Hammersonic 2018: Festival Lintas Genre yang Jadi Bukti Eksistensi Musik Keras di Tanah Air
"Senang sekali bisa bermain di sini, sayangnya ini adalah yang terakhir (The End)," ujar Anders.
Penulis: Gerald Leonardo Agustino | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino
TRIBUNJAKARTA.COM, PADEMANGAN - Perayaan termegah insan pecinta musik keras se-Indonesia, Hammersonic Festival 2018, akhirnya beres Senin (23/7/2018) dini hari kemarin.
Festival digelar sejak Minggu (22/7/2018) pagi.
Carnaval Beach Ancol, Pademangan, Jakarta Utara, yang menjadi venue acara itu, diubah sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi para pecinta musik rock, metal, punk, hardcore, dan sub genre lainnya untuk menonton band-band kesayangan mereka.
• Kapolri Jadi Pembicara Dalam Pertemuan Asia Pasific on Money Laundering di Nepal
Seperti Hammersonic tahun lalu, di perhelatan kali ini sang promotor Revision Live juga mendirikan tiga panggung di atas lahan pantai yang berpasir.
Hammer Stage dan Sonic Stage berada di sisi kanan gerbang masuk Hammersonic, dengan model satu panggung besar yang dibagi dua.

Satu panggung lainnya yaitu Empire Stage, yang merupakan panggung utama dengan ukuran panjang lebih kurang 70 meter. Ya, ini panggung terbesar dalam sejarah digelarnya Hammersonic sejak 2012 silam.
Dimulai sejak pukul 9.00 WIB, perayaan musik keras paling megah se-Asia Tenggara itu dibuka oleh band-band seperti Griffith, Bersimbah Darah, Senjakala, Misantropic Imperium, Amarusa, Witchseeker, Down For Life, Discrift, Wardaemonic, Funeral Inception, Altar Scream, Valley of Crome, Tcukimay, Cerebral Edema, Holykillers, dan Klandestin, hingga Marjinal naik panggung sekira pukul 13.00 WIB.
• Ramai Warga Beli Telur Pecah, Dinas Kesehatan Jelaskan Bahayanya
Matahari seakan kalah panas saat Marjinal mulai memasuki Sonic Stage.
Membawakan lagu-lagu bernafaskan sosial politik, salah satu unit punk paling disegani di Indonesia itu memantik semangat para penonton untuk meramaikan mosh pit.
Tembang 'Negri Ngeri' dari album Predator (2005) membuka pertunjukkan Marjinal siang kemarin.

Nyanyian penonton terdengar lantang saat lagu itu dibawakan, menunjukkan semangat perlawanan lewat kritik sosial dalam lagu tersebut akan tanah air yang sangat ironis ini.
Dipimpin Mike sang vokalis yang bertelanjang dada saat beraksi, Marjinal juga membawakan sebuah tembang anti perang lewat lagu 'For Palestine' yang baru pertama kali dibawakan secara langsung di panggung Hammersonic.
"Kemerdekaan Indonesia tidak berarti tanpa kemerdekaan Palestina di sana. Itulah saktinya Indonesia kawan-kawan, bahwa solidaritas tanpa batas, no class, no border, For Palestine!," ujar Mike lantang dengan nada orasi sebelum lagu baru Marjinal itu dibawakan.

Lewat lagu itu, mosh pit makin meriah dengan kepalan tangan para penonton.
Ditambah saat Marjinal memungkasi setnya pada Minggu siang dengan lagu protes terhadap tumpulnya hukum di negeri ini lewat 'Hukum Rimba'.
"Hukum telah dikuasai oleh orang-orang beruang, hukum adalah permainan tuk menjaga kekuasaan, maling-maling kecil dihakimi, maling-maling besar dilindungi," lantun Mike diikuti penonton dengan kerasnya.
Selesai Marjinal, band-band selanjutnya seperti Eternal Rest, Noxa, Defiled, Straightout, Getah, Revocation, Saint Loco, serta Winds of Plague tampil bergantian, disusul oleh Brujeria, band grindcore asal Meksiko yang sepertinya paling ditunggu-tunggu penonton sore itu.
Area mosh pit di depan Empire Stage sudah ramai dipenuhi penonton beberapa menit sebelum Brujeria memasuki panggung sekira pukul 16.20 WIB.
Meski kurang mengerti bahasa Latin yang diucapkan duo vokalis bernama samaran Juan Brujo dan El Sangron, penonton tetap bergairah saat Brujeria memainkan lagu-lagu hitsnya seperti 'La Migra', 'Viva Presidente Trump!', dan 'Brujerizmo'.
