Sisi Lain Metropolitan
Sempat Sekolah Penerbang Beralih Jadi Petugas Kebersihan, Habibi: Lulus Tak Jamin Jadi Pilot
Impian Khairil Habibi (26) untuk lepas landas membawa pesawat untuk angkut penumpang kandas. Ia malah mendarat sebagai petugas kebersihan alias PPSU
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Suharno
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, CILANDAK - Impian Khairil Habibi (26) untuk lepas landas mengantarkan penumpang lewat jalur udara kandas.
Kini, ia mendaratkan dirinya bukan di bandara melainkan sebagai petugas kebersihan di Kelurahan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Pekerjaan itu bertolak belakang dengan pendidikannya selama ini di sekolah penerbangan.
Kendati demikian, Habibi tak patah arang bahkan tak malu.
Ia malah merasa penasaran dengan pekerjaan petugas PPSU di Kelurahan.
Pasalnya, pekerjaan itu cukup memberikan pengalaman baru bagi dirinya.
Saat ditemui di ruang kerja Sekretaris Lurah Lebak Bulus, Habibi menjelaskan alasan dirinya tak bisa menjadi seorang penerbang.
Sulit bagi Habibi untuk menjadi pilot di beberapa maskapai penerbangan.
Ia sudah melamar ke sejumlah maskapai penerbangan ternama.
Namun, harapan yang dinanti tak terwujud.
Bagi Habibi, meski lulus dan mendapatkan lisensi belum tentu seseorang bisa menjadi pilot.
"Banyak juga lulusan pilot yang akhirnya belum tentu jadi pilot," ungkap Habibi kepada TribunJakarta.com pada Senin (3/2/2020).
"Enggak bisa menjamin jadi pilot," ia menegaskan.
Menolak Jadi PNS
Habibi mengisahkan perjalanan kariernya masuk sekolah penerbangan di Indonesia pada 2017.
Menjadi pilot dipilih Habibi karena ingin mencari pengalaman baru dalam hidup.
"Saya sebenarnya sih disuruh jadi PNS sama orangtua saya. Tapi saya enggak suka maunya bebas."
"Waktu itu ada pembukaan sekolah penerbangan, saya masuk di sana," cerita Habibi.
Biaya yang dikeluarkan terbilang besar demi mengejar keinginannya itu.
Selama setahun, Habibi belajar mengenai dasar-dasar penerbangan dan praktik mengemudikan pesawat.
Di sekolah penerbangan itu, Habibi belajar bagaimana menerbangkan beberapa jenis pesawat.
Ia pernah mengemudikan pesawat twin engine yang berpenumpang 8 orang.
Selain itu, pesawat capung merek Cessna dan helikopter pun pernah ia jajal.
Selama latihan pesawat yang diterbangkan Habibi hanya di ketinggian sekira 2000 kaki.
Menurutnya, standar latihan pesawat berada di 5000 kaki ke bawah.

Menjadi Pemandu Pesawat
Selepas lulus, Habibi mendapatkan lisensi terbang dan melamar ke berbagai maskapai di Indonesia.
Ada tiga maskapai ternama Indonesia yang dituju tapi lowongan itu sedang tak tersedia.
Berlarut-larut menunggu tak menampakkan titik terang, Habibi beralih profesi.
Ia mengemban pendidikan di sekolah penerbangan serupa untuk mengambil lisensi pemandu pesawat atau marshaller.
Selama dua bulan, Habibi bisa menamatkan pendidikan itu.
"Selepas lulus saya sempat bekerja di Bandara Hang Nadim sebagai pemandu pesawat dan helikopter selama satu tahun," ungkap dia.
Habibi merasakan bekerja di Batam berjarak jauh dengan rumah asalnya di kawasan Cinere.
Apalagi, ia bertemu jodoh di sana dan hendak menikah.
Ia memutuskan untuk meminta mutasi ke sekitaran pulau Jawa.
Namun, tak ada bandara di sana yang memiliki lowongan untuk pemandu pesawat.
"Akhirnya saya keluar," ujarnya.
Setelah menikah, Habibi pernah bekerja sebentar di sebuah perusahaan e-commerce.
Sempat Ditolak Keluarga
Ia kemudian melabuhkan diri ke Kantor Kelurahan Lebak Bulus sebagai petugas kebersihan.
Awalnya, pihak keluarga tak setuju dengan pekerjaan yang dipilih Habibi.
"Istri saya dan keluarga mulanya enggak setuju. Tapi saya ingin mencari pengalaman baru."
"Saya juga masih penasaran kerja jadi petugas kebersihan," tambahnya.
Dari segi penghasilan, pendapatannya sebagai pemandu pesawat dan petugas kebersihan jelas berbeda.
Di lingkungan pekerjaan, Habibi harus menyesuaikan pergaulannya dengan pekerja di lapangan dan belajar membersihkan lingkungan.
Pasalnya, ia mengakui belum pernah memegang sapu untuk membersihkan sampah.
Ia juga ditugaskan untuk mengendarai mobil operasional PPSU.
"Dulu awal-awal saya ditugaskan membersihkan sampah di sekitar wilayah Lebak Bulus," ungkapnya.
Dapat Pelajaran Hidup
Seiring berjalannya waktu, ia diminta oleh pihak kelurahan untuk bekerja di dalam kantor kelurahan.
Ia membantu membuat desain untuk keperluan kelurahan.
Kendati demikian, ada banyak pelajaran hidup yang didapat dari bekerja bersama rekan-rekan PPSU di lapangan.
Ia tak memandang sebelah mata rekan-rekannya lantaran mereka belajar dari pengalamannya selama hidup.
Misalnya, seorang petugas PPSU bisa membuat alat yang bisa menghidupkan kembali mesin pompa air yang rusak.
"Mesin pompa air yang rusak, harganya bisa mencapai 2 juta, bisa diakalin."
"Dia belajar dari pengalaman. Belum tentu profesor punya ilmu ini," ujarnya seraya berkelakar.
Selain itu, Habibi belajar akan kesederhanaan hidup.
Ia mengetahui setiap orang memiliki kesulitan dalam hidupnya masing-masing.
Tak terkecuali sebagian petugas PPSU, mereka masih bisa tersenyum dan tertawa bersama-sama seolah tak ada beban dalam hidupnya.
"Saya belajar arti kesederhanaan. Selama bekerja di sini saya banyak mendapatkan banyak pelajaran hidup," beber dia.
Bahan Skripsi Hukum
Melalui pekerjaannya sebagai petugas PPSU, Habibi mendapatkan topik penelitian untuk menunjang skripsinya.
Hal itu yang membuat Habibi betah untuk sementara waktu bekerja sebagai petugas kebersihan.
"Saya kan kerja sembari kuliah lagi jurusan hukum."
"Saya mau buat karya ilmiah, saya mau penelitian bener-bener," ungkap Habibi.

Ide penelitiannya bermula saat Habibi dan rekan sesama PPSU menangkap basah pembuang sampah.
Saat diamankan di kelurahan, identitas orang itu hanya dicatat oleh pihak kelurahan kemudian dilepas.
Padahal, pelaku melanggar Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Sampah.
Seharusnya pelanggar membayar denda sebesar Rp 500 ribu.
"Tapi ketika dibawa ke kelurahan hanya dicatet sesuai KTP kemudian udah selesai."
"Terus perda itu buat apa? PPSU juga bingung ketika nangkep orang mau diserahkan kemana," katanya.
Dalam skripsinya, ia hendak mengulas tentang Perda tersebut yang belum diterapkan dengan baik di lapangan.
Merespons hal ini, Sekretaris Lurah Lebak Bulus, Ahmed Garibaldi, mengakui pihaknya belum bisa memberikan sanksi kepada pelanggar.
Hal itu disebabkan tidak ada penyidik di kelurahan.
"Satpol PP enggak bisa mengambil tindakan karena di sini belum ada penyidik."
"Jadi enggak punya kewenangan. Makanya sayang banget, harusnya ada penyidik lingkungan hidup," jawabnya.
Menurut Ahmed, petugas PPSU boleh menangkap basah seorang pelanggar pembuang sampah.
Namun, mereka tak bisa menindaklanjuti pelanggar itu.
"Siapapun boleh melakukan tangkap tangan tapi yang berhak menindaklanjuti pihak yang berwenang," lanjutnya.
Kata Ahmed, tanpa adanya PPSU, kesadaran masyarakat dalam membuang sampah masih kurang.
Ia menekankan keberadaan PPSU masih sangat dibutuhkan di Jakarta.
"Kalau enggak ada PPSU, kesadaran masyarakat masih kurang. Coba deh satu hari atau seminggu aja enggak ada PPSU itu jalanan sampahnya banyak," beber dia.