Babak Baru Kasus Veronica Koman: PBB Turun Tangan, Cabut Segala Kasus dan Berikan Perlindungan

"Mencabut segala kasus terhadap dia (Veronica) sehingga dia dapat kembali melaporkan situasi mengenai HAM di Indonesia secara independen," kata mereka

Penulis: Erik Sinaga 2 | Editor: Erik Sinaga
(Tribunnews)
Mengenal Veronica Koman, Tersangka Kerusuhan Asrama di Papua, Pengacara HAM Pendamping Pengungsi Pencari Suaka 

TRIBUNJAKARTA.COM- Desakan agar pemerintah Indonesia mencabut perkara yang menjerat aktivis HAM Veronica Koman datang dari Perserikatan Bangsa-Bangsa ( PBB).

Para ahli Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) justru mendesak pemerintah Indonesia mencabut kasus Veronica sekaligus memberikan perlindungan terhadapnya.

"Kami mempersilakan pemerintah mengambil langkah terhadap insiden rasisme, tetapi kami mendorong agar pemerintah segera melindungi Veronica Koman dari segala bentuk pembalasan dan intimidasi," kata para ahli seperti dikutip dari laman OHCHR, Rabu (18/9/2019).

"Dan mencabut segala kasus terhadap dia (Veronica) sehingga dia dapat kembali melaporkan situasi mengenai HAM di Indonesia secara independen," kata mereka.

Para ahli diketahui bernama Clement Nyaletsossi Voule dari Togo, David Kaye dari Amerika Serikat, Dubravka Šimonovi dari Kroasia, Meskerem Geset Techane dari Etiopia, dan Michel Forst dari Perancis.

Bisa Obati Orang Kesurupan, Begini Pengakuan Ningsih Tinampi Dapat Ilmu Gara-gara Suami Selingkuh

Selain itu, para ahli itu sekaligus menyampaikan bahwa keinginan polisi mencabut paspor Veronica, memblokir rekening, dan meminta Interpol menerbitkan red notice turut menjadi perhatian mereka.

Dalam keterangan tertulisnya, OHCHR juga mendorong pemerintah Indonesia untuk memperhatikan hak-hak peserta aksi serta memastikan layanan internet tetap tersedia di Papua dan Papua Barat.

Sebab, pembatasan layanan internet yang dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sejak 21 Agustus maupun penggunaan kekuatan militer yang berlebihan dinilai tak akan menyelesaikan masalah.

Sebaliknya, para ahli menganggap pembatasan kebebasan berekspresi itu dapat membahayakan keselamatan para aktivis HAM untuk melaporkan dugaan pelanggaran.

"Secara umum, pembatasan internet dan akses terhadap informasi memiliki dampak yang merugikan terhadap kemampuan berekspresi seseorang, serta untuk membagikan dan menerima informasi," demikian tertulis dalam sikap mereka.

"Di sisi lain, akses terhadap internet berkontribusi untuk mencegah terjadinya disinformasi serta memastikan transparansi dan akuntabilitas," kata mereka.

Ketemu di Rumah Baim Wong, Ini Sikap Tak Terduga Rizki ke Nenek Iroh Usai Ngaku Tobat Jadi Preman

Kelima ahli tersebut pun sekaligus menyambut baik ketika pemerintah mulai membuka akses internet di sejumlah daerah di Papua pada 4 September 2019.

Diketahui, Veronica ditetapkan sebagai tersangka oleh Polda Jawa Timur atas tuduhan menyebarkan konten berita bohong atau hoaks dan provokatif terkait kerusuhan Papua dan Papua Barat pada 4 September 2019.

Polisi menjerat Veronica dengan sejumlah pasal dalam beberapa UU, antara lain Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, Kitab Undang-undang Hukum Pidana terkait pasal penghasutan, dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Menurut kepolisian, ada beberapa unggahan Veronica yang bernada provokatif, salah satunya pada 18 Agustus 2019.

Salah satu unggahan yang dimaksud ialah "Anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa".

Bandingkan Sikap Soeharto & Jokowi saat Bahas Kebakaran Hutan, Fadli Zon Protes: Kasihan Rakyat!

Bantahan Veronica

Sebut Kriminalisasi

Menurut aparat kepolisian, ada beberapa unggahan Veronica yang bernada provokatif, salah satunya pada 18 Agustus 2019.

Ada juga unggahan yang kalimatnya "Anak-anak tidak makan selama 24 jam, haus dan terkurung disuruh keluar ke lautan massa".

Veronica menilai bahwa aparat telah menyalahgunakan wewenangnya dalam penanganan kasus yang menjerat dirinya.

"Kepolisian telah menyalahgunakan wewenangnya dan sudah sangat berlebihan dalam upayanya mengkriminalisasi saya, baik dalam caranya maupun dalam melebih-lebihkan fakta yang ada," tutur dia.

Ia pun menegaskan bahwa dirinya menolak segala bentuk pembunuhan karakter yang ditujukan kepadanya.

Dalam pandangannya, pemerintah tidak dapat menangani konflik berkepanjangan di Papua.

Maka dari itu, pemerintah mencari kambing hitam, yaitu dirinya.

"Papua adalah salah satu wilayah yang paling ditutup di dunia ini. Dan kembali saya tegaskan, kriminalisasi terhadap saya adalah rangkaian dari upaya negara untuk terus membungkam informasi yang keluar dari Papua," ungkap Veronica.

Tak hanya terhadap dirinya, Veronica mengatakan kriminalisasi tersebut juga menimpa orang Papua lainnya.

Kriminalisasi itu, katanya, seolah ingin mengaburkan aspirasi masyarakat Papua yang melakukan aksi.

Tuduhan Tak Lapor Pertanggungjawaban Beasiswa

Polda Jawa Timur mendapatkan informasi bahwa Veronica pernah mendapatkan beasiswa S2 dari pemerintah pada 2017 untuk studi pascasarajana (S2) bidang hukum.
Namun, menurut Kapolda Jawa Timur Irjen (Pol) Luki Hermawan, Veronica tidak pernah membuat laporan pertanggungjawaban sebagaimana umumnya mahasiswa yang memperoleh beasiswa sejak tahun 2017.

Veronica mengakui ia terlambat memberi laporan studi kepada institusi pemberi beasiswa. Namun, ia menegaskan bahwa persoalan itu telah selesai pada 3 Juni 2019.

"Bahwa betul saya terlambat dalam memberikan laporan studi kepada institusi beasiswa, tetapi urusan itu telah selesai per 3 Juni 2019 ketika universitas tempat saya studi mengirimkan seluruh laporan studi saya kepada institusi beasiswa saya," ucap dia.

Veronica mengaku memiliki hubungan yang dingin dengan institusi pemberi beasiswa.  Alasannya, ia dilaporkan kepada pemberi beasiswa dengan tuduhan mendukung gerakan separatisme di sebuah acara.

Veronica menceritakan, pihak yang melaporkannya adalah staf Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Australia.

Kala itu, ia mengaku sedang menjadi pembicara mengenai pelanggaran HAM di Papua.

Acara itu diselenggarakan Amnesty International Australia dan gereja setempat. Para staf tersebut merekam dan memotretnya.

"Para staf KBRI tidak hanya datang ke acara tersebut untuk memotret dan merekam guna mengintimidasi pembicara, tapi saya juga dilaporkan ke institusi beasiswa atas tuduhan mendukung separatisme di acara tersebut," kata Veronica.

"Itu juga yang membuat hubungan saya dengan institusi beasiswa saya menjadi dingin dan saya tidak meminta lagi pembiayaan beberapa hal yang seharusnya masih menjadi tanggungan beasiswa," lanjut dia.

Tuduhan Transaksi Tidak Wajar

Polda Jawa Timur mengaku menemukan 8 rekening atas nama Veronica Koman.  Awalnya penyidik menemukan 2 rekening dengan nama Veronica. Kemudian, ditemukan lagi 6 rekening atas nama Veronica.

Kapolda Jatim Irjen Luki Hermawan mengatakan dari 6 rekening yang baru ditemukan, polisi mendapatkan transaksi tak wajar.

Namun, Luki tak menjelaskan detail transaksi yang dimaksud. Veronica membantah tudingan tersebut.

Ia mengaku jumlah uang rekening yang ia miliki dalam batas wajar.

"Bahwa saldo rekening saya dalam batas nominal yang wajar sebagai pengacara yang juga kerap melakukan penelitian," ujar dia.

Tuduhan Cairkan Uang di Surabaya dan Papua Dari transaksi yang dinilai tidak masuk akal oleh kepolisian, Kapolda Jatim menyebutkan uang tersebut berasal dari dalam negeri.

Kemudian, menurut keterangan polisi, Veronica diduga mencairkan uang tersebut di sejumlah tempat di dalam negeri, di antaranya di Surabaya dan Papua.

Menanggapi hal tersebut, Veronica menegaskan bahwa ia hanya pernah berkunjung ke Surabaya sebanyak satu kali di tahun 2018.

Jika ia memang pernah menarik uang saat di Surabaya, Veronica yakin bahwa hal itu dalam nominal yang wajar.

"Saya hanya pernah ke Surabaya sekali dalam seumur hidup saya, selama 4 hari, yaitu ketika pendampingan aksi 1 Desember 2018 bagi klien saya AMP (Aliansi Mahasiswa Papua)," ujar dia.

"Saya tidak ingat bila pernah menarik uang di Surabaya. Apabila saya sempat pun ketika itu, saya yakin maksimal hanya sejumlah batas sekali penarikan ATM untuk biaya makan dan transportasi sendiri," lanjut dia.

Perempuan Ini Ceritakan Calon Suaminya Tidak Bisa Bangun Usai Minum Kopi Penambah Stamina

Bandingkan Sikap Soeharto & Jokowi saat Bahas Kebakaran Hutan, Fadli Zon Protes: Kasihan Rakyat!

Liga Champions: Liverpool Takluk, hingga Sikap Lampard Terkait Pemain Chelsea Rebutan Penalti

Begitu pula dengan tuduhan menarik uang di Papua. Veronica pun yakin bahwa penarikan uang yang dilakukan di Papua dalam jumlah yang wajar untuk kehidupan sehari-hari.

Ia berpandangan bahwa pemeriksaan rekeningnya sebagai bentuk penyalahgunaan wewenang polisi.

Sebab, Veronica menilai, pemeriksaan rekening tidak terkait dengan kasus yang menimpanya.

"Saya menganggap pemeriksaan rekening pribadi saya tidak ada sangkut pautnya dengan tuduhan pasal yang disangkakan ke saya, sehingga ini adalah bentuk penyalahgunaan wewenang kepolisian, apalagi kemudian menyampaikannya ke media massa dengan narasi yang teramat berlebihan," ujar Veronica.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul PBB Turun Tangan, Desak Indonesia Bebaskan Veronica Koman

dan

Tuduhan Polisi, Bantahan Veronica Koman...

Sumber: Kompas.com
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved