Hari Ini, 4 Pengamen Cipulir Korban Salah Tangkap Menanti Putusan Hakim

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan memutuskan gugatan ganti rugi yang diajukan empat pengamen Cipulir korban salah tangkap polisi.

TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS
Sidang kesimpulan kasus pengamen salah tangkap pada Jumat (26/7/2019). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Annas Furqon Hakim

TRIBUNJAKARTA.COM, PASAR MINGGU - Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akan memutuskan gugatan ganti rugi yang diajukan empat pengamen Cipulir korban salah tangkap polisi.

Sidang putusan tersebut akan digelar hari ini, Selasa (30/7/2019) pukul 13.30 WIB.

Kuasa hukum para pengamen, Oky Wiratama, berharap gugatan kliennya dapat dikabulkan oleh Hakim.

"Semoga gugatan ganti kerugiannya dikabulkan, dan hak anak-anak pengamen diberikan," kata Oky saat dihubungi.

Meski demikian, pengacara dari LBH Jakarta itu menyerahkan keputusannya kepada Hakim.

"Kalau optimistis, tetap optimistis. Tapi semua tergantung dari keputusan Hakim. Kita nggak ada yang tahu. Semoga keadilan ditegakkan," tutur Oky.

Sebelumnya, empat pengamen Cipulir, yakni Fikri, Fatahilla, Ucok, dan Pau, menggugat ganti rugi senilai Rp 750,9 juta lantaran menjadi korban salah tangkap.

Gugatan itu diajukan kepada Kapolda Metro Jaya, Kajati DKI, dan Menteri Keuangan RI.

4 Pengamen Bacakan Bukti Penyiksaan dan Salah Tangkap oleh Polisi

Sidang praperadilan kasus empat pengamen korban salah tangkap berlanjut dengan agenda kesimpulan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Di dalam pembacaan kesimpulan, kuasa hukum empat pengamen, Okky Wiratama Siagian menolak dalil-dalil termohon satu, dua, serta turut termohon di hadapan Hakim Tunggal, Elfian.

Ia membacakan 58 poin dengan total 30 halaman.

Pada salah satu poin kesimpulan yang dibacakannya, Okky mengatakan para terpidana tidak bersalah dan telah terjadi penyiksaan.

Hal itu telah menjadi pertimbangan hakim di dalam salah satu Putusan Peninjauan Kembali No.131/PK/Pid.Sus/2015.

Ia menegaskan para terpidana yang melakukan peninjauan kembali (PK) mengungkap adanya kekhilafan atau kekeliruan dalam penangkapan.

Sebab, lanjut Okky, keterangan para terpidana yang ada dalam berita acara pemeriksaan (BAP) telah dibantah dan dicabut oleh para terpidana di persidangan.

Pencabutan dilakukan dengan alasan berada di bawah intimidasi, penyiksaan dan tidak ada pendampingan penasehat hukum.

"Sehingga keterangan tersebut, terpaksa dikarang dan tidak sesuai dengan fakta. Alasan ini dapat dibenarkan karena terpidana masih anak-anak yang gampang untuk ditakut-takuti dan tidak ada saksi lain yang mendengar sendiri, melihat sendiri merasakan sendiri pada saat kejadian," ujarnya.

"Oleh karena itu tidak diperoleh bukti yang cukup untuk menyatakan para terpidana sebagai pelaku tindak pidana terhadap korban Dicky Maulana," lanjutnya.

Saat persidangan itu, turut dihadiri tiga termohon dari Polda Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI, dan Kementerian Keuangan.

Seusai sidang kesimpulan Okky, mengatakan kesimpulan yang dibacakannya membuktikan telah terjadi penyiksaan berdasarkan bukti yang pernah diajukan sebelumnya.

"Bukti surat kenyataan anak-anak, saksi juga ada, pertimbangan hakim dalam putusan PK menyatakan telah terbukti intimidasi dan penyiksaan. Alasan ini dapat dibenarkan, karena terpidana masih anak-anak yang mudah ditakuti," ujarnya kepada wartawan pada Jumat (26/7/2019).

Fikri Pengamen Salah Tangkap Pindah ke Lapas Tangerang

Fikri Pribadi (23) mengaku baru pertama kali mendekam di balik jeruji besi selepas ia menjadi tersangka kasus pembunuhan pengamen di Cipulir.

Pada tahun 2013, ia dijebloskan ke penjara di Rutan Salemba bersama para napi anak lainnya.

Selama di Salemba, Fikri pun dianggap sebagai kepala kamar (Palkam), sebutan pemimpin di kamar tahanan.

Ia mengaku pernah bertikai dengan sesama napi di dalam kamar tahanan.

"Saya pernah bermasalah juga ketika dipenjara. Saya berantem sama anak baru, enggak tahunya dia punya penyakit asma, dia seperti kejang-kejang," terangnya kepada TribunJakarta.com pada Jumat (26/7/2019).

Pengamen korban salah tangkap, Fikri Pribadi di PN Jakarta Selatan, Jumat (26/7/2019).
Pengamen korban salah tangkap, Fikri Pribadi di PN Jakarta Selatan, Jumat (26/7/2019). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Akibat membuat gaduh tahanan, Fikri dimasukkan ke dalam sel tikus, sebutan kamar tahanan yang sempit bagi para pembuat onar di penjara.

"Saya dimasukkin ke sel tikus. Kamarnya kecil, Enggak bisa keluar. Di dalam sempit banget. Mau buang air ya di situ juga. Pokoknya waktu di tahanan saya sering berantem," akunya.

Tak berselang lama dari peristiwa itu, Fikri kemudian dipindahkan ke Lapas Anak Tangerang.

"Di sana sistemnya kayak "Kerajaan", istilahnya tiap Palkamnya dilayani, disediain makan sama anak buahnya. Kalau pagi suruh nyapuin halaman, wajib nurut," katanya.

Kini, Fikri telah bebas atas kesalahan yang terbukti tidak dilakukan berdasarkan putusan Mahkamah Agung.

"Sebenarnya saya udah melupain masa lalu saya, saya sekarang kerja melaut jadi nelayan di Maluku," ujarnya.

Pengamen Salah Tangkap Diseret Masuk Penjara Makan Nasi Keras

Masih membekas dalam ingatan Fikri Pribadi (23), pengamen korban salah tangkap saat pertama kali mendekam di balik dinginnya jeruji tahanan Salemba, Jakarta Pusat.

Kala itu, pada tahun 2013, Fikri diajak berkenalan oleh para narapidana di rutan usai dirinya digelandang masuk ke dalam penjara.

"Pertama saya masuk, pasti kena pukul sama orang-orang lamanya. Diajak kenalan lah. Maksudnya dipukuli, diinjek-injek. Kalau kata mereka digeberin sama pentolannya," kata Fikri kepada TribunJakarta.com pada Jumat (26/7/2019).

Di dalam rutan, Fikri tinggal bersama lima para narapidana lainnya.

"Sebelumnya saya belum pernah masuk penjara, satu kamar ada lima orang. Selama dua tahun sekamar sama mereka," lanjutnya.

Berbeda dengan kasus yang menjeratnya, teman-teman sekamarnya tersandung kasus narkoba.

"Ada yang kasus sabu, ganja. Kebanyakan mereka kasus ganja," terangnya.

Saat jam makan di rutan, dirinya mengaku tak berselera untuk makan melihat makanan yang disediakan.

"Kalau mau makan, melihatnya aja ogah. Kayaknya napi juga yang masak. Asal-asalan masaknya. Nasinya keras, yang enak cuma tempe. Ayam enggak pernah dapet," tambahnya.

Kendati banyak pengalaman tak mengenakkan yang membekas, Fikri tak ingin menggali lebih dalam ingatannya.

"Saya sudah mencoba melupakan itu semua," tandasnya.

Fikri merupakan korban salah tangkap yang dilakukan Polda Metro Jaya pada tahun 2013.

Ia beserta ketiga pengamen lainnya mendekam di balik jeruji besi hingga dibebaskan tahun 2016.

Kasus salah tangkap itu berawal pada tahun 2013, mereka berempat dinyatakan bersalah oleh kepolisian lantaran melakukan pembunuhan antar pengamen lain dengan motif berebut lapak pengamen di Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Keempat pengamen itu, dipaksa mengaku dengan cara disiksa semasa berada di dalam tahanan kepolisian.

Sehingga mereka harus mendekam di balik jeruji besi di Tangerang hingga keluar tahun 2016.

Di persidangan terbukti bahwa korban yang tewas bukanlah pengamen, dan keempat pengamen itu bukan pembunuh korban.

Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kasus mereka kemudian dibawa menuju meja hijau.

Menurut Kuasa Hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, Mahkamah Agung memutuskan keempat korban tidak bersalah melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (17/7/2019).

Ucok Sang Pengamen Korban Salah Tangkap Bakal Beri Uang ke Ibunda Jika Tuntutan Dikabulkan Hakim

Ucok duduk bersandar menunggu panggilan sidang kasus korban salah tangkap kembali bergulir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Ia beserta ketiga korban salah tangkap lainnya bakal kembali menjalani sidang dengan agenda pembuktian dari pihak termohon.

Pria dengan nama lengkap Arga Putra Samosir itu mengaku sempat tak puas dengan jawaban yang dilontarkan saksi saat sidang sebelumnya.

Saat itu, ia mendengar kesaksian yang diungkapkan oleh saksi pihaknya ternyata jauh dari harapannya.

"Awalnya sih saya sempat enggak puas dengan jawaban ayah angkat Fatah (korban salah tangkap lainnya) yang enggak bisa jawab kapan masuk dan dibebaskannya kita," ujarnya heran kepada TribunJakarta.com pada Kamis (25/7/2019).

Namun, Ucok berpendapat saksi-saksi dari pihaknya merasa gugup saat berada di hadapan hakim.

"Ya mungkin bingung atau gelisah saat ditanya hakim. Apalagi ibu saya pas di depan majelis hakim. Bukannya ngejawab, malah curhat," ujarnya enteng sambil tertawa.

Padahal, Ia yakin saksi-saksi dari pihaknya ke muka sidang paham betul dengan pertanyaan yang ditanyakan ketiga termohon dari pihak Polda Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI, dan Kementerian Keuangan RI.

Kendati merasa tak puas, Ucok tetap melihat ada secercah harapan dalam kasus ini.

Ia berkaca dengan kedua korban sebelumnya yang dinyatakan tak bersalah dan mendapatkan ganti rugi berupa uang sebesar Rp 36 juta seorang.

"Ya mereka sebelumnya dapat ganti rugi, seharusnya kita juga bisa kan," ujarnya.

"Masa kita sudah disiksa, enggak bersalah, menjalani penjara sampai dua tahun lebih, enggak dapat apa-apa akhirnya, coba gimana?" keluhnya.

Apabila dikabulkan, Ucok bertekad untuk membalas budi kepada ibunya.

"Ibu saya juga habis-habisan. Saya enggak bisa bantu uang, kan dia harus bolak-balik ke Tangerang. Bisa tiga kali seminggu jenguk. Kalau dapat uangnya saya akan berikan kepada ibu saya dulu, sisanya buat usaha," tandasnya.

Ucok Sang Pengamen Putus Sekolah Hingga Tak Bisa Bantu Orangtua

Ucok tengah menunggu di PN Jakarta Selatan pada Kamis (25/7/2019).
Ucok tengah menunggu di PN Jakarta Selatan pada Kamis (25/7/2019). (Tribunjakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas)

Di hadapan hakim tunggal, Netty Herawati Hutabarat (47) mengaku sering diberikan uang oleh anaknya dari hasil mengamen.

Netty mengatakan anaknya, Arga Putra Samosir, mengamen bersama teman-temannya meski sang ibu melarangnya.

"Dia itu memang suka ngamen, saya enggak senang anak saya ngamen. Padahal dia saya sekolahkan," bebernya di hadapan Hakim Tunggal, Elfian pada Rabu (24/7/2019).

Meski dilarang, namun Ucok sering membantu Netty dalam mencukupi kebutuhan hidupnya dari hasil mengamen.

"Dia itu suka nyari celah buat ngamen, karena kalau ketahuan saya marahi. Tapi dari hasil mengamen, ia suka memberi saya Rp 50 ribu atau Rp 100 ribu. Nih, bu ada uang dari saya ngamen. Ya bantu-bantu buat keluarga," terangnya.

Saat Ucok tertangkap, Netty pun harus bolak-balik lapas Tangerang untuk menjenguknya.

"Karena tertangkap, saya kunjungi anak saya. Lumayan uang transport yang saya keluarkan dari Polda hingga di lapas Tangerang," bebernya.

"Selain itu, Ucok yang sekolah karena dipenjara jadi putus sekolah," tambahnya.

Saat ditanya terkait sejak kapan Ucok pulang ke rumah, Netty tak bisa menjawab pasti.

"Mana kuingat lagi itu lupa itu semua. Banyak yang dipikirin dalam hidup ini," tandasnya.

Anaknya merupakan korban salah tangkap yang dilakukan Polda Metro Jaya pada tahun 2013.

Ia beserta ketiga pengamen lainnya mendekam di balik jeruji besi hingga keluar tahun 2016.

Menurut Kuasa Hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, Mahkamah Agung memutuskan keempat korban tidak bersalah melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (17/7/2019).

Anaknya Ditahan Jadi Korban Salah Tangkap, Ibu Pengamen Akui Sulit Cari Nafkah

Netty, ibu dari Ucok, salah satu korban salah tangkap pada Rabu (24/7/2019).
Netty, ibu dari Ucok, salah satu korban salah tangkap pada Rabu (24/7/2019). (Tribunjakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas)

Selama anaknya mendekam di balik dinginnya jeruji besi, Netty Herawati Hutabarat (47) diselimuti kegelisahan.

Pikiran Netty terbelah antara keharusan membesuk anaknya Arga Putra Samosir alias Ucok (13) dan berdagang sayuran di dekat rumahnya.

Pengakuan itu diungkapkan olehnya di hadapan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Dulu sebelum dia masuk saya dagang sayuran, tapi setelah dia masuk dagangan saya berantakan. Saya jadi enggak jelas lagi dagangnya," ujar Netty di ruang sidang empat.

Netty juga harus bolak-balik menuju Lapas Anak di Tangerang untuk membesuk Ucok.

"Kalau saya besuk biasanya saya kasih duit. Saya sudah keluarkan uang transport saya mulai dari Polda hingga Tangerang," terangnya.

Saat ditanya terkait sejak kapan Ucok pulang ke rumah, Netty tak bisa menjawab pasti.

"Mana kuingat lagi itu lupa itu semua. Banyak yang dipikirin dalam hidup ini," tandasnya.

Anaknya merupakan korban salah tangkap yang dilakukan Polda Metro Jaya pada tahun 2013.

Ia beserta ketiga pengamen lainnya mendekam di balik jeruji besi hingga keluar tahun 2016.

Menurut Kuasa Hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, Mahkamah Agung memutuskan keempat korban tidak bersalah melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (17/7/2019).

Ibu Pengamen Korban Salah Tangkap Bantah Anaknya Jadi Pembunuh

Orangtua salah satu pengamen korban salah tangkap, Netty Samosir (47) hadir sebagai saksi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dalam kesaksiannya, Netty tak menyangka anaknya Arga Putra Samosir alias Ucok (13) turut terlibat membunuh Diki Maulana di Cipulir, Kebayoran Lama pada tahun 2013.

Netty meyakini Ucok merupakan korban salah tangkap saat dimasukkan ke Unit Kejahatan dan Kekerasan (Jatanras) Polda Metro Jaya sebelum dijadikan tersangka.

"Dia aja saya gertak takut, kan waktu itu dia masih 13 tahun," ujar Netty dalam kesaksiannya di ruang sidang di hadapan Majelis Hakim pada Rabu (24/7/2019).

Ucok dikenal oleh Netty sebagai pribadi yang tertutup.

"Dia memang orangnya tertutup. Kalau ada apa-apa dia enggak mau cerita," tambahnya.

Bahkan, Netty sebenarnya tak setuju dengan Ucok yang menjadi pengamen.

"Dulu itu kan dia ngamen, dia itu curi-curi ngamennya kalau ketahuan kan saya marahi. Saya mesti bertanggung jawab sama anak saya. Tapi kemudian tiba-tiba orang Polda datang ke rumah. Bilang anak saya ditahan," lanjutnya.

Mendengar jawaban polisi bahwa anaknya terlibat pembunuhan, Netty pun sempat tak sadarkan diri.

"Ketika saya tanya, kasus apa pak? Pembunuhan. Dengar itu saya udah pingsan duluan," katanya.

Selama tiga tahun, Ucok mendekam di balik jeruji tahanan.

Banyak biaya yang dikeluarkan oleh Netty untuk membantu menghidupi anaknya di dalam tahanan.

"Kalau saya besuk dia, pasti saya kasih uang. Mulai dari Polda sampai ke tempat dia di penjara, di Tangerang," katanya.

Empat pengamen yang salah tangkap saat itu masih berusia belasan tahun, Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13), dan Pau (16).

Mereka beralasan semenjak dinyatakan tak bersalah pada tahun 2016 silam, belum mendapatkan ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan polisi.

Mereka pun menuntut ganti rugi berupa biaya materiil secara keseluruhan sebesar Rp 662.400.000 dan biaya imateriil sebesar Rp 88.500.000 juta.

Bila ditotal, ganti rugi yang didapatkan keempat pengamen korban salah tangkap mencapai total Rp 750 juta.

Kasus salah tangkap itu berawal pada tahun 2013, mereka berempat dinyatakan bersalah oleh kepolisian lantaran melakukan pembunuhan antar pengamen lain dengan motif berebut lapak pengamen di Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Keempat pengamen itu, dipaksa mengaku dengan cara disiksa semasa berada di dalam tahanan kepolisian.

Sehingga mereka harus mendekam di balik jeruji besi di Tangerang hingga keluar tahun 2016.

Di persidangan terbukti bahwa korban yang tewas bukanlah pengamen, dan keempat pengamen itu bukan pembunuh korban.

Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kasus mereka kemudian dibawa menuju meja hijau.

Menurut Kuasa Hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, Mahkamah Agung memutuskan keempat korban tidak bersalah melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (17/7/2019).

Kuasa Hukum Empat Pengamen Korban Salah Tangkap Sebut Pelaku Asli Telah Ditangkap

Kuasa Hukum empat pengamen korban salah tangkap, Okky Wiratama Siagian meyakinkan bahwa pembunuh asli Diki Maulana di bawah jembatan Cipulir telah ditangkap.

Laporan itu telah diajukan kepada Mahkamah Agung sehingga bukti tersebut akan menguatkan keempat kliennya yang tak bersalah.

"Berdasarkan novum baru. Pelakunya sudah menyerahkan diri. Bukti itu mengubah segalanya. Kalau misalkan mereka (ketiga termohon) itu protes ya silahkan saja, protes Mahkamah Agung. Tapi kita berdasarkan putusan kekuatan hukum tetap kan," terangnya saat ditanyai TribunJakarta.com pada Selasa (23/7/2019).

Okky melanjutkan pelaku asli telah tertangkap oleh LBH Jakarta dengan serentetan bukti riwayat chat.

"Pelakunya ketangkap sama LBH Jakarta, ada bukti-bukti chatnya di facebook dan sms juga kalau dia memang pelakunya. Kita bawa ke kantor polisi. Sempat ditolak juga dari polisi, tapi diterima," lanjutnya.

Pihak Kepolisian, lanjut Okky, seharusnya mengakui bahwa keempat pengamen merupakan korban salah tangkap.

"Kalau dibilang tidak mengakui ya silahkan saja berkomentar. Tapi kan kita berkaca pada putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Jadi enggak ada alasan untuk tak mengakui. Kalau tidak, silahkan saja komplen ke MA," tuturnya.

Pelaku asli yang sudah ditangkap sebanyak tiga orang.

"Pelaku utamanya berinisial I," ujar Okky singkat.

Saat ditemui terpisah, Fikri Pribadi, salah satu korban salah tangkap, yang saat itu masih berusia 17 tahun, kenal dengan salah satu pelaku.

"Saya kenal sama pelakunya itu, pernah ngobrol juga. Masih teman juga. Pelaku aslinya ada tiga orang, tapi saya kenal hanya satu," tambahnya.

Saat di persidangan, pihak Polda Metro Jaya menyebut Fikri bersalah dengan membacok dan menyabet pipi korban dengan golok.

"Itu saya disuruh ngaku seperti itu, dipaksa suruh ngaku kalau enggak ngomong dipukulin," bantahnya.

Empat pengamen yang salah tangkap saat itu masih berusia belasan tahun, Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13), dan Pau (16).

Mereka beralasan semenjak dinyatakan tak bersalah pada tahun 2016 silam, belum mendapatkan ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan polisi.

Mereka pun menuntut ganti rugi berupa biaya materiil secara keseluruhan sebesar Rp 662.400.000 dan biaya imateriil sebesar Rp 88.500.000 juta.

Bila ditotal, ganti rugi yang didapatkan keempat pengamen korban salah tangkap mencapai total Rp 750 juta.

Kasus salah tangkap itu berawal pada tahun 2013, mereka berempat dinyatakan bersalah oleh kepolisian lantaran melakukan pembunuhan antar pengamen lain dengan motif berebut lapak pengamen di Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Keempat pengamen itu, dipaksa mengaku dengan cara disiksa semasa berada di dalam tahanan kepolisian.

Sehingga mereka harus mendekam di balik jeruji besi di Tangerang hingga keluar tahun 2016.

Di persidangan terbukti bahwa korban yang tewas bukanlah pengamen, dan keempat pengamen itu bukan pembunuh korban.

Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kasus mereka kemudian dibawa menuju meja hijau.

Menurut Kuasa Hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, Mahkamah Agung memutuskan keempat korban tidak bersalah melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (17/7/2019).

Kemenkeu Ogah Bayar Ganti Rugi Rp 750 Juta kepada 4 Pengamen Korban Salah Tangkap

Kementerian Keuangan RI menolak membayar ganti rugi kepada keempat pengamen korban salah tangkap sebesar Rp 750 juta.

Sebab, menurut pihak Kemenkeu, pekerjaan pengamen dilarang sesuai perda DKI Jakarta Nomor 8 Tahun 2017 tentang Ketertiban Umum.

Apabila melanggar aturan tersebut, pelaku bisa diganjar ancaman pidana kurungan penjara 10 tahun dan paling lama 60 hari atau denda Rp 100 ribu dan paling banyak Rp 20 juta.

"Pengamen secara tegas dan jelas tidak diperbolehkan untuk dilaksanakan di DKI Jakarta," ujar Daryono selaku kuasa hukum dari Kementerian Keuangan di ruang sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (23/7/2019).

Namun, menurut kuasa hukum keempat pengamen, Okky Wiratama Siagian, Kemenkeu tidak berwenang untuk mengaitkannya dengan Perda DKI.

"Sekarang, legal standing dia ngomong seperti itu apa? Selama ini kita saksikan pengamen jalanan, itu tanggung jawab siapa? Tanggung jawab negara. Negara wajib mengurus, apalagi mereka anak-anak," bebernya.

"Mereka saja tidak sekolah karena tidak mampu, cari nafkah dari mana tidak mungkin mencuri. Mencuri itu pidana, tapi kalau dia pengamen ya kan dia menggunakan kreativitasnya. Dia nyanyi dan main musik itu seni. Kalau nyanyi salah dong?" tanyanya lagi.

Okky kembali menegaskan bahwa Kemenkeu RI tidak berwenang membacakan jawaban di muka sidang terkait Perda DKI.

"Menurut saya tidak pantas Kemenkeu mengomentari hak-hak di luar batas kewenangan mereka," tandasnya.

Kuasa hukum keempat pengamen salah tangkap, Okky Wiratama Siagian pada Selasa (23/7/2019).
Kuasa hukum keempat pengamen salah tangkap, Okky Wiratama Siagian pada Selasa (23/7/2019). (Tribunjakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas)

Persidangan kasus salah tangkap empat pengamen oleh polisi kembali bergulir dengan agenda pembacaan jawaban dari para termohon.

Dalam sidang itu, hadir tiga pihak termohon yaitu Polda Metro Jaya, Kementerian Keuangan dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Jawaban termohon dari Polda Metro Jaya dibacakan oleh AKP Nova Budianto, Kementerian Keuangan oleh Daryono, serta Kejaksaan Tinggi Negeri oleh Hadiyanto dan RV Latumenten.

Tiga pihak itu menolak dalil yang sebelumnya dibacakan oleh kuasa hukum keempat pengamen korban salah tangkap, Okky Wiratama Siagian pada Senin (22/7/2019) silam.

Polisi Nilai Tuntutan Pengamen Korban Salah Tangkap Mengada-ada

Suasana sidang kedua praperadilan empat pengamen salah tangkap dengan agenda pembacaan jawaban termohon pada Selasa (23/7/2019).
Suasana sidang kedua praperadilan empat pengamen salah tangkap dengan agenda pembacaan jawaban termohon pada Selasa (23/7/2019). (TribunJakarta.com/Satrio Sarwo Trengginas)

Pihak Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, menolak permohonan ganti rugi keempat pengamen korban salah tangkap senilai Rp 750 juta rupiah.

Menurut Kuasa Hukum Polda Metro Jaya, AKP Budi Novianto, permohonan tersebut tak sesuai dengan pasal 95 KUHAP dan Pasal 77 KUHAP.

"Ganti rugi yang mengada-ngada dan tidak berdasar hukum, sehingga sudah sepatutnya ditolak oleh hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo," ujar Budi di ruang sidang lima, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Selasa (23/7/2019).

Budi menuturkan, kerugian yang didera oleh para pengamen selama di penjara di antaranya pengeluaran biaya kamar, biaya besuk, biaya makan telah diberikan secara layak oleh pemerintah.

"Sangat mengada-ngada dan tanpa bukti yang jelas yang dapat dipertanggung jawabkan. Termohon 1 sampaikan bahwa selama penahanan, Negara telah menyediakan makanan dan minuman bagi para pemohon selama masa penahanan dilakukan layak," terangnya di pengadilan.

Sebelumnya, Kuasa Hukum keempat pengamen korban salah tangkap, Okky Wiratama Siagian mengatakan pihak termohon harus mengganti rugi kliennya berupa biaya materiil maupun imateriil.

Kerugian biaya materiil secara keseluruhan sebesar Rp 662.400.000 juta dan biaya imateriil sebesar Rp 88.500.000 juta.

Bila ditotal, mencapai Rp 750 juta rupiah.

"Perhitungan kerugian imateriilnya waktu korban disiksa, disetrum dan akhirnya menyebabkan luka-luka. Kita menghitungnya dari yang ditimbulkan. Misalkan jadi cedera fisik," ujar Okky saat ditemui beberapa waktu silam.

Persidangan kasus salah tangkap empat pengamen oleh polisi kembali bergulir dengan agenda pembacaan jawaban dari para termohon.

Dalam sidang itu, hadir tiga pihak termohon yaitu Polda Metro Jaya, Kementerian Keuangan dan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta.

Jawaban termohon dari Polda Metro Jaya dibacakan oleh AKP Nova Budianto, Kementerian Keuangan oleh Daryono, serta Kejaksaan Tinggi Negeri oleh Hadiyanto dan RV Latumenten.

Tiga pihak itu menolak dalil yang sebelumnya dibacakan oleh kuasa hukum keempat pengamen korban salah tangkap, Okky Wiratama Siagian pada Senin (22/7/2019) silam.

Penjelasan Polisi Terkait Dalil Permohonan Empat Pengamen Korban Salah Tangkap

Dua pengamen yang merupakan korban salah tangkap melapor ke PN Jaksel pada Rabu (17/7/2019).
Dua pengamen yang merupakan korban salah tangkap melapor ke PN Jaksel pada Rabu (17/7/2019). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Pihak termohon, Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya, membantah dalil-dalil permohonan para keempat pengamen yang mengatakan mereka korban salah tangkap.

Bertempat di ruang sidang lima, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, AKP Budi Novianto selaku kuasa hukum Polda Metro Jaya mengemukakan bantahannya.

"Bahwa dalil-dalil pemohon kabur, menolak tegas dalil para pemohon," ujar Budi pada Selasa (23/7/2019).

Budi memohon kepada majelis hakim untuk membatalkan permohonan praperadilan empat pengamen secara seluruhnya.

Terkait penyidikan, lanjut Budi, pihaknya telah melakukannya secara sah dan tidak menyalahi aturan.

Di hadapan majelis hakim, Budi membeberkan enam butir permohonan bahwa pengajuan praperadilan dari pihak korban keliru.

Sebanyak tiga pihak selaku termohon dihadirkan untuk membacakan jawaban dari dalil yang sebelumnya dilontarkan oleh pihak korban.

Tiga pihak itu yaitu Polda Metro Jaya, Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta, dan Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Mereka masing-masing menolak dalil yang sebelumnya dibacakan oleh kuasa hukum keempat pengamen korban salah tangkap, Okky Wiratama Siagian pada Senin (22/7/2019) silam.

Empat Pengamen Korban Salah Tangkap Minta Perlindungan LPSK

Selama proses persidangan, keempat pengamen korban salah tangkap di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan meminta perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Menurut Kuasa Hukum keempat pengamen, Okky Wiratama Siagian, permohonan berupa surat itu telah diajukan ke LPSK.

"Belum ada pertemuan khusus, kita baru menyurati saja," ungkapnya wartawan pada Selasa (23/7/2019).

Okky melanjutkan selama persidangan belum ada intimidasi yang menyerang empat pengamen itu.

"Untuk saat ini belum ada, belum ada tekanan hingga intimidasi. Kemarin sampai disamperin di sini sama penyidiknya yang di Polda Metro Jaya," ungkapnya.

Empat pengamen yang salah tangkap saat itu, masih berusia belasan tahun, Fikri (17), Fatahillah (12), Ucok (13), dan Pau (16).

Mereka beralasan semenjak dinyatakan tak bersalah pada tahun 2016 silam, belum mendapatkan ganti rugi atas kesalahan yang dilakukan polisi.

Mereka pun menuntut ganti rugi berupa materil senilai Rp 165 juta untuk masing-masing korban.

Pencegahan Kanker Serviks Tergolong Lambat, Ini Kendalanya

Aksinya Beri Jaket ke Remaja Tanpa Busana Viral di Medsos, Driver Ojol: Saya Kasihan

Indonesia Banyak Datangkan Mobil Listrik dari Luar Negeri, Kemenperin Bakal Adopsi Standar UNECE

Showroom Bajaj di Jakarta Barat Tunggak Pajak Rp 1,2 Miliar

Datangi KPAI, Pihak Sekolah Bantah Anak Nunung Alami Bullying

Kasus salah tangkap itu berawal pada tahun 2013, mereka berempat dinyatakan bersalah oleh kepolisian lantaran melakukan pembunuhan antar pengamen lain dengan motif berebut lapak pengamen di Cipulir, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan.

Sehingga mereka harus mendekam di balik jeruji besi di Tangerang.

Akan tetapi, kemudian terbukti di persidangan bahwa korban yang tewas bukanlah pengamen, dan mereka bukan pembunuh korban.

Melalui Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kasus mereka kemudian dibawa menuju meja hijau.

Menurut Kuasa Hukum korban dari LBH Jakarta, Oky Wiratama Siagian, Mahkamah Agung memutuskan keempat korban tidak bersalah melalui putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016.

"Di Mahkamah Agung, putusannya menyatakan membebaskan keempat anak kecil ini. Nah, kami memberitahu kepada mereka, ketika putusannya bebas maka ada hak mereka yang bisa dituntut ganti kerugian. Dan udah ada mekanismenya dari PP 92 tahun 2015," ujarnya kepada wartawan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu (17/7/2019).

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved