Jadi Pedagang Asongan di Jakarta Sejak Tahun 1970, Ahmad Miliki Sawah dan Tanah di Kampung
Ahmad pedagang asongan di Terminal Pulogadung Jakarta Timur sejak 1970-an, miliki tanah dan sawah.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Suharno
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, PULOGADUNG - Ketika melihat sosoknya, banyak orang yang salut pada Ahmad (75).
Di sisa tenaganya kini, Ahmad memilih untuk tidak mengharapkan belas kasih atau mengemis.
Meskipun tak lagi kuat memikul beban berat, Ahmad tetap mau berusaha dengan menjual tisu, masker, permen dan lain sebagainya di depan pintu masuk Terminal Pulogadung, Jakarta Timur.
Sejak memutuskan merantau ke Ibu Kota di tahun 1970-an, Ahmad memang memilih bekerja sebagai pedagang.
Bedanya, jika dulu ia mampu berkeliling dan berjualan di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur.
Sedangkan saat ini, ia lebih memilih untuk berjualan mangkal di depan Terminal Pulogadung, Jakarta Timur.
"Sudah enggak kuat keliling. Sudah enggak kuat kalau bawa beban banyak. Kayaknya ada 4 tahun di sini, mangkal aja," ucapnya di Pulogadung, Kamis (7/11/2019).
• Presiden Jokowi Singgung Rangkulan Surya Paloh dan Sohibul Iman, PSI: Sindiran, PDIP: Itu Guyonan

Sejak muda hingga memiliki 5 orang anak, waktu Ahmad hanya dihabiskan untuk berdagang.
Mulai pukul 05.00 hingga 17.00 WIB adalah jam kerja Ahmad.
Ya, meskipun hanya seorang pedagang asongan, Ahmad mengatakan hidupnya harus disiplin dan yang pertama dimulai perihal waktu.
"Kalau kerja sudah pasti di jam itu. Mau yang pas di Cipinang maupun yang di sini (Terminal Pulogadung)," sambungnya.
Menurutnya ketika seseorang menerapkan hidup disiplin, maka hasil ke depannya pasti jauh lebih baik.
Selain itu, Ahmad juga menerapkan disiplin pada persoalan lainnya.
Berawal dari pengalaman pahit, ia memutuskan untuk displin soal keuangan, termasuk pengeluarannya.
Kenangan buruk itu terjadi saat dirinya berusia belasan tahun dan masih tinggal bersama orang tuanya di Tegal.
Saat itu, demi kebutuhan makan sehari-hari, Ibunya harus bekerja di sawah milik orang lain.
Layaknya anak kecil, Ahmad mengikuti sang Ibu ke sawah.
Namun, ditengah mengarit, Ahmad mengatakan Ibunya diminta pergi oleh pemilik sawah.
"Dulu itu saya susah banget. Ibu saya dibilang 'saya enggak nyuruh kamu kerja. Sudah sini balikin'. Kemudian saya mengajak Ibu pulang dan melihat beliau nangis," ungkapnya.
"Kita berdua nangis karena enggak tahu mau makan apa. Sejak saat itu saya bertekad bila punya uang akan membeli sawah," sambungnya.
• Ustaz Abdul Somad Singgung Radikal Tak Akui Pancasila, Sebut Nama Rizieq Shihab & Tengku Zulkarnain
Waktu yang terus bergulir dan kehidupan keluarga yang tak ada perubahan itulah yang membuat Ahmad memutuskan untuk mengadu nasib di Jakarta dan menjadi pedagang asongan.
"Saya punya uang sedikit buat modal beli rokok. Saya keliling aja di Pasar Induk Beras Cipinang pas muda. Setiap hari saya patokin penghasilan Rp 300-400 ribu. Alhamdulillah dapat," jelasnya.
Selanjutnya, penghasilan tersebut ia kumpulkan sedikit demi sedikit.
Hal ini juga berlanjut saat dirinya sudah berumah tangga dan memiliki 5 orang anak.
Setiap harinya, jumlah yang disisihkan tak pernah menentu.
Apalagi ketika jualannya mulai sepi, ia pun tak lagi bisa menyisihkan banyak untuk menabung.
"Yang penting nabung tiap hari jalan. Kalau rezekinya lagi banyak ya yang ditabung juga banyak. Jadi jangan sampai kelewat untuk menabung," ungkapnya.
Hingga akhirnya tak terasa uangnya terkumpul hingga puluhan juta rupiah dan akhirnya ia putuskan untuk membeli sawah di kampung halamannya.
Pada saat itu, tak ada lain yang dipikirkannya selain membeli sawah ketika mengetahui jumlah tabungannya.
"Saya cicil beli sawah. Dulu kan masih murah. Ini uang tabungan dari bujangan juga ada. Alhamdulillah ya ada tanah sekira 1 hektar di kampung," ungkapnya.
Punya Tanah
Tak hanya sawah, Ahmad sebenarnya juga memiliki sekitar 2 ribu m² tanah di kampung halamannya.
Tentunya, tanah ini juga ia beli dari hasil menyisihkan sebagian penghasilannya semenjak merantau ke Jakarta di tahun 1970-an.
Kegigihannya berjualan setiap hari, membawanya untuk membeli sawah dan juga tanah di kampung halamannya.
"Ini kan buat masa depan. Kalau nanti enggak ada uang atau kebutuhan mendesak, sawah sama tanahnya bisa dijual di kampung," katanya.
Kendati demikian, hal itu tak lantas membuat Ahmad berleha-leha dan hidup santai di Jakarta.
Di usianya yang senja, Ahmad masih berjualan untuk menafkahi anak dan istrinya.
"Saya anti mengemis. Lebih baik penghasilan kecil tapi dari dagang seperti ini ketimbang ngemis. Mau orang bilang saya sudah ada tanah sama sawah ngapain kerja. Saya cuma bilang, masih kuat kerja. Masih kuat cari nafkah buat anak dan istri serta masih mau kerja," katanya.
Mampu Kuliahkan Anak dan Pergi Haji
Tak hanya sawah dan tanah, uang tabungannya sedikit demi sedikit juga dipergunakan oleh Ahmad untuk membiayai anak bungsunya, Nur Indah Masropikoh untuk kuliah.
"Saya senang anak saya yang kecil kepikiran kuliah. Dia sudah kerja tapi gajinya kecil. Jadi saya masih kerja dan nabung buat bantu bayar kuliah dia juga ini," jelasnya.
Saat ini, Ahmad mengatakan kalau Indah sudah memasuki kuliah di tahun ke-3.
Selain itu, uang tabungan Ahmad juga digunakan untuk mencicil biaya haji sang istri.
Niatnya yang ingin pergi haji lebih dulu diurungkan karena keinginan sang istri.
"InsyaAllah istri saya berangkat 3 tahun lagi. Jadi intinya apapun usahanya asalkan disiplin waktu dan disiplin soal keuangannya, pasti bisa melakukan banyak hal," jelasnya.
"Ya walaupun semuanya butuh proses. Saya pun begitu, demi semua ini, saya berjuang sejak tahun 1970-an sampai sekarang," tandasnya.