Jadi Pemulung, Stigma Terlibat PKI Membuat Hidup Adik Pramoedya Ananta Toer Hancur
Sesekali dia bercanda mencairkan suasana, namun lebih sering dia serius mengisahkan sekelumit perjalanan hidupnya.
TRIBUNJAKARTA.COM, BLORA - Ingatan Soesilo Toer (81), adik penulis dan sastrawan Pramoedya Ananta Toer masih tajam.
Senyum ramah terpancar dari guratan wajahnya yang telah menua saat bertatap muka.
Rambutnya putih, matanya sipit.
Bulu uban dibiarkan tumbuh menutupi sebagian wajahnya.
Baca: Warga Geger Munculnya Buaya Sedang Berjemur di Sungai Citarum Bandung
Tutur bicaranya lugas, mengalir deras menjawab pertanyaan demi pertanyaan.
Sesekali dia bercanda mencairkan suasana, namun lebih sering dia serius mengisahkan sekelumit perjalanan hidupnya.
Meski bergelar doktor dari universitas di Rusia, hidupnya kini seadanya.
Semua berawal saat dia ditangkap karena dituding antek komunis sesaat setelah pulang dari Rusia.
Baca: Viral Foto Mirip Soeharto di KRL, Apa Kata Mbak Tutut?
Bertahun-tahun berusaha sekuat tenaga bertahan hidup, tetapi stigma terlibat PKI membuat hidupnya hancur.
Dia akhirnya memutuskan bahagia dengan hidup sebagai pemulung barang bekas yang masih bernilai jual.
Soes, begitu dia kerap disapa, memutuskan pulang kampung di Blora, Jawa Tengah, dan tinggal di rumah warisan keluarga besar Toer.
Rumah yang menyimpan memorinya bersama kakaknya, Pramoedya Ananta Toer.
Di rumah itu pula Soes membangun perpustakaan kecil yang diberi nama Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa (Pataba) untuk mengenang sang kakak sekaligus mendorong generasi muda setempat gemar membaca.
Toer bersaudara

Pramoedya terlahir sebagai sulung dalam keluarga Toer.