Protes Pungli di Sekolah Tempat Bekerja, Guru Honorer SD di Tangsel Diintimidasi dan Dipecat Sepihak
Pengajar mata pelajaran kesenian itu mengaku gemas melihat berbagai kebijakan sekolah yang selalu membebankan biaya kepada para murid.
Penulis: Jaisy Rahman Tohir | Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Jaisy Rahman Tohir
TRIBUNJAKARTA.COM, TANGERANG SELATAN - Rumini (44), seorang guru honorer yang mengajar di SDN Pondok Pucung 02, Tangerang Selatan (Tangsel), seakan menjadi musuh bersama para guru, kepala sekolah bahkan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tangsel karena niat baiknya mencegah dan mengungkap praktik pungli di tempatnya mengajar.
Pengajar mata pelajaran kesenian itu mengaku gemas melihat berbagai kebijakan sekolah yang selalu membebankan biaya kepada para murid.
Wanita yang mulanya pengajar ekskul tari itu memaparkan sejumlah kebijakan sekolah yang seharusnya sudah bisa dikover biaya operasional sekolah (BOS) dan biaya operasional sekolah daerah (BOSDA).
• Soal Dugaan Pungli SDN Pondok Pucung 02, Kadisdikbud Tangsel Sebut Sumbangan Sesuai Aturan
Pertama terkait buku sekolah. Ditemui di kediamannya di bilangan Jakarta Selatan, Rumini memaparkan kebijakan sekolah yang meminta biaya buku sampai Rp 360.000 per siswa.
Rumini hanya memendam tanyanya terkait beban biaya itu yang menurutnya menyalahi atauran karena buku itu seharusnya gratis diberikan sekolah.
Di kelas, guru seni itu membolehkan tiga siswanya untuk memfotokopi buku karena terlalu berat untuk orang tua murid itu membayar uang buku.
"Saya sempat dipanggil dan ditegur dengan alasan tidak mengikuti peraturan sekolah dengan baik sebagai guru," ujar Rumini, Kamis (27/6/2019).
Selain itu, 594 siswa yang dibagi tiga kelas per angkatan itu juga dibebankan biaya komputer sebesar Rp 20 ribu per bulan.
Rumini bahkan menyebut pengajaran komputer sempat berhenti, meskipun bayaran tetap ditagihkan.
"2016 enggak ada lagi pengajaran komputer, terus 2017 itu ada Bu Ayu yang ngajar. Guru baru ngajar komputer sama bahasa inggris," ujarnya.
Para siswa membayar uang komputer itu dengan tanda bayaran berupa kartu biru.
Bahkan para siswa yang belum membayar uang komputer itu tidak diperbolehkan mengambil rapor.
"Malah kalau belum bayar yang kelas enam enggak boleh ambil ijazah," ujarnya.
Tak hanya itu, para siswa juga dibebankan biaya kegiatan sekolah sebesar Rp 130 ribu per tahun untuk acara seperti Tujuh Belasan, Kartinian dan lain-lain.
Sejumlah wali murid enggan membayar uang kegiatan itu.
Pihak sekolah pun tak habis akal, dan mencoba menarik uang lagi dengan embel-embel uang daftar ulang.
Rumini makin geram. Ia yang ada saat pembicaraan itu dilontarkan pun melawan.
"Bapak jangan kaya gitu, seumur-umur mana ada biaya daftar ulang. Waktu itu saya gebrak habis-habisan," ujarnya.
Pada tahun 2018, sekolah itu hendak mengadakan infokus atau proyektor.
Per kelas dimintakan uang sebesar Rp 2 juta dan dibagi kira-kira 30 siswa untuk instalasinya.
"2018, itu dimintain uang per kelas itu 2 juta per kelas. Satu kelas ada 30 orang, satu siswa 75 ribu," jelasnya.
Kegeraman Rumini sampai membuatnya nekat mengambil data laporan BOS, rencana kegiatan anggaran sekolah (RKAS) dan rencana anggaran belanja sekolah (RAB) yang sulit diakses walaupun bersifat publik.
Sikap kritis yang ditunjukkan Rumini ke sekolah pun berujung intimidasi sampai ditekan agar mengundurkan diri dari sekolah.
Intimidasinya tidak main-main, Rumini mengaku pernah dikunciin di dalam ruangan sampai pingsan.
"Sering sampai dikunciin di ruangan. Saya sampai pingsan lho," ujarnya.
Matanya terbelalak saat ia mengingat kembali bahkan untuk keluar sekolah pulang saja ia harus berjuang.
"Saya mau keluar ruangan didorong, saya keluar didorong. Sampai lapangan, motor saya berdiri, ngetrek kondisinya nyala," ujarnya.
Tekanan yang diterima Rumini begitu bertubi-tubi dari pihak guru bahkan sampai ke Kepala Sekolah, Suriah.
Keluarga Rumini pun ikut dilibatkan, adiknya yang masih tinggal tidak jauh dari kediaman Rumini turut didatangi pihak sekolah.
Akhirnya, ia mendapat surat pemecatan yang ditandatangani Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Tangsel, Taryono, dengan nomor 567/2452-Dindikbud.
Saat ini, Rumini sudah melaporkan kasus Pungli dan intimidasi terhadap dirinya itu ke Komnas HAM dan Polres Tangsel. Proses di kedua institusi itupun sudah berjalan.
"Senin saya ketemu lagi dengan Komnas HAM. Kalau Polres katanya pihak sekolah sudah dipanggil," ujarnya.