Mimpi Anak-anak Kuli Pungut Pasar Kramat Jati: Bisa Sekolah, Punya Jam Tangan HP Hingga Sepeda
Di antara anak-anak yang harusnya bersekolah, mereka memilih menjadi kuli pungut di Pasar Induk Kramat Jati untuk menebus mimpinya: bisa sekolah.
Penulis: Y Gustaman | Editor: Y Gustaman
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Kalau boleh memilih, Fitri (11) dan Arifin (10) lebih suka bersekolah ketimbang harus menerima omelan para pedagang Pasar Induk Kramat Jati saban pagi.
"Ngambil, ngambil, beli lo!" begitu teriak pedagang.
Telinga mereka kebal dengan serapah para pedagang yang tak ikhlas sayuran jualan mereka yang terjatuh, diambil kuli pungut seperti Fitri dan Arifin.
Keduanya sekian bocah yang tak punya pilihan selain menjadi kuli pungut barang-barang sortiran atau BS.
Mimpi tak terbayar
Mereka bergumul dengan orang-orang dewasa yang juga menjadi kuli pungut, menelusuri lorong pasar utamanya mencari cabai atau wortel yang jatuh dari lapak pedagang.
"Aku pengen banget sekolah. Tapi kalau sekolah enggak bisa bantuin mama cari uang. Makanya cuma kepengenan aja sampai sekarang," aku Fitri saat ditemui TribunJakarta.com, Rabu (24/7/2019).
Setelah mendapat wortel BS, di bawah pohon rindang Fitri dan Arifin membersihkannya dengan pisau kecil yang mereka bawa.
Mereka lihai mengupas kulit wortel, memotong ujung dan bonggolnya, lalu mengumpulkan ke dalam satu kantung plastik untuk kembali dijual kepada pembeli.
Di usia yang masih kecil, mereka harus mengubur mimpi bisa sekolah dan bermain dengan teman-teman sebayanya, karena harus menjadi kuli pungut.
Beda dengan Fitri, Arifin punya keinginan yang entah kapan dapat direalisasikan.
"Aku pengen banget punya jam HP kayak di tivi. Kalau aku banyak uang pengen banget punya itu," ucap Arifin dengan polosnya.
"Sayangnya, mama sama bapak juga kerjaannya kayak begini. Aku ngertiin enggak boleh minta macam-macam," sambung dia.
Ayah Arifin menjadi kuli peti. Kebanyakan orang dewasa, terutama laki-laki, memilih menjadi kuli lori.
Satu sisi terdesak karena keadaan perekonomian orangtuanya yang sulit, di sisi lain Fitri dan Reni pantang putus asa mengejar mimpinya.

Mereka begitu gigih, penuh semangat, mengumpulkan rupiah hasil menjual wortel BS.
Terbayang, kelak tabungannya sudah terkumpul, mereka dapat membeli sepeda.
Dengan begitu tak perlu lagi mereka capek jalan dari rumah masing-masing ke Pasar Induk Kramat Jati yang jaraknya lumayan jauh.
Putus sekolah demi bantu ibu
Di antara Fitri dan Arifin, Reni yang paling besar, usianya menginjak 13 tahun. Sudah tiga tahun lalu ia menjadi kuli pungut.
Bangku sekolah ia tinggalkan, demi membantu ibunya, Ipe, mencari pemasukan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Ipe seolah menjadi orangtua tunggal bagi lima anaknya, sementara suaminya harus mendekam di bui setelah divonis tujuh tahun penjara dalam kasus narkoba.
Reni anak kedua, kakaknya yang tertua masih tetap bersekolah di salah satu sekolah menengah pertama.
Sebenarnya, Ipe memiliki enam anak. Anaknya yang paling bungsu sejak masih orok diasuh bibinya.
Renilah yang lebih sering menjadi kuli pungut, sementara Fitri, adik di bawahnya, kadang kala saja ketika ingin ikut ke pasar mengikuti kakaknya itu.

"Saya udah enggak sekolah, mau bantu mama saja. Kasihan mama enggak ada yang bantuin. Kalau ujan keujanan, kalau panas kepanasan," cerita Reni sambil mengupas wortel hasil pungutan.
Satu plastik wortel BS Reni jual seharga Rp 5 ribu. Sehari, Reni bisa mendapat Rp 50 sampai Rp 60 ribu hasil menjual wortel BS.
Biasanya, Reni mendapat uang lebih dari orang yang membeli dagangannya.
Berhenti sekolah murni keputusan Reni, karena tak tega melihat ibunya seorang diri menghidupi keluarga.
"Mama enggak nyuruh berhenti sekolah. Tapi saya enggak tega kalau mama kerja sendiri. Akhirnya kerja begini dari tiga tahun lalu," imbuh Reni.
Biasanya, Reni menuju ke Pasar Induk Kramat Jati setelah mengantar adiknya yang keempat bersekolah di taman kanak-kanak.
Selama Reni menjadi kuli pungut, adiknya yang kelima dijaga ibunya dan adiknya di rumah kontrakan mereka di Gang H Ali, RT 8/RW 4, Kelurahan Tengah, Kramat Jati.
Harapan Reni tak muluk, cukup mendapat kesehatan agar bisa membantu ibunya membayar biaya kontrakan dan menghidupi adik-adiknya.
Tak mengapa Reni harus berhenti sekolah, tapi hasil jerih payahnya juga bisa membiayai adik-adiknya yang lain bisa bersekolah.
Haram mengemis
Di usianya yang masih belia, meski hidup serba kekurangan banda, Reni punya prinsip: pantang mengemis dan menjual iba ke orang lain tanpa bekerja.
"Mama selalu ngajarin saya buat enggak minta-minta. Berapa pun hasilnya selama sudah usaha, kita harus selalu bersyukur," ucap Reni.
Sepulang menjadi kuli pungut, uang hasil penjualan wortel BS ia serahkan ke ibunya sebagai modal untuk membeli sayuran dari pedagang untuk dijual kembali.
Tonton videonya:
Biasanya, sang ibu pergi ke Pasar Induk Kramat Jati ketika malam tiba, sementara Reni dan kakaknya giliran mengasuh dan menjaga adik-adik mereka di rumah.
Selain diberikan kepada ibunya, uang yang Reni dapat disisihkan sedikit untuk bekal sang ayah di penjara.
Reni tak malu soal ayahnya yang tidak bisa berkumpul dengan keluarga, karena harus menghabisi masa tahanan.