yang dipimpin oleh Pangeran Fatahillah.
Para Auliya dibawah pimpinan Pangeran Fatahillah ini bahu membahu membangun Masjid Al Alam saat mereka singgah di daerah Marunda pada waktu itu.
Selain beristirahat dan memulihkan tenaga usai berperang, mereka juga mendirikan Masjid Al Alam pada waktu itu.
"Berdiri hanya dalam waktu semalam didirikan oleh para Auliya. Jadi sorenya nggak ada paginya sudah ada, seperti itu," kata Kusnadi.
Hal tersebut dapat terjadi, kata Kusnadi, lantaran para Auliya yang berjuang pada waktu itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.
Kusnadi juga menganggap mereka adalah utusan Allah, sehingga mereka mendapatkan anugerah yang besar untuk membangun masjid tersebut.
"Keilmuannya juga tidak diragukan lagi. Masjid ini didirikan dalam waktu semalam," ujarnya.
Muasal nama Marunda
Kusnadi bercerita muasal nama Marunda.
Menurut dia nama Marunda berasal dari aktivitas yang dilakukan pasukan Mataram saat berperang melawan penjajah pada abad ke-16 di wilayah Batavia.
Aktivitas tersebut yakni pemulihan fisik setelah mengalami kekalahan saat berperang melawan tentara Belanda yang menguasai Batavia pada masa itu.
"Bertepatan dengan masuknya Pasukan Mataram yang dipimpin oleh Adipati Bahurekso bersama Pangeran Fatahillah pada saat itu dan beliau menerima kekalahan akan pulang ke Cirebon beliau singgah di Marunda ini," katanya.
Mereka melakukan pemulihan tenaga sambil bermarkas di wilayah yang sekarang bernama Marunda ini.
Pada saat mereka merasa pulih dan memiliki kesempatan menyerang kota Batavia, pasukan tersebut kembali menyerang Batavia dan akhirnya mendapatkan kemenangan.
Dari situlah, lanjut Kusnadi, nama Marunda berasal. Menurut Kusnadi, nama Marunda berasal dari singkatan Markas Penundaan.
"Bermarkasnya Pangeran Fatahillah bersama dengan Adipati Bahurekso pada saat itu nah disebutlah ini Marunda: Markas Penundaan. Markas penundaan pasukan pada saat itu," jelas Kusnadi.
Selain itu, Kusnadi juga mengungkapkan Marunda sendiri dahulunya masih termasuk wilayah Bekasi.
Dijelaskan Kusnadi, pada medio 1970an, Marunda akhirnya ditetapkan masuk wilayah Jakarta Utara.
Hingga saat ini, Marunda merupakan sebuah kelurahan di Jakarta Utara yang termasuk dalam Kecamatan Cilincing. Kelurahan Marunda sendiri memiliki sembilan RW dan 76 RT.
Nama Masjid Al Alam sempat beberapa kali berubah
Masjid Al Alam ternyata juga sempat mengalami beberapa kali pergantian nama.
Nama Al Alam sendiri merupakan nama yang diberikan saat Kelurahan Marunda masuk ke wilayah Provinsi DKI Jakarta pada medio 1970an silam.
Sebelum Al Alam, nama masjid ini adalah Masjid Agung Auliya. Nama Auliya diberikan oleh sesepuh yang dahulu tinggal di sekitaran masjid tersebut.
Nama itu berasal dari sejarah pendiri Masjid Al Alam. Menurut Kusnadi, para sesepuh menamai masjid itu dengan nama Masjid Agung Auliya lantaran masjid dibangun pada abad ke-16 oleh para Auliya atau orang-orang yang memiliki ilmu tinggi.

"Sebenarnya masjid ini bukan Al-Alam. Kalau kata orang tua kita dulu Masjid Agung Aulia karena yang didirikan oleh para auliya, seperti itu," kata Kusnadi.
Setelah nama auliya, masjid tersebut berubah nama menjadi Masjid Al Alam.
Perubahan nama tersebut terjadi setelah Marunda masuk ke wilayah Jakarta Utara.
Sebelumnya, Marunda sempat masuk ke wilayah Bekasi, Jawa Barat hingga medio 1970an.
"Sekitar tahun 1974, daerah ini kan masih wilayah Jawa Barat, Bekasi. Dan setelah masih Jawa Barat ini bernama Masjid Agung Auliya. Dan setelah masuk wilayah Jakarta pada tahun 1974, berubahlah namanya menjadi Masjid Al-Alam. Karena sudah diambil oleh DKI Jakarta pada tahun 1974," kata Kusnadi.
Nama Al Alam diberikan menurut kisah masjid ini yang dibangun hanya dalam semalam. Pembangunannya yang hanya dalam semalam seakan menunjukkan bahwa masjid ini tiba-tiba muncul begitu saja secara alami.
Seiring berjalannya waktu, masjid ini kembali berubah namanya menjadi Masjid Al Alam Si Pitung.
Perubahan tersebut lantaran lokasinya yang sangat dekat dengan Rumah Si Pitung di Marunda.
