Cerita Pedagang Asongan yang Mencari Rezeki dar Lampu Merah di Ibu Kota
Nana menuturkan, rata-rata dalam sehari, ia mengantongi uang Rp 200 sampai Rp 250 ribu dari berjualan di tempat ini.
Penulis: Elga Hikari Putra | Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Elga Hikari Putra
TRIBUNJAKARTA.COM, GROGOL PETAMBURAN - Antrean kendaraan tampak mengular di lampu merah Tomang, Jakarta Barat.
Beberapa pengendara mobil, bus dan truk terlihat sejenak membuka ponselnya sembari menantikan bergantinya lampu lalu lintas dari warna merah ke warna hijau.
Sedangkan pengendara sepeda motor tetap berusaha menyalip di sela-sela kendaraan mobil, bus dan truk untuk berada di posisi terdepan.
Mereka seolah tak sabar menantikan agar lampu segera menyala di warna hijau agar bisa terus melanjutkan perjalanannya.
Nampaknya, hampir semua pengendara memang tak berharap kendaraannya 'terjebak' di lampu merah.
Durasi lampu merah di perempatan Tomang memang cukup lama yakni sekitar 2 menit.
Namun, di balik semua umpatan pengendara tentang lamanya lampu merah, ada juga pihak-pihak yang menjadikan lampu merah sebagai ladang mereka mencari rezeki.
Yaitu para pedagang asongan yang menjajakan dagangannya kepada para pengendara yang tengah berhenti sejenak menunggu hijaunya lampu lalu lintas.
Seperti yang dilakukan Nana (44), yang berjualan cemilan tahu, kedondong, kacang hingga keripik.
Dirinya langsung sigap berjalan ke arah kemacetan saat lampu lalu lintas menyala ke warna merah.
Baginya, ini adalah kesempatannya untuk mendapatkan uang.

Satu per satu pengendar ia samperi sambil memikul dagangan di pundaknya.
"Yang tahu, kacang, kedondong," begitu suara yang diucapkan Nana kepada para pengendara yang tengah berhenti di lampu merah Tomang, Jakarta Barat, Minggu (10/2/2019).
Setiap harinya, Nana dan pedagang asongan lainnya menjajakan dagangan kepada para pengendara yang tengah berhenti di lampu merah Tomang dari arah Grogol menuju Slipi.
"Sudah dari tahun 2000, saya ngasong disini, enggak pernah pindah-pindah," kata Nana saat berbincang dengan TribunJakarta.com.
Nana berangkat setiap pagi dari rumahnya di Tangerang ke Tomang menggunakan bus kota.
Biasanya, ia telah mulai berjualan sejak Pukul 10.00 WIB dan baru pulang di atas Pukul 21.00 WIB.
"Ini dagangan saya beli di pasar, di rumah tinggal saya bungkusin kecil-kecil ke plastik buat dijual Rp 5 ribuan," kata Nana.
Menjadi pedagang asongan di lampu merah, dikatakan Nana tak bisa diprediksi kapan kiranya dagangannya laris.
Terkadang, meski antrean kendaraan panjang, namun tak ada satu pun yang membeli dagangannya.
Kendati begitu, ia tak pernah berputus asa dan selalu menjajakan dagangannya ketika lampu lalu lintas menyala di warna merah.
Baginya, ia sudah merasa bersyukur jika dalam satu kali lampu merah, minimal ada satu dagangannya yang terjual.
"Namanya dagang ya enggak nentu dapatnya. Biar hari kerja juga kan disini macet terus, tapi kalau lagi sepi ya sepi aja, namanya rezeki kan sudah ada yang atur," kata Nana berusaha bijak menghadapi kerasnya hidup di Jakarta.
Nana menuturkan, rata-rata dalam sehari, ia mengantongi uang Rp 200 sampai Rp 250 ribu dari berjualan di tempat ini.
"Ya Rp 200 ribu alhamdulilah dapat, tapi kan itu masih kotor ya belum dipotong sama modal dan makan kita disini," ujar Nana.
Dikatakan Nana bahwa yang paling banyak membeli dagangannya adalah para sopir truk yang melintas di kawasan itu.
"Biasanya sih sopir truk yang beli. Kalau mobil pribadi mah jarang karena mereka kan kacanya ditutup semua. Terus motor juga jarang karena mereka sibuk nyalip-nyalip terus," kata Nana.
Lain Nana, lain pula cerita yang diutarakan Tuti yang berjualan tisu di lampu merah.
Menurutnya, berjualan di lampu merah lebih enak ketimbang berjualan di tempat lain seperti di bus kota atau pun di pinggir jalan biasa.
Yang terpenting, dirinya telah menyiapkan cukup banyak uang recehan, utamanya pecahan Rp 2.000 agar setiap pembeli yang membayar dengan nominal besar dapat segera ia kembalikan sebelum lampu hijau menyala.
Hal itu karena ia menjual tisu wajah seharga Rp 3.000 sehingga banyak pembeli yang membayar dengan uang Rp 5.000.
"Ini makanya saya sediain banyak uang Rp 2000-an. Soalnya kan buat kembalian biar enggak lari-lari dulu buat pinjem ke teman buat balikinnya. Meski kadang juga ada yang bilang enggak usah dikembaliin," ujar Tuti.
Cuaca terik dan polusi yang keluar dari knalpot kendaraan sama sekali tak dipermasalahkan para pedagang asongan di tempat ini.
"Kalau panas mah udah biasa, udah kebal lah kita. Kalau hujan tuh justru kita pada melempen karena dikit yang beli kan kita enggak pada ngider," katanya.
Selama menjadi pedagang asongan di lampu merah, Tuti bersyukur tidak pernah terlibat insiden semisal terserempet kendaraan.
"Alhamdulillah enggak pernah, kan kita juga lihat-lihat, kalau mobil berhenti baru kita samperin, paling sepeda motor aja yang suka klaksonin pas kita lagi ngider," ucapnya.