Sisi Lain Megapolitan

Kisah Asep, Suku Baduy Luar yang Belasan Tahun Keliling Jualan Madu: Pilih Bermalam di Pos Polisi

Kisah Asep, Suku Baduy Luar Yang Belasan Tahun Jualan Madu: Pilih Bermalam di Pos Polisi Hingga Jago Main Sosmed.

Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Suharno
TRIBUNJAKARTA.COM/NUR INDAH FARRAH AUDINA
Asep, Suku Baduy Luar yang berjualan madu sejak belasan tahun lalu, Rabu (29/1/2020). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina

TRIBUNJAKARTA.COM, JATISAMPURNA - Di tengah hiruk pikuk kota dan kondisi lalu lintas yang ramai, Asep Abrar (22) tampak santai dan asyik berjalan kaki.

Pakaian dan aksesoris dari desa yang dikenakannya pun kerap mengundang banyak pertanyaan dan membuat sejumlah mata menatapnya.

"Enggak apa-apa sudah biasa," ujarnya singkat kepada TribunJakarta.com, Rabu (29/1/2020).

Asep, sapaannya merupakan pria kelahiran Banten, 22 tahun silam dan ia merupakan satu di antara Suku Baduy Luar.

Asep menceritakan sudah tak asing dengan suasana di kota besar seperti Jakarta dan Bekasi, Jawa Barat.

Sebab, sejak usianya menginjak 10 tahun, Asep sudah berkelana bersama ayahnya, Jaka untuk menjual hasil dari desanya.

"Saya ke daerah seperti ini sudah dari usia 10 tahun. Saya dari kecil ikut bapak jualan. Apa aja kami jual, madu, lindang dan tas kami bawa," jelasnya.

Tak adanya sekolah seperti di Ibu Kota, Asep mengatakan di tempatnya ia bersama anak lainnya hanya belajar mengenai aturan adat dari kepala suku setempat.

Hal itulah yang menyebabkan anak-anak seusianya kala itu diperkenankan untuk ikut berjualan ke kota besar bersama keluarganya.

Saat semua barang siap dijual, Asep mulai meninggalkan rumah sejak pagi.

Tanpa alas kaki sesuai aturan adatnya, ia berjalan kaki dari Cikulingseng menuju Stasiun Rangkasbitung.

Selanjutnya, perjalanannya ia lanjutkan dengan menggunakan kereta ke stasiun lainnya.

"Karena saya suku Baduy Luar makanya kami boleh naik kendaraan, berbeda dengan Baduy Dalam yang enggak boleh. Jadi saya sampai saat ini selalu naik kereta dan sudah punya kartu multi trip," ungkapnya.

Selain itu, Asep menjelaskan jika suku Baduy Luar diperkenankan untuk memakai celana.

Hal ini tentunya berbeda dengan suku Baduy Dalam yang tidak diperkenankan memakai celana, melainkan memakai samping sesuai aturan adatnya.

"Meskipun boleh naik kendaraan, kita (Baduy Luar) tetap mematuhi aturan seperti hanya boleh memakai baju warna hitam dan putih. Sementara bawahannya warna hitam, hijau dan putih. Jadi kita tetap enggak boleh pakai yang warna merah sesuai aturan adat dari dulunya," sambungnya.

Setiap kali membawa barang dagangannya, Asep mengatakan tak pernah menentukan tujuannya.

Kota manapun selalu ia jelajahi dengan berjalan kaki dan hanya menggunakan kereta satu kali untuk perjalanan berangkat dan pulang saja.

Sementara untuk jumlah barang bawaannya tak pernah menentu, biasanya untuk madu khas dari desanya, ia biasa membawa 10 botol dengan harga jual Rp 120 ribu sampai Rp 150 ribu.

"Kita semua kalau bawa dari kampung enggak pernah tentu. Biasanya saya bawa madu bisa 10 botol. Kalau lindang tenun bisa 5 dan dijual Rp 50 ribu. Sementara tas ini mahal biasanya saya jual Rp 100 ribu karena dari kulit pohon trep," ungkapnya.

Kendati demikian, Asep menuturkan berapa banyak pun barang yang dibawanya pasti selalu habis dalam waktu satu minggu.

"Dari dulu saya ikut bapak sampai sekarang sendiri, jualan ini semua biasanya habis dalam satu minggu. Jika habis semua keuntungan saya setengah dari pendapatan, itu belum dikurangi biaya makan selama keliling," katanya.

Meskipun pendapatan bersihnya tak banyak, Asep mengaku senang bisa menjual produk desanya ke luar.

Sebab, bila mengandalkan wisatawan yang berkunjung, tentu saja istrinya, Maya (20) dan anaknya, Nita (1,5) hidup pas-pas.

"Tapi pas sampai rumah ya lumayan aja. Karena kan kita buat sendiri. Lindang sama tas itu kita buat sendiri dan tenun sendiri. Jadi kalau semua habis seminggu, pasti lumayan uangnya pas dibawa pulang," katanya.

Tidur dimana saja

Selama satu minggu berkeliling dari satu kota ke kota lain, tentunya Asep memikirkan dimana dia akan tidur.

Meskipun kakinya kuat melangkah sejauh apapun selama seminggu tanpa alas kaki, tetap saja dirinya membutuhkan waktu beristirahat.

Untuk itu, ia selalu memilih pos polisi dan masjid sebagai tempatnya bermalam.

"Biar aman saya numpang tidur di pos polisi. Paling ditanya dari Baduy mana doang, setelahnya kita dipersilakan untuk tidur," katanya.

Masjid dan pos polisi selalu menjadi pilihannya. Meskipun berbeda kepercayaan, Asep selalu meminta izin kepada marbot masjid untuk bermalam di lokasi.

"Kadang saya ke masjid juga. Di pinggirannya aja numpang tidur. Pas dikasih ya saya tidur," katanya.

Main sosmed

Dibalik pilihannya untuk bermalam di pos polisi dan masjid, Asep sebenarnya memiliki alasan lain.

Selain untuk menjaga keamanan untuk dirinya sendiri, ia memilih dua lokasi itu juga untuk menjaga barang bawannya seperti handphone atau telepon genggam.

Sekalipun ia berasal dari suku Baduy Luar, Asep rupanya aktif berselancar di dunia maya seperti Facebook.

Untuk type handphone yang dibelinya pun sudah mengikuti perkembangan zaman dan merupakan handphone android.

Disela perbincangan dengan TribunJakarta.com, sesekali Asep terlihat membuka pesan whatsapp.

"Ini lagi kabari istri," ujarnya.

Meskipun tak mengenal pendidikan, Asep menuturkan sempat belajar huruf dan pelajaran umum lainnya dari rekannya yang berprofesi serupa.

Tak hanya itu, Asep juga sering kali meminta diajari soal bermain gadget kepada orang-orang yang ditemuinya saat beristirahat disela berdagangnya.

"Saya bisa main hp pokoknya dari tahun 2015. Nah di situ saya minta diajari aja sama teman dan orang-orang. Sekarang sih sudah bisa, tapi enggak secanggih orang kota. Tapi main FB sama WA ya sudah bisa," tandasnya.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved