Sisi Lain Metropolitan
Kisah Bolot Jadi Badut Mampang di Cibubur: Dulu Berkecukupan, Kini Cari Uang Buat Pemakaman Dirinya
Makroni merupakan bapak satu anak asal Cirebon yang biasa disapa Pak Bolot. Ia menjalani hari-harinya menjadi badut mampang.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, JATISAMPURNA - Masih bekerja di usia senja, Makroni (75) simpan uang untuk masa depan.
Makroni merupakan bapak satu anak asal Cirebon yang biasa disapa Pak Bolot.
Sejak dua tahun lalu, Makroni menjalani hari-harinya sebagai badut mampang di lampu merah Cibubur, Bekasi.

Dengan modal uang Rp 1 juta untuk membeli kostum, Makroni beralih profesi dari pemulung ke badut mampang.
"Kalau seperti ini sudah ada 2 tahun," ujarnya kepada TribunJakarta.com, Rabu (12/2/2020).
Lanjut, Makroni menceritakan dulunya ia hidup serba berkecukupan.
Ketika di kampung, Makroni disekolahkan oleh orang tuanya di pesantren. Usai lulus ia bekerja di kantin kampus.
"Sayangnya jualan lama itu kok enggak ada hasil. Akhirnya saya mulung, jadi topeng monyet juga pernah. Sampai akhirnya jadi begini," sambungnya.

Sebelumnya Makroni tak pernah tertarik untuk menjadi badut mampang.
Selain enggan menyewa baju, ia juga malas berurusan dengan Satpol PP maupun Satgas Pelayanan, Pengawasan, dan Pengendalian Sosial (P3S).
Namun, karena keberadaan topeng monyet sudah dilarang, dengan terpaksa ia beralih pekerjaan.
Benar saja, belum ada satu bulan menjadi badut mampang, Makroni sudah terjaring razia P3S.
"Waktu itu saya jadi badut mampang di dekat rumah di BKT. Karena di Duren Sawit itu suka ada razia saya ketangkep dan di bawa ke Sudin Sosial Jakarta Timur dan buat pernyataan," katanya.
Tinggal sendiri dan tak mengharap pemasukan dari anak semata wayangnya, Mutini, akhirnya Makroni berpindah lokasi.
"Anak saya cuma satu. Saya enggak mau minta uang sama dia. Saya masih kuat cari uang sendiri," jelasnya.
Akhirnya, lampu merah Cibubur menjadi pilihannya untuk menghindari razia satgas P3S.
"Setelah pindah ya jarang masuk dinsos. Cuma waktu itu kena lagi 2 kali pas sudah di sini. Yang pertama kepala badutnya masih saya ambil, yang kedua saya biarkan aja, malu saya. Soalnya kalau dihitung saya sudah 11 kali ketangkep petugas semenjak jadi badut mampang," katanya.
Kendati demikian, Makroni menikmati tiap proses kehidupan yang dijalananinya.
Kata alhamdulillah selalu keluar dari mulutnya meskipun penghasilannya tak pernah menentu.
"Tapi alhamdulillah penghasilan di sini cukup untuk makan. Paling banyak saya dapat Rp 100 ribu," katanya.
Selama ini, uang Rp 100 ribu bukanlah nominal yang kecil dan juga besar baginya.
Berapapun rezeki yang di dapatnya, ia hanya menggunakan uang tersebut untuk membeli makan dan membayar kontrakan.
Menariknya, uang tersebut juga ia kumpulkan untuk masa depannya alias kehidupan akhirnya.
"Enggak banyak orang yang tahu. Saya ini enggak pernah mikirin dunia, enggak pernah mikirin harta. Usia saya ini sudah mengharuskan saya memikirkan akhirat,"
"Selama ini uang yang saya dapat saya cicil untuk beli kain kafan, tikar pandan, liang lahat di kampung dan sisanya untuk acara selepas kematian saya. Sebab untuk 3 hari atau berapa harinya saya juga pakai uang. Nanti kalau ada sisanya untuk saudara saya di kampung," ungkapnya sambil menangis.
Tak bisa mendengar

Panggilan Pak Bolot sebenarnya baru di dapatnya ketika menjadi badut mampang di lampu merah Cibubur.
Panggilan tersebut tak serta merta begitu saja di dapatnya.
Menurutnya panggilan tersebut bermula ketika siapa pun yang menghampirinya harus berbicara menggunakan tulisan.
Kertas yang selalu di mintanya dari warung pinggir jalan, membuat warga sekitar mengetahui kondisi Makroni.
"Ya akhirnya saya dikenal Pak Bolot sampai sekarang," katanya.
Sementara itu, kondisi Makroni sebenarnya begitu memprihatinkan.
Usai menyepelekan air yang masuk ke gendang telinganya, hal itu justru berimbas ke pendengarannya saat ini.
"Dulu telinga saya sakit. Ini kemasukan air. Namanya orang dulu kalau berobat kan perlu uang banyak. Ya akhirnya di diemin aja. Akhirnya 9 tahun lalu saya sudah enggak bisa mendengar sama sekali," katanya.
"Percuma," itulah kata-kata yang terucap ketika TribunJakarta coba mengeluarkan suara keras di depan Makroni.
Menurutnya suara teriakan seseorang juga tidak terdengar olehnya.
• Dibelikan Sepatu Rp 12 Juta Oleh Raffi Ahmad dan Nagita, Merry: Bos Itu Gak Pernah Ngebeda-Bedain
• Akan Dikonfrontir dengan Pemasok, Lucinta Luna Belum Dikirim ke Sel Khusus
Oleh sebab itu ia selalu menyarankan lawan berbicaranya untuk menuliskan maksud pertemuannya.
Sebagai contoh nyatanya, Makroni menceritakan kejadian nyata yang pernah di alaminya.
"Dulu saya pernah ngontrak di kawasan Jatinegara. Waktu itu masih ngerongsok. Ternyata kawasan rumah kontrakan saya kebakaran tuh. Orang berlarian sama teriak nyuruh saya keluar, saya enggak dengar. Pas pintu di dobrak baru saya sadar kalau rumah di ujung sana sudah terbakar. Makanya saya bilang percuma teriak, saya enggak dengar," jelasnya.
Saat ini, Makroni hanya berdoa di sisa usianya ini, uang yang dimilikinya cukup untuk masa depannya.
Sehingga sanak keluarganya di kampung tak kesulitan menanggung biaya pemakaman hingga pengajiannya