Sisi Lain Metropolitan
Cerita Asep Warga Suku Baduy Luar Beli Ponsel Rp 450 Ribu Hingga Aktif Media Sosial
Meskipun berasal dari Suku Baduy Luar, Asep Abrar (22) kenalkan gadget ke teman seusianya di desanya.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
"Gimana ya, itu dari kecil. Jadi kan sudah banyak yang ke kota jualan. Mungkin mereka belajar juga. Jadi mereka bisa baca bisa tulis diajarin ke saya dan teman-teman saya. Tapi enggak semuanya bisa, tergantung kitanya aja mau belajar apa enggak," jelasnya.
Selain itu, guna memperlancar bacaan dan tulisannya, Asep mengaku aktif berseluncur di dunia maya.
Ia yang memiliki whatsapp dan facebook, sering bertegur sapa dengan rekan lainnya.
"Kalau lebih dari wa dan fb ya enggak ada. Soalnya kan di kampung adatnya masih kental. Kita boleh foto tapi enggak boleh merekam atau video. Jadi masih ada batasannya," tandasnya.
Saat ini, Asep akan menjajakan madu, lindang dan tas selama seminggu sekali dengan harga jual Rp 50 ribu sampai Rp 150 ribu
Kisah Asep, Suku Baduy Luar yang Belasan Tahun Keliling Jualan Madu: Pilih Bermalam di Pos Polisi

Di tengah hiruk pikuk kota dan kondisi lalu lintas yang ramai, Asep Abrar (22) tampak santai dan asyik berjalan kaki.
Pakaian dan aksesoris dari desa yang dikenakannya pun kerap mengundang banyak pertanyaan dan membuat sejumlah mata menatapnya.
"Enggak apa-apa sudah biasa," ujarnya singkat kepada TribunJakarta.com, Rabu (29/1/2020).
Asep, sapaannya merupakan pria kelahiran Banten, 22 tahun silam dan ia merupakan satu di antara Suku Baduy Luar.
Asep menceritakan sudah tak asing dengan suasana di kota besar seperti Jakarta dan Bekasi, Jawa Barat.
Sebab, sejak usianya menginjak 10 tahun, Asep sudah berkelana bersama ayahnya, Jaka untuk menjual hasil dari desanya.
"Saya ke daerah seperti ini sudah dari usia 10 tahun. Saya dari kecil ikut bapak jualan. Apa aja kami jual, madu, lindang dan tas kami bawa," jelasnya.
Tak adanya sekolah seperti di Ibu Kota, Asep mengatakan di tempatnya ia bersama anak lainnya hanya belajar mengenai aturan adat dari kepala suku setempat.
Hal itulah yang menyebabkan anak-anak seusianya kala itu diperkenankan untuk ikut berjualan ke kota besar bersama keluarganya.