Ferdinand Hutahaean mengaku alasan ketiga wanita itu menyampaikan kampanye hitam, karena mendengar soal rumor yang berkembang terkait LGBT dan volume suara azan yang dikecilkan.
"Saya bertanya kenapa, mereka menjawab kan selama ini sudah menjadi isu yang berkembang LGBT, tentang azan yang faktanya volumenya harus dikecilkan jadi itu alasan mereka menyampainkan tetapi mereka tak tahu dampak dan resiko," jelas Ferdinand Hutahaean.
Ia kemudian menjelaskan terkait 'volume azan' sendiri pernah dikomentari oleh Jusuf Kalla.
• BPN Prabowo-Sandiaga Sebut Konten Tabloid Indonesia Barokah Mengarah ke Kampanye Hitam
• Bawaslu Bakal Awasi Kegiatan Kampanye Hingga ke Pelosok Daerah
"Selama ini kan banyak di media nahkan pak JK pun pernah mengomentari masalah azan sejak persitiwa di Langkat Sumut ya kalau enggak salah," terang Ferdinand Hutahaean.
Penelusuran TribunJakarta.com Jusuf Kalla pernah menyarankan agar volume suara azan tidak terlalu keras, pada 23 Agustus 2018 silam.
Hal tersebut disampaikan Jusuf Kalla saat menanggapi kasus penistaan agama yang menjerat Meiliana.
Ferdinand Hutahaean lantas menilai ketiga wanita yang kini jadi tersangka itu hanya menyampaikan ketakutan mereka soal dua rumor tersebut.
"Saya melihat mereka sedang menyampaikan ketakutan jika dua hal ini terjadi," tutur Ferdinand Hutahaean.
• KPU: Pejabat Negara Kalau Kampanye Harus Cuti
• Isu Miring Warnai Rapat Perdana Erick Thohir, Disebut sebagai Kampanye Hitam dan Tak Mendidik
Ferdinand Hutahaean juga menilai, tindakan ketiga wanita itu belum tentu termasuk pidana.
"Belum tentu ini bisa disebut pidana karena persitiwa yang terjadi ini akan," kata Ferdinand Hutahaean.
Ferdinand Hutahaean menegaskan BPN tak pernah memerintahkan ketiga relawan PEPES itu untuk melakukan kampanye hitam.
"Tetapi yang pasti tidak ada perintah," tegas Ferdinand Hutahaean.
SIMAK VIDEONYA:
Sebelumnya diberitakan, Mabes Polri mengatakan tiga ibu-ibu yang ditangkap karena diduga melakukan kampanye hitam pada paslon nomor urut 01 Joko Widodo-Ma'ruf Amin, bisa terjerat Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menjelaskan jika pelaku melakukan tindak pidana melalui media sosial maka akan dijerat dengan UU ITE. Akan tetapi, kata dia, apabila melakukan tindak pidana dengan cara konvensional dapat dijerat KUHP.