Sisi Lain Metropolitan
Tya Bocah Yatim Penjual Bakpao Keliling Menangis Jejeritan, Uang Dagangannya Seharian Hilang
Pantang bagi Tya (12) meminta jajan ke ibunya karena hanya sebagai kuli pungut di Pasar Induk Kramat Jati. Keinginan terbesarnya adalah bersekolah.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, KRAMAT JATI - Kehilangan sesuatu kadang ķala membuat hati terasa pilu, tanpa sadar air mata menetes begitu saja.
Hal itu juga yang pernah dirasakan Tya Wati (12) bocah penjual bakpao di sekitaran Perumahan Bulak Rantai, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Ayah yang meninggal akibat ditabrak kereta dan Ibu yang hanya bekerja sebagai kuli pungut di Pasar Induk Kramat Jati, membuat Tya berkeinginan meringkan beban orang tuanya.
Sejak pertengahan tahun lalu, Tya memutuskan untuk berjualan bakpao keliling.
"Hasilnya Rp 25 ribu sampai Rp 30 ribu lumayan untuk jajan. Kalau Emak enggak ada bisa dibelikan lauk juga untuk saya dan dua adik saya makan," katanya di Jakarta Timur, Jumat (3/1/2020).
• 6 Jam Bertahan di Pohon Ceri Hindari Banjir, Suami Istri di Bekasi Ini Bertemu Biawak dan Ular
Suatu ketika, Tya menuturkan pernah kehilangan bakpao beserta uang hasil jualannya.
Ia yang meninggalkan sebentar jualannya untuk mencuci tangan, mendapati uang dagangannya tak ada dan toples jualannya pecah.
"Pernah waktu itu, bakpao saya hilang. Uang hilang semua. Saya nangis jerit-jeritan di sana," sambungnya.

Rasa takut dimarahi oleh bos bakpao akibat uang dan dagangannya raib, membuat jeritannya semakin terdengar jelas.
Hingga membuat kerumunan warga pada saat itu.
"Akhirnya ada orang, saya enggak tahu namanya, cuma dipanggilnya bu haji. Dia tolongin saya. Dia kasih saya uang dan beliin toples yang baru," katanya.
Selanjutnya ia diarahkan untuk segera pulang setelah mendapatkan bantuan.
Bantuan lainnya
Menganggap masalahnya sudah selesai, Tya mengucapkan terima kasih dan langsung pulang ke rumah.
Ia pun menjalani harinya seperti biasa seolah tak pernah ada kejadian pencurian.
Penuh semangat dan ceria, Tya tetap berjualan di lokasi tersebut keesokan harinya.
Tanpa diduga, Tya kembali menerima bantuan berupa uang tunai sejumlah Rp 1 juta.
"Besokannya saya didatangi orang. Enggak ingat namanya siapa yang jelas lelaki. Dia kasih uang ke saya katanya titipan dari Kak Putri karena tahu jualan saya dicuri," ungkapnya.
Tya kegirangan lalu menyudahi jualannya. Ia berlari menuju rumahnya di Gang H Ali, Kramat Jati, Jakarta Timur untuk memberikan rezekinya hari itu ke sang Ibu, Jas (33).
Uang Rp 1 juta merupakan nominal yang besar baginya.
Bahkan bisa membantunya membeli barang-barang yang selama ini ia inginkan.
"Pas Tya kasih tahu emak, disuruh belikan kerudung, baju muslim warna putih dan coklat. Sisanya baru buat emak. Tya enggak kenal sama Kak Putri, tapi Tya sangat terima kasih sama dia," katanya.
Kendati demikian, saat ini Tya tetap bekerja sebagai penjual bakpao keliling sejak pagi hingga pukul 17.00 WIB.
"Kalau bantuan kan rezeki lain. Jadi saya tetap lanjutkan jualan sampai saat ini. Soalnya kalau enggak jualan saya enggak bisa jajan," ujarnya.
Bermimpi bisa sekolah dan membaca
Bertahun-tahun hanya bisa memendam, Tya memberanikan diri mengungkapkan keinginan bersekolah kepada ibunya.
"Saya bilang mau sekolah," ungkap Tya kepada TribunJakarta.com, Jumat (3/1/2020).
"Ini lagi diurusin KK-nya biar Tya bisa sekolah," sambung Tya.
Tya seperti senang bukan main, keinginannya itu bakal tercapai karena sang ibu dan ayah tirinya sedang mengurus KK di Rangkasbitung.
Mereka pergi sejak Kamis (2/1/2020) bersama adik Tya, Galih yang berusia sembilan tahun.
Sementara di rumah, Tya hanya berdua bersama adik bungsunya.
"Bagusnya ditinggalin kunci rumah. Tapi kita enggak dikasih uang jajan."
"Tapi enggak apa-apa, yang penting KK-nya jadi biar Tya bisa sekolah," sambung.
Normalnya, anak seusia Tya duduk di kelas 6 sekolah dasar dan tahun depan masuk sekolah menengah pertama.
Tapi Tya tak pernah malu di usianya sekarang, asalkan bisa sekolah.
Pantang baginya untuk menyurutkan cita-cita, karena Tya ingin belajar dan pintar.
"Enggak apa-apa saya kelas satu di umur segini. Saya enggak malu, yang penting pintar, bisa ikuti pelajaran," kata Tya polos.
Sebelum bertemu Umi, bos bakpao, Tya sempat menemani ibunya lima hari dalam seminggu berdagang jengkol di Pasar Induk Kramat Jati.
Umi yang melihat Tya, menawarkannya untuk berjualan bakpao.
"Dek, kamu mau enggak jualan bakpao saya?" tanya Umi ke Tya.
"Mau bu. Saya mau," lekas Tya menjawab.
"Nanti saya upahin Rp 20 ribu," balas Umi.
Sejak itulah Tya sering keluar rumah sejak pagi dan pulang malam serta membolos mengaji.
Kini, Tya sudah berdagang bakpao kurang lebih enam bulan.
Sejak pagi hingga jam lima sore, Tya berkeliling menjajakan bakpao milik Umi.
Ia hanya mengambil untung Rp 1 ribu per bakpao.
"Alhamdulillah Rp 30 ribu pasti dapat dari upah jualan bakpao. Lumayan buat jajan," kata dia.
Siang itu, Tya mengajak Deni berjualan bakpao di sekitar Perumahan Bulak Rantai, Kramat Jati, Jakarta Timur.
"Bakpao, bakpao, bakpao," teriak Tya diikuti Deni ke pengendara yang melintas di depannya.
Semakin kencang keduanya berteriak lantaran suasana sekeliling tak begitu ramai.
Setiap pengendara melintas keduanya segera menawarkan bakpao yang mereka jual.
Ketika jalanan sepi dari orang melintas, keduanya menyempatkan diri bermain bersama.
Mereka kembali berteriak ketika melihat pengendara yang lewat.
"Bakpao murah pak, bu," kata mereka menawarkan diri.
Sebelum berjualan bakpao, Tya hanya membantu membersihkan rumah selagi Jas memungut barang sisa di pasar.
Terkadang sejumlah tetangga meminta Tya untuk membelikan sesuatu di warung.
"Saya suka disuruh ke warung atau beli apa sama orang, nanti diupahin. Nah uang itu yang buat jajan," terang Tya.
Sebelum ketahuan ibunya, Tya berdagang bakpao sampai malam sampai bolos mengaji.
"Waktu awal-awal saya enggak bilang sama emak. Lama-lama dia marah karena saya pulang malam terus."
"Akhirnya Umi bilang sama emak kalau saya jualan. Akhirnya enggak diomelin," ungkap Tya.
Namun, Jas tetap memperbolehkan Tya berjualan tapi harus pulang ke rumah paling telat pukul 17.00 WIB.
Jas mengkhawatirkan kondisi Tya, apalagi lingkungan perumahan tempat ia berjualan terbilang sepi.
"Jalanan di sini sepi, banyak culik. Ini zaman gila," ucapan emaknya yang selalu Tya ingat.
"Sekarang Tya bawa bakpaonya enggak banyak, habis enggak habis."
"Yang penting sore sudah pulang, karena malamnya ngaji," jelas Tya.
Pesan sang ibu yang menyuruhnya selalu hati-hati dan tak lagi pulang malam akan selalu Tya ingat.
Sementara belum jelas kapan keinginannya bersekolah terwujud, Tya tetap menuntut ilmu meski bukan di sekolah formal.
Sejak beberapa tahun lalu, Tya memutuskan ikut pengajian rutin di dekat rumahnya, Gang Haji Ali, Kramat Jati.
"Kalau belum bisa sekolah ya enggak apa-apa. Yang penting saya bisa ngaji," katanya.
Lewat pengajian rutin bakda Magrib yang ia hadiri dari Senin sampai Jumat, Tya bisa membaca huruf hijaiyah dan alfabet.
"Dari mengaji kenal banyak teman. Saya diajarin baca juga. Sekarang bisa ngaji, bisa baca juga meski masih dieja," ucapnya.