Jokowi Lantik Dewan Pengawas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean Jadi Ketua

Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk masa jabatan 2019-2023, Jumat (20/12/2019)

Penulis: MuhammadZulfikar | Editor: Wahyu Aji
Tangkapan layar channel Youtube Kompas TV
Jokowi melantik Dewan Pengawas KPK dan menetapkan Tumpak Hatorangan Panggabean sebagai Ketua Dewan Pengawas KPK, Jumat (20/12/2019). 

TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) melantik Pimpinan dan Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk masa jabatan 2019-2023, Jumat (20/12/2019).

Dilansir dari YouTube Kompas TV, pelantikan yang dimulai sekitar pukul 14.30 WIB tersebut menetapkan lima Dewan Pengawas KPK.

Adapun Tumpak Hatorangan Panggabean, Mantan Wakil Ketua KPK (2003-2007), ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pengawas KPK periode 2019-2023.

Berikut daftar anggota Dewan Pengawas KPK:

1. Tumpak Hatorangan Panggabean - Ketua dan Anggota

2. Albertina Ho

3. Artidjo Alkostar

4. Harjono

5. Syamsuddin Haris

Dilansir dari Kompas.com, Dewan Pengawas yang terdiri dari lima orang merupakan struktur baru di KPK.

Keberadaan dewan pengawas diatur dalam UU KPK hasil revisi, yakni UU 19 Tahun 2019.

Ketua dan anggota dewan pengawas dipilih oleh Presiden melalui panitia seleksi.

Namun, untuk pembentukan dewan pengawas yang pertama kali ini, UU mengatur bahwa Presiden menunjuk langsung.

Dewan pengawas bertugas, antara lain untuk mengawasi pelaksanaan tugas dan wewenang KPK, memberi izin penyadapan dan penyitaan, serta menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan KPK.

Sosok Tumpak Hatorangan

Tumpak Hatorangan Panggabean bukan nama baru di lingkungan KPK.

Pria kelahiran Sanggau, Kalimantan Barat, 29 Juli 1943 lalu itu pernah menjabat sebagai Wakil Ketua KPK pada periode pertama bersama Taufiequrachman Ruki, Sjahruddin Rasul, dan Erry Riyana Hardjapemekas serta Amin Sunaryadi.

Tumpak menamatkan pendidikannya di bidang hukum pada Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Usai menamatkan pendidikannya di Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura Pontianak, ia menjadi pegawai negeri sipil di lingkungan kejaksaan.

Dalam karirnya, Tumpak pernah bertugas di Kajari Pangkalan Bun (1991-1993), Asintel Kejati Sulteng (1993-1994), Kajari Dili (1994-1995) dan Kasubdit Pengamanan Ideologi dan Politik Pada JAM Intelijen (1996-1997).

Kemudian pada 1997, Tumpak didapuk menjadi Asintel Kejati DKI Jakarta.

Kemudian, Tumpak diangkat menjadi Wakajati disusul dengan jabatan Kajati Maluku (1999- 2000), Kajati Sulawesi Selatan (2000-2001), dan terakhir sebagai Sesjampidsus (2001-2003).

Selama menjadi jaksa, Tumpak telah berkelana di beberapa daerah. Misalnyanya saja saat menjadi Kajari Pangkalan Bun (1991-1993), Kajari Dili (1994-1995), Kajati Maluku (1999-2000), dan Kajati Sulawesi Selatan (2000-2001).

Pada 2003, Tumpak direkomendasikan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh untuk bertugas di KPK.

Nama Tumpak pun akhirnya terpilih menjadi salah satu pimpinan setelah voting di DPR.

Setelah selesai mengemban tugas dari KPK, pada 2008 Tumpak diangkat sebagai Anggota Dewan Komisaris PT Pos Indonesia (Pesero) berdasarkan Keputusan Meneg BUMN.

Setahun setelah itu, Tumpak ditugaskan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk kembali ke KPK untuk menjadi Plt Ketua KPK 2009-2010.

Pada 2015, nama Tumpak masuk sebagai salah satu Tim Sembilan untuk menyelesaikan kisruh Polri-KPK saat itu.

Profil Syamsuddin Haris

Syamsuddin Haris adalah peneliti senior pada Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI.

Ia adalah Profesor Riset bidang perkembangan politik Indonesia.

Dilansir dari portal politik.lipi.go.id. Syamsuddin merupakan doktor ilmu politik yang juga menjabat Kepala Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI.

Pria tersebut lahir di Bima, Nusa Tenggara Barat, 9 Oktober 1957.

Syamsuddin menikah dengan Rochmawati.

Peneliti bidang sosial-budaya pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI dikaruniai dua orang puteri, Ayu Susanti Aditya dan Diah Fanny Amalia.

Selain menjadi peneliti, lulusan FISIP Universitas Nasional (S-1) dan FISIP UI (S-2 dan S-3) ini mengajar pada Program Pasca-Sarjana Ilmu Politik pada FISIP Universitas Nasional (UNAS).

Ia juga mengajar di program Pasca-Sarjana Komunikasi pada FISIP Universitas Indonesia (UI).

Dewan Pengawas KPK yang baru saja ditunjuk ini juga aktif dalam organisasi profesi kalangan sarjana/ahli politik, yakni Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI).

Ia pernah menjadi Sekretaris Jenderal (Sekjen) Pengurus Pusat AIPI periode 2008-2011.

Syamsuddin juga pernah menulis sejumlah buku, puluhan artikel di jurnal, dan lebih dari seratus kolom di media cetak.

Bukunya Demokrasi di Indonesia: Gagasan dan Pengalaman (LP3ES, 1995) memperoleh penghargaan sebagai Buku Terbaik bidang ilmu-ilmu sosial dari Yayasan Buku Utama.

Sejak menjadi peneliti pada Lembaga Research Kebudayaan Nasional (LRKN) LIPI pada 1985.

Syamsuddin Haris memfokuskan perhatian, minat dan kajian dalam masalah pemilu, partai politik, parlemen, otonomi daerah, dan demokratisasi di Indonesia.

Sosok Artidjo Alkostar

Artidjo lahir di Situbondo, Jawa Timur, pada 22 Mei 1948 lalu.

Artidjo pensiun pada Selasa (22/5/2018) lalu. Artidjo pensiun, saat telah genap memasuki usia 70 tahun.

Artidjo lahir hari ini, 22 Mei 1948. Artidjo memulai kuliah di Fakultas Hukum UII pada September 1967.

Selepas kuliah, Artidjo aktif di LBH Yogyakarta dan dilanjutkan sendiri dengan mendirikan kantor hukum Artidjo Alkostar and Associates. Praktik hukumnya itu difokuskan pada pembelaan hak asasi manusia dan masyarakat terpinggirkan.

Pada awal tahun 2000, Artidjo resmi bergabung dan menjabat sebagai hakim agung kamar pidana di MA.

Selama mengabdi selama 18 tahun di MA sejak tahun 2000, Artidjo mengaku telah memutus perkara sebanyak 19.708 berkas.

"Saya mengabdi memberikan sedikit kontribusi kepada MA ini 18 tahun dan sudah menangani perkara sebanyak 19.708 berkas," kata Artidjo Alkostar saat sesi wawancara dengan awak media di media center Mahkamah Agung, Jl. Medan Merdeka Utara, Gambir, Jakarta Pusat, Jumat (25/5/2018) lalu.

Pria 70 tahun itu diketahui telah menangangi sejumlah perkara-perkara selama menjabat sebagai hakim agung mulai dari perkara korupsi mantan Presiden Soeharto, Perkara kasus Bank Bali/BLBI dengan terdakwa Djoko S. Tjandra.

Ia juga pernah menangani kasus perkara bom Bali serta perkara korupsi seperti Jaksa Urip Tri Guna, perkara Anggodo Widjoyo, perkara Gayus Tambunan serta salah satu perkara kasus pembunuhan yang salah satunya terdakwa mantan ketua KPK Antasari Azhar.

Artidjo juga dikenal 'galak' dalam memutus perkara korupsi yang melibatkan banyak orang mulai dari politisi, anggota DPR hingga pejabat pemerintahan.

Palu Artidjo juga telah memutus sejumlah perkara mulai dari mantan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaaq, Mantan Anggota DPR fraksi Partai Demokrat Anggelina Sondakh, Mantan Ketua MK Akil Mochtar, Mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, hingga mantan Kakorlantas Polri, Irjen Pol Djoko Susilo.

Bahkan, yang sempat menjadi kontroversi yakni menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama alias Ahok.

Meski sepak terjangnya banyak membuat para koruptor geram, Artidjo menyadari masih banyak kekurangan dalam menyelesesaikan perkara.

Sosok Albertina Ho

Albertina Ho lahir di Maluku Tenggara, pada 1 Januari 1960 lalu.

Albertina Ho dikenal sebagai ketua majelis hakim yang menangani perkara kasus suap Gayus Tambunan, pegawai pajak golongan III yang kekayaannya fan-tastis karena korupsi.

Baca: Tebar Senyum, Empat Pimpinan KPK Agus Cs Tiba di Komplek Istana Kepresidenan Jakarta

Sidang yang dipimpin Albertina diPN Jakarta Selatan amat menyita perhatian publik. Palu sang hakim pun menghukum Gayus tujuh tahun penjara.

Setelah itu ia dipindahkan ke PN Sungai Liat,Bangka Belitung.

Ia sudah terbiasa dengan hidup susah dan prihatin.

Bahkan ia sempat menjadi pelayan warung kopi ketika menuntut ilmu di SMAN 2 Ambon tahun 1979 karena kekurangan biaya.

Iya. Albertina menempuh pendidikan dari SD, SMP hingga SMA di Ambon.

Ia adalah alumni Fakultas Hukum UGM tahun 1985.

Renan Silva Idola Baru Bobotoh atau Jakmania? Persija Jakarta dan Persib Bandung Bersaing Menggaet

Apakah Renan Silva Jadi Idola Baru Bobotoh atau Jakmania? Persija Jakarta dan Persib Bandung Berburu

Natal dan Tahun Baru 2020, Pemprov DKI Jakarta Gelar Panggung Hiburan, Ini Lokasinya

Jelang Kalteng Putra Vs Persija: Macan Kemayoran Targetkan Kemenangan, Tuan Rumah Tanpa Penonton

Setelah berhasil lulus dari UGM, Albertina menempuh Magister Hukum di Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto dan lulus 2004.

Tidak hanya menjalani hidup sebagai pelayan warung kopi, tapi Albertina juga pernah ditolak oleh pihak bank saat kredit rumah.

Aplikasi permohonan kredit yang ia ajukan ditolak karena gajinya sebagai hakim tidak cukup untuk kredit rumah.

Tahun 1990-1996 Albertina bertugas di PN Slawi, Tegal Jawa Tengah. Saat itu ia pulang pergi ke kantor naik sepeda motor.

Ia menolak tamu yang ingin menemuinya di rumah untuk menjaga kenetralan dalam menangani kasus.

Untuk mengirit biaya hidup atau pengeluaran, ia mengetik sendiri keputusan sidang dan dikerjakan di rumah, agar tidak perlu membayar pegawai juru ketik.

Bahkan hal itu juga bertujuan untuk berfikir dan mengambil keputusan tanpa campur tangan orang lain. (Tribunnews.com)

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved