Tarif Listrik Tidak Naik Sampai 2019, Menteri ESDM Tegaskan Bukan Karena Pilpres
Jonan menampik permintaan itu ada kaitannya dengan pelaksanaan pemilihan umum di 2019.
Penulis: Adiatmaputra Fajar Pratama | Editor: Adiatmaputra Fajar Pratama
Laporan wartawan TribunJakarta.com Adiatmaputra Fajar Pratama
TRIBUNJAKARTA.COM, TANAH ABANG - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan menegaskan tidak ada kenaikan tarif listrik sampai akhir 2019.
Isu kenaikan listrik sudah dibahas Jonan bersama Presiden Joko Widodo.
Dalam pembahasan itu orang nomor satu di Indonesia meminta ada kestabilan harga tarif listrik untuk menjaga kestabilan ekonomi hingga dua tahun mendatang.
Baca: Daftar SNMPTN, Ini 100 Daftar Peringkat Kampus Terbaik di Indonesia
"Saya bertemu dengan Presiden Joko Widodo minggu lalu, dan beliau mengatakan untuk berupaya mempertahankan tarif listrik hingga akhir 2019," kata Jonan disela paparannya di Renewable Innovation Forum, Hotel Kempinski, Jakarta Kamis, (22/2/2018).
Jonan menampik permintaan itu ada kaitannya dengan pelaksanaan pemilihan umum di 2019.
Menurut dia, pertimbangan utama permintaan Presiden untuk menjaga kestabilan harga listrik adalah kemampuan masyarakat dalam menyerap energi listrik.
"Saya kira bukan karena pemilihan presiden tapi lebih karena pemerintah mempertimbangkan kemampuan penyerapan listrik oleh masyarakat," sebut dia.
Baca: Balita Ini Jalani Operasi Semalaman untuk Keluarkan Sumpit yang Tertusuk di Mulutnya
Pemerintah pada awal tahun ini telah menetapkan tidak akan ada kenaikan tarif BBM dan listrik hingga Maret 2018.
Untuk saat ini tarif listrik untuk golongan rumah tangga 900 VA-RTM sebesar Rp 1.352/kWh.
Sementara untuk golongan 1.300 VA, 2.200 VA, 3.500 hingga 5.500 VA kemudian 6.600 VA ke atas serta 6.600 VA hingga 200 kVa dikenakan tarif per kWh sebesar Rp 1.467,28.
Dengan terjaganya kestabilan tarif listrik, pemerintah berharap target elektrifikasi bisa mencapai 99 persen pada 2019.
Saat ini rasio elektrifikasi baru mencapai 94,91 persen.
Namun capaian ini diklaim telah melampaui target yang sebelumnya dicanangkan sebesar 92,75 persen.
Sementara untuk tahun ini target rasio elektrifikasi nasional diharapkan mencapai 95,15 persen.
Satu di antara cara untuk meningkatkan elektrifikasi nasional dengan harga listrik terjangkau menurut Jonan adalah dengan membangun pembangkit listrik off grid atau di luar jaringan PLN.
Baca: Tertarik Beli Mobil Mewah Bekas Milik Koruptor dengan Harga Miring? Ini Tanggal Pelelangannya
Untuk itu pembangkit listrik berbasis energi baru dan terbarukan adalah pembangkit yang paling cocok untuk terus dikembangkan.
Jonan meyakini, potensi investasi pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT) masih sangat besar, karena itu pemerintah membuka pintu selebarnya bagi para investor.
Beberapa sumber EBT dengan potensi energi belimpah di Tanah Air yang menunggu untuk dikembangkan misalnya panas bumi dan angin.
"Perusahaan seperti International Power Supply (IPS) bisa memainkan peranan penting di sektor EBT ini," ucap Jonan.
PLN Ingin Turunkan Tarif listrik
Direktur Utama PLN, Sofyan Basir bahkan menegaskan, PLN akan berusaha menurunkan tarif listrik bagi pelanggan.
Kalaupun tidak bisa menurunkan tarif listrik, minimal tarif listrik kata Sofyan tidak berubah
"Paling bagus itu kan kita berupaya turun, kan meringankan masyarakat, industri, paling mahal ya tetap," imbuh Sofyan beberapa waktu lalu.
PLN, menurut Sofyan telah menurunkan tarif listrik sejak Juni 2015 lalu.
Baca: Berbagai Foto Alya Nurshabrina Pemenang Miss Indonesia 2018, Sempat Punya Kista
Tarif listrik untuk rumah tangga misalnya telah turun dari Rp 1.548 per kilowatt hour (kwh) menjadi Rp 1.467 per kwh.
Kala itu harga komoditas untuk energi primer PLN sedang dalam tren turun.
Namun saat ini, harga energi PLN seperti batubara dan minyak sedang dalam tren naik.
Apalagi batubara jadi energi primer utama bagi PLN dengan porsi sebesar 60 persen.
Namun Sofyan menegaskan tarif PLN akan tetap kompetitif.
"Tapi kalau yang tahun depan ini, ya paling nanti kami bertahan di tarif tetap. Walaupun memang berat, beban, dan kami berupaya, karena komponen batubara ini hampir 60 persen," ujarnya.
Sepanjang tahun ini, Sofyan mengaku laba PLN telah tergerus akibat menanggung selisih tarif listrik.
Namun Sofyan enggan menyebutkan penurunan laba akibat tarif listrik.
"Memang tipis ya kami laba tahun ini, karena tidak tahan kenaikan batubara," kata Sofyan.
Makanya pada tahun ini juga PLN berusaha melakukan efisiensi agar laba tidak tergerus lebih besar.
Beberapa upaya efisiensi di antaranya adalah zonasi harga operasional dan pemeliharaan PLN, efisiensi penggunaan pembangkit yang murah, menutup pembangkit mahal, dan mencari alternatif energi primer.
Baca: Novel Baswedan Ingin Pelaku Penyiraman Air Keras Bisa Ditemukan
Dengan upaya efisiensi tersebut, Sofyan menyebut PLN bisa mengumpulkan dana hingga Rp 6 triliun - 7 triliun sepanjang tahun 2017.
"Ya kita cari efisiensi. Kalau berhitung begitu, kami sudah tekor besar hari ini. Tapi kan masyarakat kasihan," urai Sofyan.
Lebih lanjut, Sofyan menyebut dengan upaya efisienai ini nantinya pada 2019 atau 2020, tarif listrik justru diproyeksi bisa turun.
Ini karena tarif yang dibayar oleh PLN bisa jauh lebih murah.
Jika saat ini harga yang harus dibayarkan PLN ke IPP berkisar 6-7 sen dolar AS per kwh, maka Sofyan memproyeksi pada 2019/2020 harga tarif listrik dari IPP hanya berkisar US$ 4-5 sen dolar per kwh.
Dengan begitu tidak hanya tarif listrik ke pelanggan yang turun, Sofyan juga menyebut PLN bisa melakukan ekspansi ke wilayah timur Indonesia.
"Sehingga bisa menekan BPP keseluruhan nanti. Jadi kalau harga batubara bisa turun lagi, kami peluangnya masih besar lagi untuk elektrifikasi daerah timur, dan tarif tidak perlu naik," tegasnya.
Kenaikan Listrik Tergantung Harga Batubara
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) punya rencana memasukan Harga Batubara Acuan (HBA) sebagai penentu tarif listrik.
Jika itu jadi dilakukan, maka akan ada kenaikan terhadap tarif listrik.
Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Andy Noorsama Sommeng mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan Keputusan Menteri (Kepmen) yang menentukan HBA masuk sebagai penentu tarif listrik.
Sebelumnya faktor kenaikan tarif listrik adalah kurs dolar Amerika Serikat (AS), harga minyak Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP) dan inflasi.
"HBA dimasukkan tapi ICP tidak dihapus. Karena ICP masih mempengaruhi walaupun tidak besar," terang Andy di Kantor Dirjen Ketenagalistrikan, Senin (29/1/2017).
Andy tidak menampik, dengan masuknya HBA sebagi komponen penentu tarif listrik bisa menaikkan harga listrik. Asal tahu saja, pada Januari ini HBA mencapai US$ 95,4 per ton.
"Ya pasti (naik). Nanti harus cari formulasi baru lagi kalau memang harus ada faktor-faktor yang harus disesuaikan lagi," tegasnya.
Namun sayangnya saat ini Andy belum menghitung berapa potensi kenaikannya.
Satu hal yang pasti, kata Andy, pemerintah menginginkan tarif listrik kepada masyarakat tetap terjangkau.
Formula baru ini menurut Andy akan mengurangi beban PLN.
Adapun targetnya Kepmen tersebut akan selesai pada bulan Maret berbarengan dengan Kepmen BPP tahun 2017.