"Biar orang lebih mudah mengenali Masjid Al-Alam sama Rumah Si Pitung. Karena kalau di bilang Masjid Al Alam itu banyak. Jadi kalau dibilang Masjid Al Alam Si Pitung sudah jelas itu di Marunda. Itu ciri khasnya, Masjid Al Alam Si Pitung," kata Kusnadi.
Meskipun terjadi beberapa kali perubahan nama, Kusnadi menjelaskan, warga yang tinggal di sekitar Masjid Al Alam masih menganggap nama Auliya penting dibubuhkan ke nama masjid itu.
"Karena ini jangan sampai kita meninggalkan orang-orang tetua dulu karena beliau yang menamakan. Jadi kita ambil nama Aulianya, jadi berubah lagi namanya. Jadi bisa disebut juga Masjid Aulia Al Alam Si Pitung sampai sekarang," kata Kusnadi.
"Itu kita yang menamakan karena kita tahu sejarahnya, tapi kalau orang luar itu menamakannya Masjid Al Alam Si Pitung," tandasnya.
Sejak berdiri belum pernah direnovasi
Interior serta konsep bangunan Masjid Al Alam belum pernah mengalami renovasi sedikit pun sejak berdiri abada ke-16.
Meski renovasi belum pernah dilakukan perawatan rutin terus dilakukan seperti mengecat tembok dan kayu-kayu bangunan masjid.
Jika kayu mengalami keropos, pengurus masjid juga akan melakukan penambalan terhadap kayunya.
"Dari awal seperti ini, nggak ada renovasi. Hanya perawatan rutin saja, pengecatan setiap tahun. Paling kalau ada keropos satu kita ganti saja. Namanya kayu kan butuh perawatan juga," kata Kusnadi.
Pantauan TribunJakarta.com, arsitektur Masjid Al Alam terlihat sederhana.
Keseluruhan dindingnya dicat berwarna putih dan kayu-kayunya terlihat memiliki warna coklat tua.
Di dalamnya, terdapat empat buah pilar yang terlihat kokoh menopang bangunan masjid.
Terlihat pula karpet merah memenuhi setiap inci lantai bagian dalam masjid.
Kusnadi menambahkan, penambahan bagian masjid hanya dilakukan pada ruangan salat khusus perempuan yang luasnya 3 meter persegi.
Untuk kapasitas masjid, Kusnadi mengatakan 350 jamaah kerap memenuhi masjid saat salat Jumat dan salat Ied.
TribunJakarta.com juga memantau, di sebelah bangunan utama masjid, terdapat sebuah pendopo tempat bersantai para pengunjung masjid.
Pendopo tersebut, jelas Kusnadi, baru dibangun pada tahun 1997. Fungsinya sudah jelas bagi para pengunjung untuk bersantai saat berziarah atau berkunjung ke masjid itu.
"Hanya penambahan ini saja pendopo buat orang santai. Pendopo ini dibangun tahun 1997," kata dia.
Napak tilas Pitung
Masjid Al Alam lokasinya sangat dekat dengan cagar budaya Rumah Si Pitung di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara.
Karena lokasinya yang dekat dengan Rumah Si Pitung, pada sejarahnya dikisahkan Pitung sering mengunjungi masjid tersebut.
Legenda yang namanya santer terdengar sebagai jagoan Betawi sejak abad ke-19 ini dikabarkan sering mengunjungi Masjid Al Alam untuk menunaikan ibadah salat serta belajar lebih dalam tentang agama Islam.
"Mengenai sejarah, sebenarnya kedekatan dengan Rumah Si Pitung karena Si Pitung kan seorang Muslim beliau pernah singgah di rumah itu, pernah tinggal di Marunda ini. Beliau juga pernah tinggal di sini, salat kah, belajar Muslim kah, atau apa pun. Bentuknya hanya napak tilas saja," kata Kusnadi.
Dengan adanya Rumah Si Pitung dan juga kisah seputar berdirinya masjid yang cukup menarik, banyak pengunjung dari luar Pulau Jawa yang mengunjungi Masjid Al Alam untuk sekedar wisata atau berziarah.
"Dari Malaysia kadang-kadang misalnya mereka berlabuh ya, mereka sengaja datang kemari. Karena dibilang kan sejarahnya itu tadi, dia baca di mana akhirnya ya dia datang kemari pengen tahu. Kadang-kadang dari Palembang dari Riau sengaja datang kemari untuk ziarah," kata Kusnadi.
Apalagi, di dekat Masjid Al Alam terdapat sebuah makam keramat tempat Kyai Haji Jamiin bin Abdullah dimakamkan.
Selain makam Kyai Haji Jamiin bin Abdullah, Kusnadi juga menjelaskan terdapat sejumlah makam syuhada di belakang Masjid Al Alam.
Para syuhada tersebut adalah mereka yang berjihad saat perang melawan penjajah pada abad ke-16 lalu.
Meskipun begitu, sejumlah makam para syuhada tersebut dewasa ini sudah ditindih dengan makam-makam baru.
"Kalau dulu kan bentuknya hanya bongkahan batu dan ditulisnya bahasa Arab. Sekarang ini sudah ditindih sudah banyak makam baru," tandas Kusnadi.