Kisah Faisol Yusuf, Penjaga Lapangan Banteng dan Jual Kerak Telor hingga Berangkat ke Maroko
"Dua anak di bangku kuliah, sedangkan anak saya satu lagi masih SD. Padahal awalnya saya hanya ngemper di Lapangan Banteng," ujarnya.
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Wahyu Aji
Bermodalkan uang Rp 800 perak, ia tinggal mengemper bersama orangtuanya di Terminal itu.
Faisol pun sempat berdagang buah mangga yang diambilnya dari Stasiun Beos atau yang kini dikenal Stasiun Jakarta Kota.
"Di sana mangga yang udah enggak laku, kita sortirin. Kemudian kita bawa ke terminal buat jual-jualin ke bis-bis," ungkapnya.
Selama setahun, aku Faisol, dirinya tinggal di Terminal Lapangan Banteng.
"Setelah setahun itu saya kuasain daerah terminal, saya tinggal di rumah di Pejambon," ujarnya.
Jadi Preman Terminal Lapangan Banteng
Bagi Faisol, menyambung hidup di Terminal Lapangan Banteng itu keras bak batu karang.
Pasalnya, hanya masalah sepele saja, baku hantam mudah terjadi hingga menimbulkan korban jiwa.
"Hanya rokok sebatang, bisa bunuh-bunuhan di sini," katanya.
Ia juga tak jarang melihat mayat bergelimpangan di sekitar Lapangan Banteng kala itu.
Selain itu, tingkat kriminalitas juga terbilang tinggi seperti pencopetan.
"Di lapangan ini banyak sekali preman. Rawan sekali dulu di sini," kenangnya.
Diri Faisol yang keras terbentuk dari kehidupannya selama Lapangan Banteng itu masih menjadi terminal.
Dulu, sewaktu ia masih menjual koran di sana, Faisol pernah bertikai dengan sesama penjual koran yang lebih tua.
"Waktu kita lagi ngantre di bus buat jualan koran, dia main nyelonong aja. Terus saya berani bertikai sama dia," kenangnya.