Bandel, Soesilo Toer Kerap Dapat Perlakuan Kasar Pramoedya Ananta Toer, Begini Ceritanya
Menurut Soes, sang kakak kerap melakukan riset dan kajian mendalam untuk menghasilkan karya-karyanya, termasuk novel "Bumi Manusia".
TRIBUNJAKARTA.COM, BLORA - Bagi Soesilo Toer, Pramoedya Ananta Toer merupakan patron.
Soes, sapaan akrabnya, mengenang kakaknya sebagai sosok yang idealis dan pemberani.
Pram, lanjut dia, adalah sosok pejuang Indonesia yang bercita-cita tinggi untuk kejayaan nusa dan bangsanya.
"Apa yang dilakukan Pram membuktikan betapa besar cintanya kepada Tanah Air dan bangsanya. Betapa tinggi rasa solidaritasnya kepada sesama umat yang tertindas. Hati nuraninya terpanggil demi kebenaran, keadilan, dan kemerdekaan. Kondisi Indonesia saat itu bagi Pram merupakan kenyataan hidup yang pahit dan menyakitkan. Bangsa besar yang kacau dengan kekayaan alam yang besar, namun impor," kata Soes ketika berbincang di rumahnya di Blora, Jawa Tengah.
Baca: KAI Bagikan Takjil dan Makan Sahur Bagi Penumpang KA Hingga H-1 Lebaran
Melalui tulisan, lanjut Soes, Pram bertarung melawan pusaran sejarah karena dia tidak mau dilindas sejarah. Pram berjuang melawan ketidakadilan.
"Pram tidak mau menjadi gabus yang dipermainkan ombak di tengah samudera sejarah dan setelah itu takluk terempas menjadi sampah di pantai. Pram adalah sejarah yang selalu bertabrakan muka dengan sejarah resmi yang dibuat negara," katanya.
Soes juga menyebut Pramoedya sebagai sosok yang perfeksionis dalam menelurkan karya tulis.
Menurut Soes, sang kakak kerap melakukan riset dan kajian mendalam untuk menghasilkan karya-karyanya, termasuk novel "Bumi Manusia".
"Bumi Manusia adalah sejarah. Kisah nasionalis di masa kolonial Belanda. Jadi jangan sembrono menginterpretasikan novel karya Mas Pram ini. Harus dikaji lebih dalam. Jangan asal membaca, perlu dipahami," ungkap Soes.
Baca: Soesilo Toer, Tak Banyak Tahu Adik Pramoedya Ananta Toer Ini Bergelar Doktor dan Kini Jadi Pemulung
Sebagai saudara tertua, Pram menjadi pengganti orangtua yang sangat berjasa besar bagi perjalanan hidup Soes.
Soes ditinggalkan ibundanya sejak berumur 4 tahun.
Menyusul kemudian ayahnya juga berpulang.
Sejak SMP, Soes ikut Pram ke Jakarta.
Dari situlah banyak kenangan yang sulit terlupakan bagi Soes.
Pram, lanjut Soes, berwatak keras seperti ayahnya yang seorang guru itu.
Berkali-kali Soes sering mendapat perlakuan kasar dari Pram karena ulahnya yang bandel.
Meski demikian, Pram sangat mencintai Soes.
"Saya waktu kecil pernah naik sepeda di gang sempit. Saat itu saya tak sengaja menabrak anak kecil hingga ia jatuh ke parit. Kejadian itu sampai ke telinga Pram hingga Pram mengajak saya bertemu orangtua anak kecil itu. Pram memukul saya berkali-kali di hadapan orang tua anak itu. Saat itu saya terpaksa meminta maaf, padahal saya tidak salah," kata Soes.
Sesampai di rumah, Soes diinterogasi oleh Pram.
Karena melihat Soes yang berkali-kali mengakui bahwa dirinya tidak bersalah, Pram luluh mendengar pengakuan itu.
Meski demikian, Pram tidak meminta maaf.
Namun, dia mempunyai cara lain untuk menghibur adik kesayangannya itu.
"Mengetahui saya tak bersalah, Pram kemudian memeluk saya berkali-kali. Dia mengajak saya jajan, nonton bioskop dan mengelus-ngelus kepala saya di atas becak," kata Soes.
Soes sendiri mewarisi bakat dan semangat kakaknya dalam menulis.
Hingga saat ini, Soes sudah menerbitkan sekitar 20 buku hasil karyanya, contohnya yang berjudul Kompromi dan Komponis Kecil.
Kegemaran menulis diawali keluarga ini dengan kegilaan membaca buku.
Saat sekolah dan tinggal di Rusia adalah surga baginya.
"Saya penggila buku-buku sastra Rusia. Bahkan suatu ketika dosen belum pernah baca, saya sudah khatam," tuturnya. (Kontributor Grobogan, Puthut Dwi Putranto Nugroho)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Soesilo Toer Mengenang Pramoedya Ananta Toer, Cinta Tanah Air dan Islam Tulen (3)"