Kisah Korban PHK Banting Setir Jadi Ojek Dadakan Demi Hidupi Anak Istri

Sudah sebulan terakhir Apriyadi (40) kelimpungan menjaga dapur rumahnya tetap mengepul.

TribunJakarta.com/Gerald Leonardo Agustino
Apriyadi (40), korban PHK di tengah pandemi Covid-19, saat ditemui di kediamannya, RT 015/RW 004 Kelurahan Lagoa, Koja, Jakarta Utara, Jumat (1/5/2020). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Gerald Leonardo Agustino

TRIBUNJAKARTA.COM, KOJA - Sudah sebulan terakhir Apriyadi (40) kelimpungan menjaga dapur rumahnya tetap mengepul.

Sejak mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaannya bulan lalu, eks buruh garmen ini banting setir menjadi ojek dadakan bagi warga di sekitar kediamannya, RT 015/RW 004 Kelurahan Lagoa, Koja, Jakarta Utara.

Pekerjaan lepas yang cenderung tak menentu itu ia jalani semata-mata untuk menghidupi istri dan kedua buah hatinya: seorang anak perempuan berusia 7 tahun dan bayi perempuan berusia 4 bulan.

"Saya sudah nggak ada penghasilan sama sekali. Ada hanya ngojek-ngojek sehari-hari," kata Yadi, sapaannya, saat ditemui di rumahnya pada Jumat (1/5/2020).

Upah 'ngojek' kalah telak dibanding penghasilan tetap yang sebelumnya ia dapatkan dari perusahaan garmen tempatnya bekerja di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung, Cilincing, Jakarta Utara.

Jika sebagai buruh garmen Yadi bisa mendapatkan gaji standar Upah Minimum Regional, pendapatannya dari 'ngojek' dadakan terbilang sangat sedikit.

"Ya palingan Rp 10-20 ribu mah dapat aja. Kan suka ada tetangga yang minta anterin. Ya ayo dianterin," imbuh Yadi.

Yadi sendiri di-PHK bersama sekitar 300 orang buruh lainnya imbas dari kondisi perusahaan yang kurang baik di tengah pandemi. Ketika ratusan buruh ini sama-sama berjuang bertahan hidup, Yadi juga tak mau menyerah pada kehidupan.

Ia tak mau menunggu janji manis perusahaannya yang mengiming-imingi perekrutan ulang selepas pandemi Covid-19.

Terlebih lagi, Yadi sadar bahwa dirinya hanyalah seorang buruh outsourcing yang tak punya privilese lebih dalam pekerjaannya.

Bahkan, setelah dua tahun bekerja di perusahaannya, uang santunan PHK saja tak sepeserpun ia dapatkan.

Batal pulang kampung

Setelah kehilangan pekerjaan sebagai buruh, Yadi mengaku punya pemikiran untuk pulang kampung ke Tegal, Jawa Tengah.

Daripada bertahan tanpa pekerjaan tetap di perantauan, pilihan hidup di kampung dianggapnya akan menjadi lebih aman dan nyaman.

Nyatanya, keinginan Yadi untuk pulang kampung tertahan kebijakan pemerintah, khususnya pelarangan mudik di tengah penerapan Pembatasan Sosi Berskala Besar terkait pencegahan penyebaran Covid-19.

Berita-berita soal banyaknya bus yang putar balik di tengah jalan karena diberhentikan aparat membuat keinginan Yadi untuk pulang kampung hilang seketika.

"Mau pulang kampung juga susah. Kita liat berita ada yang pulang sampe jalan tol disuruh pulang lagi," kata Yadi.

"Makanya saya bertahan ajalah di sini untuk sementara," tuturnya.

Menanti rezeki di tengah pandemi

Di sisi lain, uang tabungan dan kebutuhan pokok yang Yadi simpan selama ini diperkirakan hanya bisa bertahan sampai Lebaran akhir Mei ini.

Selesai Lebaran, Yadi sepertinya harus kembali memutar otak untuk mencari nafkah demi sang istri dan kedua buah hati.

Selain itu, ia juga harus membayar biaya kontrakan yang sebulan mencapai Rp 500.000.

"Ya mungkin bisa bertahan sampe Lebaran doang. Kalo abis lebaran nggak tau ya," kata Yadi, pesimistis.

Pada kenyataannya, Yadi cenderung lebih banyak berharap dari rezeki yang datang kepadanya, seperti misalnya paket sembako dari pemerintah atau pihak manapun.

Namun, ketika pemerintah mulai memberikan bantuan sosial kepada warga di tengah PSBB sejak pertengahan April lalu, tak satupun sembako yang sampai ke rumah Yadi.

Padahal, Yadi mengaku sangat bergantung kepada paket sembako untuk bisa menjaga dapurnya tetap mengepul; setidaknya, kata Yadi lagi, sampai Lebaran tiba.

"Makanya saya ngarepin banget sembako," ucapnya.

Harapan itu akhirnya terkabul setelah pada hari ini Relawan Indonesia Bersatu Lawan Covid-19 yang diketuai Sandiaga Uno memberikan paket sembako kepadanya.

Pemberian sembako ini dilaksanakan Sandiaga untuk memperingati Hari Buruh Internasional. 150 paket sembako menyasar eks buruh yang menjadi korban PHK perusahaan di tengah pandemi.

Sebagai salah satu penerima paket sembako itu, Yadi mengaku sangat terbantu.

Paket sembako yang baru pertama kali diterimanya selama pandemi Covid-19 ini bakal sangat berguna untuk dikonsumsi selama dirinya bertahan hidup tanpa penghasilan tetap.

Bulan Ramadan, Bima Sakti Berikan Menu Latihan Berbeda ke Pemain Timnas Indonesia U-16

Kembali Salurkan Bansos, Anies Akan Bagi-bagi Bingkisan untuk Warga Miskin Jelang Lebaran

Paket sembako ini akan ia pakai secukup-cukupnya selama satu atau dua bulan ke depan. Selebihnya, Yadi kembali hanya bisa berharap ada rezeki lain yang menghampiri kehidupannya.

"Ya saya berterima kasih sudah dapat bantuan sembako ini. Tapi saya berharap ke depannya semoga pemerintah lebih ada perhatian lagi lah," pungkas Yadi.

Sumber: Tribun Jakarta
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved