Bosan Jadi Tanggungan Orang Lain, Sastrawan NH Dini Pilih Profesi Pramugari

Bosan menjadi tanggungan orang lain, Sastrawan NH Dini memilih profesi pramugari Garuda Indonesia

Editor: Kurniawati Hasjanah
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Novelis NH Dini. 

Bapak meninggal tahun 1949 di saat enam anaknya masih membutuhkan banyak perhatian dan biaya. Biaya sekolah dan hidup sehari-hari kami pun menjadi tanggungan saudara-saudara Ibu.

Diikuti teman-teman sekolah

Hidup di masa perang, tak ayal membuat sekolahku terputus-putus. Kendati demikian, semangatku untuk sekolah tetap membara, apalagi orang tuaku memang sangat mengutamakan pendidikan anak-anak.

Menginjak bangku SMP,  perang pun usai. Kehidupan pelan-pelan mulai tertata kembali. Di bangku SMP itulah, minatku pada seni sastra mulai tampak.

Aku suka sekali menulis prosa dan puisi. Berulang-ulang kubaca karyaku, sebelum memberanikan diri mengirimkannya ke RRI Semarang.

Akhirnya. tahun 1951, aku mendapat kesempatan juga untuk membacakan prosa dan puisiku itu  di RRI. Waktu itu aku mendapat honor Rp 7.500.

Karena puisiku makin banyak, setahun kemudian, kuberanikan diri mengirimkannya ke majalah, koran, dan sebagian lagi kukirim ke RRI Programa Nasional di Jakarta dalam acara Tunas Mekar.

Setahun berikutnya, sajak-sajakku mulai menghiasi majalah Gadjah Mada dan Budaya di Yogyakarta.

Kerap Alami Teror Mistis Saat Tengah Malam, Ruben Onsu Sebulan Lebih Tidur di Mobil

Sahabat Menangis Lepas Kepergiannya Umrah, Cut Meyriska Beri Pesan: Jangan Nikah Duluan!

Dari honorku, aku memiliki uang jajan yang lebih dari cukup untuk ukuran anak SMP saat itu. Oh, ya, dari honor pertamaku aku juga bisa membeli ban sepeda.

Pendek kata, aku sudah bisa menghidupi diri sendiri. Waktu itu nama samaranku belum Nh. Dini, tetapi Hasri, dari Hardini Sri.

Dengan dimuat di koran, majalah, dan didengarkan orang lewat RRI, karya-karyaku pun diapresiasi orang.

Wah, aku bangga sekali, lo. Setahun berlalu, aku mulai kecewa. Pasalnya, penafsiran orang terhadap puisi-puisiku selalu berbeda dengan yang kumaksud.

Jadi, buat apa aku menulis puisi kalau pada akhirnya malah mengecewakanku?

Bagaimanapun, kegiatan mengarang puisi itu juga menarik minat teman-teman sekolahku.

Banyak dari mereka yang kemudian mengikuti jejakku mengirimkan puisinya ke majalah atau koran.

Sumber: Intisari
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved