Marto Ingin Umrah dari Hasil Jual Bingkai dan Cermin Keliling di Jakarta, Ini Kisah Hidupnya
Marto, belasan tahun pernah sukses sebagai bos ukiran kayu jati. Berpuluh-puluh tahun kemudian ia menjual bingkai dan cermin keliling Jakarta.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, PASAR REBO - Belasan tahun pernah sukses sebagai bos ukiran kayu jati, berpuluh-puluh tahun kemudian Marto menjadi penjual bingkai dan cermin.
Orang melihat sekilas tak menyangka Marto sudah 70 tahun, tapi otot lengannya masih kencang dan perawakannya tegap, berjalan pun masih bertenaga.
Pria asal Brebes, Jawa Tengah ini pernah merasakan hidup tak melulu di atas, tapi juga harus lanjut meski di bawah.
Klimaksnya, usaha ukiran kayu jati asal Jepara bangkrut saat krisis ekonomi menghantam Indonesia pada 1997, setahun sebelum kekuasaan Orde Baru tumbang.
Diperparah bahan baku dan ongkos produksi saat itu semakin mahal.
"Saya jual kayu asli Jepara. Dulu ramai, tapi lama kelamaan harga kayu mahal. Kita juga bingung jualnya," cerita Marto kepada TribunJakarta.com saat ditemui di Jakarta Timur, Kamis (12/12/2019).
Tak ada yang bisa diselamatkan dari bisnis yang dirintisnya sejak 1980 itu.
Jika dipertahankan pun percuma, karena produknya jika dijual terlalu mahal sulit laku.
"Ya sudah, jadinya ditutup saja," kata Marto pendek.
Tanpa pekerjaan, Marto didatangi seorang teman sekampung yang mengajaknya ke Jakarta berjualan bingkai kayu dan cermin.
Tawaran itu langsung disambarnya tanpa pikir panjang, ketimbang menganggur tanpa melakukan apa-apa.
"Begitu merantau ke Jakarta langsung buka usaha," ungkap Marto, "Malah awet sampai sekarang kerja begini."
Hampir 22 tahun berjualan bingkai dan cermin keliling menggunakan gerobak, Marto dan pedagang lainnya punya aturan.
Tiap-tiap pedagang tak bisa seenaknya berjualan karena sudah punya wilayah masing-masing.
Jatah Marto berkeliling menjajakan dagangan hanya di sekitar Pasar Rebo, Kramat Jati, Makasar, Pinang Ranti dan Cipayung.
"Dari dulu jualannya ya sekitaran sini aja. Kalau ke Pasar Minggu sudah beda orang lagi dan teman saya sendiri," Marto menjelaskan.
Sehari, penghasilan Marto tak tentu, berkisar Rp 100 ribu sampai Rp 400 ribu, tergantung barang yang terjual.
Berdagang bingkai dan cermin keliling menggunakan sistem untung yang harga awalnya sudah ditentukan oleh bos.
"Tinggal saya saja jualnya berapa. Biasanya, saya ambil keuntungan 100 persen, sebab masih sering ditawar," ungkap Marto.
Lebih seringnya ia memakai topi agar terlindung panas dan bersandal jepit selama berjualan keliling.
Sebagian penghasilan ya didapat ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari tinggal di Jakarta.
Sisanya ditabung untuk bekal di hari tua.
Sewaktu masih sukses sebagai juragan ukiran kayu jati Jepara, Marto tak kepikiran untuk menabung.
"Sekarang, penghasilannya disisihkan, supaya enggak kayak dulu," kenangnya.
Selama masih kuat dan mampu cari uang sendiri, Marto pantang mengandalkan uluran tangan orang lain.
Keuntungan berdagang bingkai dan cermin lumayan sehingga cukup untuk menabung, apalagi biaya kontrakan ditanggung bos.
"Makanya lebih banyak saya simpan untuk masa depan saat saya sudah enggak kuat ngapa-ngapain."
"Kan kontrakan di sini dibayarin bos. Jadi uang itu cuma buat makan aja," kata dia.
Sementara kebutuhan sang istri di kampung sudah tercukupi, mengandalkan uang hasil panen sawahnya seluas 360 meter persegi.
Pecinta keluarga
Dulu, sebelum menikah Marto sudah membuka usaha tempe hasil berjualan mesin diesel.
Sebelum membuka usaha mebel, Marto pergi ke Bandung menjadi sopir oplet sejak 1975.
Uang sebagai sopir oplet tak seberapa, sehingga harus mencari tambahan untuk biaya menikahi Rohayati.
Hasil pernikahannya dengan Rohayati (60), Marto dikaruniai tiga anak yang semuanya sudah menikah.
"Saya coba-coba jual mesin diesel karena di kampung enggak ada listrik," kata Marto.
Mesin diesel yang dibelinya saat itu seharga Rp 700 ribu, ia jual Rp 1,5 juta.
Keuntungannya ia gunakan untuk membeli peralatan pembuatan tempe dan separuhnya untuk biaya nikah.
Dari usaha tempe sebulan untungnya minimal Rp 2 juta jadi pemasukan untuk membiayai istrinya di kampung.
"Alhamdulillah berkembang sampai sekarang punya 2 karyawan," sambung dia.
Oleh sebab itu, Marto menjadikan usaha bingkai dan cermin hanya sampingan.
"Makanya saya enggak terlalu memforsir jualan bingkai ini. Jualan ini untuk masa depan saya ketika sudah enggak bisa kerja."
"Saya enggak mau ngerepotin anak, saya mau nikmati hati tua dari hasil usaha saya sendiri," ungkap dia.
Ingin Bertamu ke Rumah Allah
Selama berdagang, Marto memilih beristirahat di sembarang tempat jika kakinya sudah lelah berjalan.
Ia enggan berlebihan memeras energi dan lebih mementingkan kesehatannya.

Baginya, pekerjaan yang ia lakukan saat ini bukanlah pekerjaan pokok.
Marto tak lupa kapan kembali pulang menemui istri, anak dan cucunya di rumah.
Tak melulu mencari uang untuk hari tuanya, sebagai manusia Marto tak lupa dari mana ia berasal.
Sekeras apapun mencari uang untuk dinimati di sisa umurnya, sebulan sekali ia menyempatkan pulang menemui istri dan keluarganya
"Meski sibuk kerja buat hari tua, kita harus ingat untuk pulang. Setiap 20 hari kerja pasti saya pulang."
"Intinya sesibuk apapun harus ingat keluarga di rumah," kata Marto.
Ia tahu porsi sebagai suami, sekalipun bekerja harus ingat keluarga.
Selama 20 hari di kampung, Marto curahkan untuk bersama keluarga tanpa beraktivitas.
"Makanya saya kerja begini cuma untuk hari tua saja," katanya.
Satu kali uang tabungannya sudah mencapai ratusan juta.
Uang sebanyak itu ia gunakan untuk memberangkatkan istrinya umrah dan renovasi rumah.
"Mumpung uangnya ada jadi digunakan untuk itu dulu. Nanti juga saya yang nikmati hasilnya kan."
"Paling sekarang sisa Rp 20-30 juta aja," ungkapnya.
Dengan sisa tenaganya di usia yang semakin menua, ada keinginan Marto yang belum kesampaian.
Sebelum dijemput ajal dan badan masih sehat, ia membayangkan bisa menggunakan ihram, berkeliling Kakbah dan berlari-lari kecil dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah.
"Selama sehat saya masih terus jualan bingkai dan kaca. Saya punya niat umrah makanya harus lebih giat lagi kerjanya."
"Jadi ibadahnya dapat dan hari tuanya sudah punya persiapan," jelasnya.