Kisah Ridho: Tubuh Hingga Wajah Dipenuhi Tato, Jadi Tukang Tato dan Kesal Dibilang Anak Punk
Sedari kecil, Ridho memang terbilang bandel dan nakal, hingga puncak kenakalannya terjadi usai lulus Sekolah Dasar (SD).
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Erik Sinaga
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, PASAR REBO - Miliki tato hingga ke bagian wajah, Ridho Irawan (31) akui bukan anak punk.
Ridho merupakan anak ke-5 dari 9 bersaudara dan sudah lama menetap di Pasar Rebo, Jakarta Timur.
Sedari kecil, Ridho memang terbilang bandel dan nakal, hingga puncak kenakalannya terjadi usai lulus Sekolah Dasar (SD).
Ridho mulai tak menginginkan melanjutkan sekolah dan memilih mencari uang sendiri dengan keahlian jasa tato yang dimilikinya.
"Saya bandel, abis lulus SD saya merantau ke kota lain jadi enggak di Jakarta aja. Ya gimana ya namanya di dalam keluarga pasti ada aja anak yang enggak benar dan kebetulan di saya. Sebab di keluarga saya, yang begininya saya aja," katanya di Jakarta Timur, Senin (9/12/2019).
Selepas pamit kepada orang tua dan keluarganya, Ridho memilih Yogyakarta sebagai kota perantauannya dengan membawa mesin tato.
"Saya pamit bilang sama semuanya Ridho mau merantau ke Jawa. Tapi waktu itu belum tahu mau kemana karena cuma bawa uang Rp 800 ribu dari natoin teman. Akhirnya ke Malioboro, ngekos terus jadi buka jasa tato di sana," sambungnya.
Ketika berada di Yogyakarta, Ridho mengakui tak mematok tarif untuk jasa tatonya.
Sebab dari sebagian yang memakai jasanya juga berasal dari teman-temannya sendiri.
"Bayarannya gimana ya namanya sama teman. Kadang ada yang kasih Rp 200 ribu kadang ada yang kasih sampai Rp 1,5 juta," ungkapnya.
Selanjutnya, karena pengaruh lingkungan sekitar, timbulah rasa dalam diri Ridho untuk ikut menato sejumlah bagian tubuhnya.
Dengan bantuan teman sesama penato, Ridho mulai menato bagian tangan, leher, badan hingga wajahnya.
"Ya pas di Yogyakarta itu saya mulai menato sampai penuh ke muka gini. Makanya sering dibilang kayak anak punk," jelasnya.
Akhirnya, selama 4 tahun bertahan hidup di Yogyakarta, Ridho melanjutkan perjalanannya ke kota-kota lainnya seperti Klaten dan Semarang.