Hari Pahlawan
Alasan Laksamana Muda Maeda Biarkan Rumahnya Jadi Tempat Menyusun Naskah Proklamasi
Alasan di Balik Laksamana Muda Maeda Biarkan Rumahnya Jadi Tempat Menyusun Naskah Proklamasi
Daripada pergi tanpa meninggalkan jasa, lebih baik pergi dengan meninggalkan nama. Kenangan baik itu ialah sikapnya yang bersimpati terhadap kemerdekaan Indonesia.
Pada tanggal 16 Agustus pagi-pagi buta, Sayuti dibangunkan dan diberi tahu bahwa Bung Karno, Bu Fatmawati, dan Guntur tak ada.
Mereka mencari keterangan ke Subardjo SH, kemudian ke Maeda, tetapi tiada mendapatkan.
Pada waktu itu mereka-mereka pun belum tahu di mana Bung Karno. Baru kemduian setelah diadakan penyelidikan perwira Jepang itu mengetahuinya.
Peristiwa itu kemudian kita kenal sebagai peristiwa Rengasdengklok. Pagi itu sekitar jam 4 pagi, Bung Karno dan Bung Hatta oleh pemuda-pemuda Sukarni, Chairul Saleh, dll dibawa ke Rengasdengklok ke sebuah asrama Peta.
Menurut para pemuda di sana tempatnya lebih aman untuk kedua pemimpin itu.
Akhirnya terdapat persesuaian paham antara Soekarno-Hatta, Pemuda, dan Maeda.
Kedua pemimpin itu dibawa kembali ke Jakarta, dan pada tanggal 16 Agustus malam diadakan pertemuan di rumah Laksamana Muda Maeda karena tempat yang direncanakan semula ialah Hotel Duta Indonesia ternyata sudah tutup.
Malam itu dibicarakan naskah Proklamasi yang akan diresmikan pagi harinya.
Semula naskah itu akan ditandatangani oleh “Wakil-wakil Bangsa Indonesia”, ialah orang-orang yang hadir pada malam itu termasuk orang-orang yang oleh golongan Pemuda dianggap kolaborator dari Jepang.
Maka Pemuda tak setuju dengan rumusan itu.
Tercapai mufakat, naskah Proklamasi hanya ditandatangani oleh Soekarno-Hatta “Atas nama Bangsa Indonesia”.
Pak Sayuti yang hadir pada malam itu ditugaskan mengetik naskah yang disetujui dan keesokan harinya dibaca oleh Bung Karno di depan rumah Pegangsaan Timur 56.
“Proklamasi. Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain, diselenggarakan dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkatnya. Jakarta 17 Agustus 1945. Atas nama Bangsa Indonesia Soekarno-Hatta.”
Itulah naskah asli, jadi bukan tulisan tangan Bung Karno yang fotokopinya kini menghiasi buku-buku dan dianggap sebagai naskah resmi.