Berkenalan dengan Sarono, Pemecah Batu Tunanetra di Cipinang
"Dulu bisa lihat Monas, bisa lihat perempuan cantik, tapi tiba-tiba itu diambil semua dari saya," kata Sarono.
Penulis: Dionisius Arya Bima Suci | Editor: Erik Sinaga
Berkenalan dengan Sarono, Pemecah Batu Tunanetra yang Nafkahi 65 Anak Yatim
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dionisius Arya Bima Suci
TRIBUNJAKARTA.COM, JATINEGARA - Keterbatasan fisik tak menghalangi Sarono (61) untuk bekerja keras mencari uang dengan berprofesi sebagai pemecah batu.
Sejak tahun 1994, penglihatan Sarono terus memburuk hingga akhirnya di awal tahun 2000-an ia benar-benar tidak dapat melihat lagi.
Meski sempat jatuh dalam keterpurukan akibat penyakit yang ia derita, namun ia mampu bangkit dan tak lagi menyesali nasibnya.
"Awalnya saya bisa melihat seperti orang biasa, tapi penglihatan saya mulai kabur sejak tahun 1994 dan semakin lama semakin memburuk hingga tahun 2001 benar-benar tidak bisa melihat lagi," ucap Sarono, Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (20/2/2019).
Dikatakan Sarono, penyakit yang merenggut penglihatannya itu datang tiba-tiba. Awalnya, ia hanya merasakan sakit yang tak tertahankan pada leher bagian belakang.
Namun, saat itu ia beranggapan sakit yang ia derita lantaran kecapekan setelah bekerja mencari nafkah untuk sang istri.
"Saya kira pegel-pegel biasa, tahunya setelah saya ke dokter katanya saya mengalami kerusakan saraf," ujarnya sambil mengenang perjalan hidupnya.
"Waktu itu dokter memang sudah memprediksi ini akan berimbas ke mata atau kaki saya," tambahnya.
Disaat penglihatannya mulai kabur, disinilah Ssrono merasa terpuruk dan sempat menyesali nasibnya.
Ia pun terpaksa berhenti dari pekerjaannya terdahulu sebagai sopir angkotan kota (angkot).
"Dulu bisa lihat Monas, bisa lihat perempuan cantik, tapi tiba-tiba itu diambil semua dari saya," kata Sarono.
Di dalam keterpurukan itu, ia terus merenung dan sempat terbesit keinginan dirinya menjadi seorang pengemis di jalan.
Namun, itu urun ia lakukan lantaran menyadari ada rencana Tuhan dibalik penderitannya itu.
"Dulu saya sering berbuat maksiat, tapi sejak penglihatan berkurang saya berlahan mulai memahami kesalahan saya dan ingin berubah menjadi lebih baik," ucapnya.
"Alhamdulillah sekarang saya buta tapi saya merasa lebih nyaman dan tenang," tambahnya.
Sarono pun mulai bangkit di tahun 2002 saat dirinya mencoba berusaha berjualan telur asin di sekitar tempatanya tinggal di Kelurahan Cipinang Besar Selatan (CBS), Jatinegara, Jakarta Timur.
"Saya sempat jualan telur asin, beli di Pasar Pagi Rawamangun. Kemudian menjualnya keliling kampung," ujarnya.
Awalnya, usahanya ini berbuah manis dimana telur asin dagangannya selalu ludes diborong pembeli.
Namun, seiring berjalannya waktu, usahanya ini terus merugi sehingga ia harus gulung tikar.
"Mungkin karena orang-orang bosen kali ya setiap hari makan terus asin, jadi lama-lama enggak laku dagangan saya," kata dia.
Namun, ia tak menyerah dan memutuskan beralih profesi sebagai penjual pisang keliling di sekitar rumahnya.
Setiap pagi, ia selalu mengambil pisang jenis raja di Pasar Enjo, kemudian menjualnya kembali dengan berkeliling di sekitar tempat tinggalnya.
Usahanya kali ini pun sama seperti sebelumnya, ia terpaksa gulung tikar lantaran tersebut merugi
• Ini Daftar Nama Korban Ledakan di Foodcourt Mal Taman Anggrek
• Tak Dikenal Warga, Korban Gantung Diri di Bawah Jembatan di Tebet Sudah Diambil Pihak Keluarga
• Polisi Bakal Periksa SOP Perawatan Mal Taman Anggrek
"Modalnya satu sisir pisang Rp 5.000 tapi malah ditawar Rp 4.500. Ya saya enggak untung dong. Malah pernah tidak laku sama sekali dagangan saya," ucapnya.
Disaat itulah, sambil berjalan pulang membawa pisang dagangannya yang masih banyak, tiba-tiba Sarono tersandung batu berukuran cukup besar.
Ia pun meringis kesakitan lantaran kakinya terantuk batu sehingga darah segar terus mengalir keluar.
Dalam penderitaannya itu, ia pun berdoa kepada Tuhan dan memohon petunjuk jalan yang terbaik bagi dirinya.
"Dari sinilah saya mulai berpikir menjadi seorang pemecah batu. Mengumpulkan batu, kemudian memecahkannya sehingga bisa dijadikan pasir," ujarnya.
Bermodalkan sebuah palu dan topi caping dari ayaman bambu yang sudah ia anggap sebagai sahabatnya sendiri, Surono mulai menggeluti pekerjaannya ini sejak tahun 2003 lalu.
Setiap hari ia selalu bekerja mulai dari pukul 07.00 WIB hingga 11.00 WIB dan dilanjutkan kembali mulai pukul 15.00 WIB sampai 18.00 WIB.
Dalam sehari, ia pun bisa mengumpulkan pasir sebanyak seperempat hingga setengah karung.
Meski hanya dihargai Rp 10 ribu per karung, namun dari hasil keringatnya itu, Surono bisa menghidupi seorang istri dan 65 anak yatim piatu dan duafa yang ia asuh.