Iuran BPJS Kesehatan Naik, Anggota DPRD DKI Jakarta Kenneth: Jangan Sengsarakan Rakyat
Apalagi kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dilakukan di tengah pandemi wabah Covid-19.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan, setelah sempat dibatalkan Mahkamah Agung (MA), pada Senin 09 Maret 2020 lalu.
Kebijakan tersebut pun menuai kritik, mengingat kondisi ekonomi masyarakat sedang terpuruk bahkan banyak yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi Covid-19.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018, Tentang Jaminan Kesehatan yang diundangkan pada 6 Mei. Keputusan tersebut pun akan berlaku mulai 1 Juli 2020.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi D DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan, Hardiyanto Kenneth sangat menyayangkan langkah yang diambil mantan Gubernur DKI Jakarta itu.
Apalagi kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan dilakukan di tengah pandemi wabah Covid-19.
"Saya sangat menyayangkan langkah yang diambil oleh Pak Jokowi soal naiknya iuran BPJS Kesehatan ini, seharusnya langkah itu tidak diperlukan disaat wabah Covid-19 melanda Indonesia," kata Kenneth dalam keterangannya, Jumat (15/5/2020).
Pria yang kerap yang disapa Kent itu, menyakini jika Perpres yang diteken oleh Presiden Jokowi terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan dengan pertimbangan berbagai aspek.
Namun, Kent meminta agar Pemerintah juga memperhatikan hasil putusan MA terkait Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan dalam membuat keputusan baru.
"Saya berharap Pak Jokowi benar-benar memperhatikan dan menghargai hasil putusan MA, terkait pembatalan kenaikan BPJS Kesehatan. Kalau memang negara kekurangan dana dikarenakan pandemi covid ini, ya jangan menyengsarakan masyarakat, kasihan mereka sudah dibebani dengan wabah ini," kata Kent.
Ia juga meminta kepada pemerintahan Joko Widodo - Ma'ruf Amin bisa menjelaskan secara gamblang kepada masyarakat terkait dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan, agar tidak gaduh dilapisan masyarakat bawah, ditambah adanya wabah corona yang saat ini belum berakhir.
"Jadi jangan biarkan isu ini menjadi liar di tengah masyarakat. Saya berharap Pak Jokowi bisa menjelaskan kepada masyarakat Indonesia terkait hal ini. Biar masyarakat mengetahui kebenarannya seperti apa, jangan sampai masyarakat menjadi gaduh atas kenaikan iuran tersebut, dan juga agar berimbang," kata Kent.
Kent mengatakan, bagaimanapun keadaan negara saat ini yang lebih diutamakan adalah kepentingan masyarakat.
Saat ini, masyarakat sedang bertahan hidup di tengah gempuran wabah Covid-19.
"Bagaimanapun juga masyarakat paling utama. Kalau memang negara sedang susah, janganlah membuat keputusan yang kurang bijak. Masyarakat saat ini sedang memikirkan hidup mereka ke depan, urusan perut, banyak karyawan yang di PHK, banyak pekerja yang di rumahkan, pengangguran saat ini sudah merajalela," kata Kent.
Pemerintah per 1 Juli 2020 akan menaikkan tarik iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I sebesar Rp150.000, untuk kelas II sebesar Rp100.000, dan untuk kelas III sebesar Rp42.000.
Kenaikan iuran baru itu berdasarkan keputusan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020.
Di dalamnya masih mengatur mengenai penyesuaian besaran iuran peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Namun, pemerintah menetapkan kebijakan khusus untuk peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas III.
Tahun 2020, iuran peserta PBPU dan BP kelas III tetap dibayarkan sejumlah Rp25.500. Sisanya sebesar Rp16.500, diberikan bantuan iuran oleh pemerintah.
Kemudian, pada tahun 2021 dan tahun berikutnya, peserta PBPU dan BP kelas III membayar iuran Rp35.000, sementara pemerintah tetap memberikan bantuan iuran sebesar Rp7.000.
"Tolong jangan membebani masyarakat lebih berat lagi. Saya berharap Pak Jokowi bisa mengambil keputusan yang tepat, atas kenaikan iuran tersebut. Kalau tidak ada pengganti yang lebih bijak selain naiknya iuran tersebut," tuturnya.
Kent pun menyarankan, alangkah baiknya jika Pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin jika tidak setuju dengan putusan MA, bisa melawan dengan upaya hukum yang lebih tinggi lagi, agar tatanan hukum di negara bisa berjalan dengan tertib,baik dan adil.
"Bisa dilawan dengan upaya hukum yang lebih tinggi, jangan tiba-tiba menerbitkan Perpres tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan secara sepihak. Itu semua seharusnya bisa melewati proses yang baik dan adil, agar terlihat elegan dan tertib dalam tatanan administrasi hukum," kata Kebnt.
Hal itu dilakukan, agar citra Pemerintah Jokowi-Ma'ruf Amin tidak terlihat semena-mena dalam melawan putusan hukum yang sudah di ketok oleh institusi yang diibaratkan 'Wakil Tuhan' itu.
"Janganlah gara-gara hal ini reputasi Pak Jokowi dan Pak Ma'ruf Amin rusak di mata masyarakat. Saya berharap pak Jokowi bisa mengambil langkah yang lebih bijak lagi," ujarnya.
Perlu diketahui sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan uji materi atau judicial review Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019, Tentang Jaminan Kesehatan yang diajukan oleh Ketua Umum Komunitas Pasien cuci Darah Indonesia (KPCDI) Tony Richard Samosir.
Gugatan yang diajukan Tony Richard itu meminta MA membatalkan peraturan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, karena memberatkan masyarakat terutama pasien cuci darah.
"Dalam putusannya, MA membatalkan kenaikan iuran BPJS per 1 Januari 2020," kata Juru bicara MA, Hakim Agung Andi Samsan Nganro.
MA membatalkan kenaikan iuran BPJS karena Pasal 34 Ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Selain bertentangan dengan beberapa pasal diatas, kenaikan iuran BPJS juga bertentangan dengan Pasal 5 Ayat 2 Jo Pasal 171 UU Kesehatan. Pasal yang dinyatakan batal dan tidak berlaku berbunyi:
Pasal 34 (1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:
a. Rp 42.OOO,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau
c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020.