"Oi Brujerizmo!" teriak Brujo dan El Sangron diikuti riuh sorakan penonton.
Seperti di konser-konser Brujeria pada umumnya, para personel band itu mengenakan setelan gangster ala Meksiko. Bandana yang dibolongi ujungnya sudah menjadi ciri khas mereka, seakan mengingatkan bahwa musik mereka keras sekeras kehidupan gangster.
Juan Brujo makin liar di tembang 'Matando Gueros', yang dibawakan jelang outro.
Memakai sabuk kulit sebagai tempat menaruh senjata tajam khas Meksiko bernama machete sejak awal konser, Juan akhirnya mengeluarkan machetenya di track tersebut.
Dia pun langsung menggeber track itu tanpa ampun sambil mengacungkan machetenya sepanjang 'Matando Gueros' dimainkan.
"Terimakasih Indonesia, kami senang bisa memuaskan kalian," ujar Juan.
Set Brujeria ditutup dengan nyanyian Juan dan El Sangron lewat lagu 'Marijuana'.
Mencomot nada 'La Macarena' dari grup musik pop latin asal Spanyol, Los del Rio, Juan dan El Sangron sukses membuat senyum kepuasan mengembang dari penontonnya lewat lagu pamungkas itu.
Usai Brujeria, Visceral Disgorge, Kameradz, dan Revenge the Fate beraksi sebagai pembuka H2O, band hardcore asal Amerika Serikat yang paling ditunggu-tunggu di perhelatan tahun ini.
Naik panggung sekira pukul 18.30 WIB, H2O langsung menghajar pegiat hardcore yang hadir di Hammersonic kemarin lewat lagu-lagu lekas nan energik seperti 'Family Tree', '5 Year Plan', dan 'Spirit of 84' yang ditelurkan lewat album self-titled mereka H2O (1996).
Toby Morse cs seakan tak peduli siapapun yang menonton.
Penggemar metal, punk, hardcore, dan siapapun yang hadir di Hammersonic diajaknya berlarian dan bergerak liar kesana kemari membentuk circle pit di depan Empire Stage.
"Kalian tahu, ini adalah simbol universalitas, ini adalah tanda untuk kita membuat circle pit," ujar Toby memberi sinyal kepada penonton untuk berputar dalam lautan mosh pit saat lagu-lagu selanjutnya seperti 'Still Here' dan 'Mitts' dimainkan.
Sebelum menutup setlist mereka Minggu malam dengan lagu 'Guilty by Association' dari album F.T.T.W. (1999), H2O mengajak penonton untuk selalu taat pada hasrat mereka dalam menjalankan sesuatu tanpa ada embel-embel mengikuti sesuatu yang orang lain lakukan.
Ajakan tersebut dikumandangkan Toby Morse lewat tembang 'What Happened' yang menggelegar dinyanyikan penonton malam itu.
"What happened to the passion? What the reason for screaming? What happened the music and the message that I love? What happened to the hard work? And why does everybody look the same? What happened the music and the message that I love?" lantun Toby disahuti penonton dengan teriakan 'passion before fashion'.
Tuntasnya setlist H2O disambut langsung dengan band lainnya seperti Hammersonic United, Vital Remains, Escape the Fate, Emerging from the Cocoon, hingga Forgotten.
Selepas Forgotten, legenda punkrock asal Amerika Serikat, Dead Kennedys (DK) langsung muncul di Empire Stage sekira pukul 21.30 WIB.
Ron Greer yang menjadi vokalis DK sejak 2008 membuktikan bahwa dirinya pantas memegang mikrofon dan melantunkan tembang-tembang klasik DK semacam 'Police Truck', 'Kill the Poor', dan 'Too Drunk to F*ck' secara penuh hikmat dan penuh aksi, juga celotehan lucu nan interaktif kepada penontonnya.

Dengan penuh peluh, pria paruh baya itu bergerak ke setiap sisi depan Empire Stage tanpa kendor sedikit pun.
Tak sedikit penonton yang terpukau dan membayar aksi panggung Ron dkk dengan berpogo ria serta bernyanyi bersama di lagu-lagu terbaik Dead Kennedys.
"Dokterku sempat melarangku untuk main di sini. Tapi kubilang padanya, manggung di Indonesia lebih penting daripada kesehatanku. Aku tahu kalian semua senang kita hadir di sini, tapi sebetulnya, diriku ini sudah terlalu tua untuk memainkan punk rock," kelakar Ron disambut riuh tawa dan sorakan penonton.
Di tengah-tengah setlist, Ron Greer sempat memperkenalkan satu persatu seniornya di DK.
Klaus Flouride sang bassist, D. H. Peligro sang drummer, dan East Bay Ray sang gitaris sempat unjuk kebolehan sekian detik saat Ron memanggil nama mereka satu persatu.
DK memang cerdas membakar semangat penonton dua malam lalu. Terbukti dari upaya D. H. Peligro memancing penonton untuk melawan rasisme lewat lagu 'Nazi Punks F*ck Off!'.
"Jakarta, apa kabar kalian semua? Nasihat singkatku 'tuk kalian, rasisme benar-benar menyebalkan. Homofobia, sikap anti Islam, dan segala omong kosong lainnya harus dihapuskan. Siapakah kita ini? Kita adalah orang-orang merdeka dari Indonesia! Nazi Punks F*ck Off!" tutur D. H. Peligro diikuti gebrakan personel lainnya membawakan tembang itu.
Semangat penonton yang terbakar makin menjadi-jadi saat 'Holiday in Cambodia' menjadi lagu pamungkas Dead Kennedys malam itu.
Semuanya bergerak serta bersenggolan secara liar dan penuh semangat saat lagu itu dibawakan menutup deretan penampil 'non-metal' di Hammersonic malam itu.
Lalu, Koil, Hellcrust, IHSAHN, dan Deadsquad tampil untuk menjadi pengantar malam itu ke penampil penutup, In Flames.
In Flames, jagoan death metal asal Swedia, naik panggung sekira pukul 00.40 WIB Senin dini hari.
Hammersonic belum sepi Senin dini hari kemarin, saat tata cahaya di Empire Stage memancarkan sinaran lampu-lampu tembak bernuansa biru.
Dengan tata suara yang terdengar paling jernih selama Hammersonic berlangsung, In Flames yang dipimpin sang vokalis Anders Friden memulai setlist dengan lagu 'My Sweet Shadow' dari album Soundtrack to Your Escape (2004).
Lagu-lagu terbaik In Flames lainnya seperti 'Cloud Connected', 'The Chosen Pessimist', serta 'Take This Life' juga turut meramaikan setlist mereka.
Di tengah-tengah penampilan, Anders menyempatkan menyapa penonton.
Dari ujarannya, Anders seakan tidak puas bila penonton tak bergerak bersamanya.
"Kami sangat ingin kembali lagi ke sini, tapi kalian semua sepi sekali. Keluarkan suara kalian!," ujar Anders disambut teriakan penonton sebelum melanjutkan ke lagu-lagu lainnya.
Dengan durasi sekira 80 menit, In Flames memungkasi pagelaran Hammersonic dengan lagu yang terasa sangat pas berjudul 'The End'.
"Senang sekali bisa bermain di sini, sayangnya ini adalah yang terakhir (The End)," ujar Anders.
Tepat pukul 2.02 WIB Senin dini hari, In Flames mengakhiri Hammersonic Festival tahun ini.
Tak ada suara lain yang terdengar setelah In Flames turun panggung selain suara langkah kaki dan obrolan santai bernada kepuasan ribuan pengunjung Hammersonic saat mereka meninggalkan lokasi acara.
Beberapa waktu sebelum Hammersonic dimulai, sempat terdengar isu bahwa tahun ini akan menjadi tahun terakhir diadakannya Hammersonic.
Benar atau tidaknya isu tersebut, Hammersonic Festival 2018 setidaknya sudah membuktikan bahwa pecinta musik keras yang berdomisili di Indonesia masih eksis.
Jika ke depannya Hammersonic harus usai, biarkanlah.
Setidaknya festival musik keras paling akbar seantero Asia Tenggara itu pernah menyegarkan jiwa-jiwa pecinta musik keras di Indonesia yang haus akan konser musik besar pembawa artis metal, punk, rock, hardcore, dan sub genre lainnya dari mancanegara ke tanah air ini.
Jika ke depannya Hammersonic harus usai, biarkanlah. Setidaknya momen-momen terbaik yang pernah terkenang dari festival itu akan terus melekat di ingatan para pengunjungnya.
Jika ke depannya Hammersonic harus usai, biarkanlah. Setidaknya Hammersonic sudah membuktikan bahwa skena musik keras di Indonesia masih hidup.