Kisah GKR Hemas Saat Pertemuan dengan Calon Sultan yang Sedang Beli Bakmi

Inilah wawancara paling mendalam yang berhasil menggali secara utuh sosok luar-dalam wanita cantik tersebut, juga pemikiran-pemikirannya.

Editor: Kurniawati Hasjanah
KOMPAS.com / WIJAYA KUSUMA
GKR Hemas, permaisuri Sultan Yogyakarta 

Kami menginap di rumah Eyang. Untuk mencapai rumahnya harus melewati gang.

Pada suatu hari, semasa masih SMA, saya datang ke Yogya. Dan pada suatu siang, saya menapaki gang tersebut, dalam rencana hendak jalan-jalan ke Malioboro (pusat pertokoan yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari Alun-alun Utara Keraton, Red).

Maklum, sebagai anak Jakarta, saya menganggap Malioboro sepertinya sebuah kawasan yang tak boleh dilewatkan untuk dilancongi setiap kali datang ke Yogya.

Di gang tersebut ada orang jual bakmi. Dan siang itu ada seorang pembeli. Dialah, sang pembeli itu, Mas Herjuno, yang kelak menjadi suami saya dan menjadi Sultan Hamengku Buwono X. Ia melihat saya. Ah, lebih tepatnya, pandangan kami bertaut. Perkenalan pun terjadi.

Kemudian, kami sekali lagi bertemu, tanpa sengaja, di Malioboro. Sesudah itu tak ada pertemuan berikutnya.

Saya pulang ke Jakarta dan kembali asyik menggeluti kehidupan remaja yang menyenangkan. Kehidupan remaja Jakarta waktu itu yang penuh pesta, di mana mode up-to-date adalah rok mini.

Dalam pikiran saya tak ada bayangan macam-macam mengenai kelanjutan pertemuan saya dengan Mas Herjuno.

Apalagi bermimpi kelak saya akan dipersuntingnya. Dan lebih jauh lagi berkhayal Mas Herjuno mungkin akan jadi sultan menggantikan ayahandanya, dan otomatis saya jadi ratu.

Wah, tak ada pikiran seperti itu. Pokoknya, pertemuan kami tadi saya anggap kenalan biasa.

Marilah kita pacaran

Kurang-lebih setahun kemudian, saya datang lagi ke Yogya. Kali ini dengan penuh duka, karena Eyang meninggal dunia. Pada kejadian itulah, saya untuk ketiga kalinya bertemu Mas Herjuno.

Ia datang melayat. Tapi tidak cuma itu. Ia juga meminjami berbagai keperluan, seperti karpet dan kendaraan.

Andi Soraya Ungkap Soal Kehidupan Ranjang dengan 4 Pria, Hotman Paris Sempat Tak Percaya

Emosi Terhadap Candaan Ivan Gunawan, Nur Khamid : Gapapa Yang Penting Laku Ketimbang Lo!

Ia pun bekerja keras, mengatur ini-itu dalam perkabungan tersebut. Di kemudian hari saya menebak, inilah langkah awal Mas Herjuno mengambil hati saya.

Ketika itu saya duduk di kelas 2 SMA. Inilah salah satu masa puncak kebadungan saya.

Bepergian jarang pakai rok, selalu celana panjang. Dan, seperti sebelumnya sudah saya ceritakan, saya sering pindah-pindah sekolah.

Tapi justru di sinilah Mas Herjuno memperlihatkan keterusterangannya. Ia meminta saya bersedia menjadi pacarnya.

Hubungan kami pun kian lekat. Interlokalnya dari Yogya acap berdering di rumah saya di Jakarta. Ia pun beberapa kali pergi ke Jakarta mengunjungi  saya.

Tapi saya tak habis pikir, ia selalu datang bersama teman-temannya. Dulu ia bilang mengajak saya pacaran, tapi kemudian kok datang beramai-ramai.

Beberapa bulan kemudian, ia baru berani datang sendirian.

Dulu, Mas Herjuno pergi ke Jakarta sering kali naik bus atau kereta api. Ia, waktu itu, betul-betul putra daerah yang sangat tidak

Pernah, naik kereta api dari Yogya, tiba di Jakarta ia mestinya turun di Stasiun Gambir. Tapi karena tak paham, Mas Herjuno keterusan hingga kereta api berhenti di stasiun terakhir, Stasiun Kota.

Dari sana ia naik becak ke Kebayoran, rumah saya. Konyolnya lagi, tukang becak itu hanya tahu sedikit di mana Kebayoran, hingga ia tak bisa membayangkan jarak sekitar 20 kilometer antara Kota-Kebayoran.

GKR Hemas dan Sri Sultan Hamengku Buwono X.
kurio-img.kurioapps
GKR Hemas dan Sri Sultan Hamengku Buwono X.

Ngos-ngosan ia menggenjot becaknya sampai harus berhenti 4 kali untuk istirahat! Antara Iain di depan gedung Sarinah, Jalan Thamrin.

Mendengar itu saya terbahak-bahak. Setelah hubungan kami kian dekat, saya selalu menjemput setiap kali Mas Herjuno datang.

Karena sering ke Jakarta, ini antara lain yang membuat kuliah Mas Herjuno di Yogya berantakan.

Ia baru menggondol gelar sarjana hukum setelah anaknya 2, setelah nyaris menjadi mahasiswa abadi.

Dilarang terjun payung

Masa remaja saya lalui dengan kepuasan sebagaimana yang dihirup kaum muda kebanyakan. Suka, duka, konyol, semuanya menyatu dan sekarang membentuk kenangan indah.

Sebuah peristiwa konyol semasa mahasiswa, sampai hari ini masih saya ingat, yakni ketika Ibu melarang saya ikut terjun payung, justru di hari saya dijadwalkan terjun untuk pertama kalinya.

Saya sangat kecewa karena sudah capai-capai ikut latihan dan sudah bermimpi memeluk langit.

Sebaliknya, Ibu kaget sekali karena baru tahu kalau saya selama itu sudah ikut latihan terjun. Memang, saya tak pernah memberitahu beliau.

Tapi saya berusaha memahami keberatan Ibu. Mungkin karena beliau sudah tua, dan saya anak perempuan satu-satunya, ini membuat Ibu terlalu cemas membayangkan saya ikut olahraga yang taruhannya nyawa itu. (Tabloid Nova/Sukrisna, Winarno)

Sumber: Intisari
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved