Adian Napitupulu Tak Setuju soal Tim Asistensi Hukum untuk Kaji Ucapan Para Tokoh, Ini Alasannya

Ia menganggap tim tersebut tidak diperlukan, karena menurutnya sudah ada mekanisme dan perangkat hukum yang bisa digunakan.

Editor: Kurniawati Hasjanah
Yurike Budiman/Tribunnews.com
Adian Napitupulu usai konferensi pers di Bumi Pospera, Cipinang, Jakarta Timur, Sabtu (25/6/2016) 

TRIBUNJAKARTA.COM - Anggota Rembuk Nasional Aktivis 98 Adian Yunus Yusak Napitupulu, tidak setuju dibentuknya Tim Asistensi Hukum oleh Menko Polhukam Wiranto, yang bertugas mengkaji ucapan-ucapan para tokoh.

Anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) itu mengaku tidak mengerti mengapa Wiranto membentuk tim tersebut.

"Tidak tahu, saya tidak pernah tahu kenapa Wiranto buat itu. Kalau setuju atau tidak, mendingan tidak usah lah," kata Adian Napitupulu seusai menghadiri acara Peringatan ke-21 Tragedi Trisakti 12 Mei 1998, di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, Minggu (12/5/2019).

 

 

Ia menganggap tim tersebut tidak diperlukan, karena menurutnya sudah ada mekanisme dan perangkat hukum yang bisa digunakan.

"Sudah banyak kok perangkat hukum kita yang lain. Laksanakan saja perangkat hukum kita yang lain. Jalankan saja dan tegaskan saja mekanisme hukum kita," tuturnya.

"Kan ada sekian banyak pasal terkait dengan penghinaan ucapan kebencian, dan bla bla bla, tegakkan saja itu. Kalau menurut kita atau saya, tidak perlu begitulah," sambung Adian Napitupulu.

Sebelumnya diberitakan Wartakotalive.com, ada puluhan tokoh yang masuk dalam Tim Asistensi Hukum bentukan Menkopolhukam Wiranto.

Tim hukum tersebut sudah efektif bekerja dan bertugas memberikan masukan atau kajian dalam penanganan kasus-kasus pelanggaran hukum.

"Kita mengajak pakar-pakar yang di masyarakat, representasi masyarakat, kita ajak bersama-sama untuk menelaah, menganalisis itu," kata Wiranto di kantornya, Jakarta, Kamis (9/5/2019).

Berikut ini daftar anggota Tim Asistensi Hukum Kemenkopolhukam:

1. Prof Muladi, praktisi hukum;

2. Prof Romli Atmasasmita, Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Hukum dan Perundang-undangan;

3. Prof Muhammad Mahfud MD, Anggota Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila;

4. Prof Dr Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Universitas Krisnadwipayana;

5. Prof I Gede Panca Astawa, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran;

6. Prof Faisal Santiago, Guru Besar Hukum Universitas Borobudur dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Borobudur;

7. Prof Dr  Ade Saptomo, Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila;

8. Prof Dr Bintan R Saragih, Ahli Ilmu Negara UI dan UPH;

9. Prof Dr Farida Patittinggi, Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin;

10. Dr Harsanto Nursadi, Ahli Administrasi Negara/ Hukum Tata Negara;

11. Dr Teuku Saiful Bahri, Lektor Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta;

12. Dr Teguh Samudera, Praktisi Hukum;

13. Dr Dhoni Martim, Praktisi/Akademisi;

14. Kepala Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan HAM;

15. Deputi Bidang Koordinasi Politik Dalam Negeri Kemenko Polhukam;

16. Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi, dan Aparatur Kemenko Polhukam;

17. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri;

18. Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo;

19. Kepala Divisi Hukum Kepolisian RI;

20. Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri;

21. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri;

22. Indra Fahrizal, Staf Khusus Menko Polhukam Bidang Ekonomi dan Moneter;

23. Asistensi Deputi Koordinasi Penegakan Hukum Kemenko Polhukam;

24. Adi Warman, Sekretaris Tim Asistensi Hukum Kemenko Polhukam.

Pemerintah Dinilai Anti Kritik

Sementara, Amnesty International Indonesia turut mengomentari dibentuknya tim hukum nasional Kemenko Polhukam.

Dalam keterangan persnya, Amnesty International Indonesia ‎meminta Presiden Jokowi memerintahkan Menko Polhukam Wiranto mengurungkan rencana pembentukan tim hukum nasional.

‎Dengan pembentukan tim khusus yang bertugas mengkaji ucapan tokoh yang dianggap melanggar hukum, Amnesty International Indonesia merasa pemerintah sudah anti-kritik.

Upaya pengawasan tersebut dinilai rawan disalahgunakan untuk membungkam kritik yang sah dari warga negara terhadap pemerintah, dan lebih jauh berpotensi menimbulkan over-kriminalisasi di Indonesia.

"Membungkam kritik, apalagi lewat pemidanaan, sama saja memperparah kompleksitas permasalahan over-kapasitas penjara di Indonesia," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, Kamis (9/5/2019).

Usman Hamid menilai, ‎keadaan hak atas kemerdekaan menyatakan pendapat di Indonesia sudah terancam dengan berbagai ketentuan pidana tentang pencemaran nama baik.

Salah satu yang bermasalah adalah pasal yang memidanakan penghinaan terhadap pejabat dan lembaga negara.

“Tanpa pengawasan tersebut saja sudah banyak orang yang diproses hukum karena mengkritik otoritas di Indonesia, termasuk ‎presiden," ungkap Usman Hamid.

"Terlebih lagi ada kecenderungan bahwa pengawasan itu untuk menarget tokoh-tokoh yang aktif mengkritik pemerintah pasca pemilihan presiden 17 April," sambungnya.

 "Jika hal ini benar, maka akan merusak kultur politik oposisi yang sehat dan dibutuhkan oleh kehidupan sosial politik kita. Lebih jauh, kebijakan tersebut menjadikan presiden serta pemerintah menjadi anti kritik,” papar Usman Hamid.‎

Usman Hamid melanjutkan, ‎dampak negatif lain jika tim tersebut dibentuk yakni akan menimbulkan ketakutan bagi warga negara untuk mengekspresikan pendapat, termasuk di media sosial.

Keberadaan tim tersebut juga bisa dianggap semacam arahan dan menjadi dalih bagi aparat penegak hukum melakukan pemidanaan secara masif, terhadap orang-orang yang dianggap mengkritik atau menghina pemerintah atau Presiden.

“Secara umum pembatasan hak asasi manusia itu boleh. Tapi harus dilakukan dengan hati-hati, jangan sampai pembatasan tersebut dilakukan untuk alasan yang salah, yang malah mematikan esensi dari hak itu sendiri," bebernya.

"Perlu diingat, hak itu merupakan unsur dasar dari negara hukum, bukan negara kekuasaan,” tegas Usman Hamid.

Menkopolhukam Wiranto lewat sambungan telepon kepada Amnesty International Indonesia menjelaskan, tim yang dibentuk oleh Kemenko Polhukkam bukanlah sebuah badan baru, melainkan sebatas tim a‎sistensi yang terdiri dari beberapa akademisi.

Jadi, pembentukan tim tersebut tidak dimaksudkan untuk membungkam kritik seperti era Orde Baru.

Menanggapi pernyataan tersebut, Usman Hamid menyatakan pihaknya ‎mengapresiasi penjelasan yang diberikan Menko Polhukam terkait rencana tersebut.

Namun, dia tetap merasa keberadaan tim tersebut tidak diperlukan, karena malah bertumpang tindih dengan kewenangan penegak hukum yang ada.

Sebelumnya, Wiranto berharap Mahfud MD bakal menjadi salah satu anggota tim Hukum Nasional Kemenko Polhukam.

Selain Mahfud MD, sejumlah akademisi dan pakar juga masuk ke dalam tim tersebut, seperti Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita, dan mantan Menteri Kehakiman Muladi.

Nantinya, tim hukum ini bertugas mengkaji semua ucapan, pemikiran, dan tindakan orang atau tokoh yang melanggar hukum.

Tim ini juga bukan badan hukum yang menggantikan lembaga hukum lain seperti kepolisian, kejaksaan, Mahkamah Agung, atau Mahkamah Konstitusi.

Wiranto mengatakan pemerintah membentuk tim hukum nasional untuk mengkaji ucapan, tindakan, hingga pemikiran tokoh-tokoh tertentu.

Tim itu, menurut Wiranto akan mengkaji ucapan, tindakan, serta pemikiran tokoh-tokoh tertentu yang berpotensi melanggar hukum.

Tim itu dibentuk setelah rapat terbatas tingkat menteri antara Wiranto, Mendagri Tjahjo Kumolo, Menkominfo Rudiantara, dan Wakapolri Komjen Ari Dono Sukmanto, di Kantor Kemenko Polhukam, Jalan Medan Merdeka Barat, Senin (6/5/2019).

“Salah satu hasil rapat adalah membentuk tim hukum nasional untuk mengkaji ucapan, tindakan, hingga pemikiran tokoh-tokoh tertentu yang diduga melanggar hukum,” ungkap Wiranto.

Wiranto menjelaskan, tim hukum nasional nanti akan beranggotakan dari unsur pakar hukum tata negara, hingga profesor dan doktor dari berbagai universitas.

 

 

“Lengkap dari berbagai unsur. Mereka juga sudah saya ajak berbicara, bahwa tidak bisa dibiarkan rongrongan kepada negara yang sah ini,” tegasnya.

Mantan Panglima TNI itu menegaskan, tindakan tegas harus diberikan kepada siapa pun yang melayangkan ucapan dan pemikiran hingga melakukan tindakan yang melanggar hukum, tanpa membeda-bedakan.

“Siapa pun dia, walaupun mantan tokoh (pejabat publik) tidak ada masalah, saat dia melanggar hukum akan kita tindak tegas,” ucapnya.

Wiranto pun menjelaskan bahwa sikap tegas pemerintah itu bukan bentuk kediktatoran yang sering diembuskan sejumlah pihak akhir-akhir ini.

Menurutnya, pengembusan isu diktatorial itu untuk membuat pemerintah takut memutuskan sesuatu.

“Sedangkan pemerintah harus tegas supaya Bulan Ramadan ini masyarakat merasakan aman dan damai dalam beribadah. Saya sudah minta aparat keamanan tegas,” jelasnya. (Gita Irawan)

Artikel ini telah tayang di Wartakotalive dengan judul Adian Napitupulu Tak Setuju Wiranto Bentuk Tim Asistensi Hukum untuk Kaji Ucapan Para Tokoh

Sumber: Warta Kota
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved