Sisi Lain Metropolitan

Deretan Kisah Menyayat Hati Penghuni Panti Lansia: Ada Keluarga Tak Peduli Bahkan Setelah Meninggal

Mereka yang sebagian besar berada dalam panti, merupakan lansia tak beridentitas. Mereka ditemukan petugas terlantar di jalanan.

Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Wahyu Aji
TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS
Suasana Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 di kawasan Cipayung, Jakarta Timur pada Jumat (22/5/2020). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas

TRIBUNJAKARTA.COM, CIPAYUNG - Momen Ramadan tahun ini dirasa berbeda bagi umat muslim dunia, tak terkecuali warga di Tanah Air.

Sebab, kita tidak hanya berperang melawan hawa nafsu, tapi juga harus siap melawan virus corona atau Covid-19.

Saya, wartawan yang baru seumur jagung bekerja di dunia jurnalistik, sudah dihadapkan bagaimana kekhawatiran menyelimuti diri kala dituntut harus menunaikan tugas jurnalisme di saat pemerintah menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).

Namun, saya sadari betul tugas jurnalistik bukan sekadar menyajikan fakta di lapangan.

Tugas ini juga menghadirkan misi kemanusiaan bagi sesama, terlebih bagi kaum kecil yang terpinggirkan di tengah pagebluk ini.

Menjelang Lebaran kali ini, saya mendapatkan kesempatan menyambangi Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 di kawasan Cipayung, Jakarta Timur.

Bukan untuk liputan melainkan dalam rangka pemberian donasi.

Suasana Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 di kawasan Cipayung, Jakarta Timur pada Jumat (22/5/2020).
Suasana Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 di kawasan Cipayung, Jakarta Timur pada Jumat (22/5/2020). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Bersama rekan sesama wartawan Pebby Adhe Liana serta wartawan senior, Yulis Sulistyawan dan Yogi Gustaman, kami membawa beberapa obat-obatan untuk diberikan ke beberapa panti sosial.

Pemberian obat-obatan itu atas kerjasama media Tribunnews dan Kitabisa.com.

Obat-obatan itu diberikan bagi para penghuni panti sebagai salah satu upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

Di sana kami juga mendapatkan kesempatan melihat suasana kehidupan panti sosial yang dihuni para lansia tak beridentitas dan terlantar.

Dipandu Kasatpel Pembinaan Panti, Daniel Rusdi, kami diantarkan menuju kamar - kamar panti.

Saat berada di halaman depan kamar, kami langsung disapa para lansia yang sedang duduk-duduk di luar.

Ada yang duduk di bawah pohon rindang, ada yang duduk bersandar pada dinding.

Bagi yang sudah tak mampu berjalan, mereka duduk beralaskan kursi roda.

Mereka menghabiskan waktu senja hari dengan termenung.

Mata mereka sebagian besar memandang jauh. Pandangan mata mereka kosong seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam hidup.

Ketika sampai di lobi kamar, bau pesing seketika menyengat hidung.

Saya maklum, sebagian besar dari mereka sudah tidak bisa buang air kecil secara mandiri.

Mereka mengenakan popok dewasa bila tak tahan dengan "panggilan alam".

Saat menengok ke dalam ruang kamar, suasana begitu menyedihkan.

Bagaimana melihat manusia yang tak berdaya dimakan usia. Para lansia terkulai lemah di atas kasur. Bahkan, ada yang terbaring di bawah lantai.

Para lansia yang terbaring di kamar itu terdiri dari orang dengan masalah kejiwaan (ODMK) dan pengidap demensia.

Terpinggirkan

Suasana Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 di kawasan Cipayung, Jakarta Timur pada Jumat (22/5/2020).
Suasana Panti Sosial Bina Insan Bangun Daya 2 di kawasan Cipayung, Jakarta Timur pada Jumat (22/5/2020). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Mereka yang sebagian besar berada dalam panti, merupakan lansia tak beridentitas. Mereka ditemukan petugas terlantar di jalanan.

Betapa pedih hati ini ketika saya mendengar lansia yang tinggal di sini tak tahu keberadaan keluarga mereka.

Bahkan, ada yang tidak diakui lagi sebagai bagian dari keluarga.

Di akhir penghujung usia, mereka menghabiskan masa tua tanpa kehadiran keluarga yang menemani.

Daniel Rusdi menjelaskan, para lansia yang tidak mengetahui keberadaan keluarganya akan selamanya tinggal di panti ini.

Di panti ini ibarat sebuah tempat penghabisan sebelum ajal menjemput mereka.

"Kalau enggak ada keluarganya, mereka tinggal menahun di sini sampai meninggal. Tiap seminggu pasti ada saja yang meninggal. Mereka akan dimakamkan di TPU Srengseng Sawah," ungkap Daniel.

Kasatpel Pelayanan Panti, Yasinta Restuning Ayu mengisahkan, bahwa pernah ada pihak keluarga yang tidak peduli ketika anggota keluarganya meninggal di panti.

Saat dihubungi oleh pihak petugas, pihak keluarga enggan datang melayat lantaran tak memiliki uang untuk mengurus pemakamannya.

"Ada keluarga yang enggak mau ke sini, udah ditelponin, bilangnya saya enggak punya biaya. Udah gitu doang. Tega bener anaknya bilang begitu. Kita enggak minta uang, sebenarnya kita ingin dia hadir ke situ melihat pemakamannya," kenangnya.

Ada juga kisah lainnya, menurut petugas lainnya, ada keluarga yang terbilang berpendidikan dan berkecukupan membiarkan ayahnya tidur di panti.

Anaknya enggan mengurusnya.

Pihak keluarga baru menyesal ketika ayahnya meninggal di panti.

"Keluarga berduit enggak mau menerima ayahnya, anaknya juga enggak mau menerima. Ketika meninggal, anaknya baru pada menangis," ujarnya.

Mereka yang dibawa ke panti berpeluang besar bakal menghabiskan masa hidupnya di sana.

Jarang pihak keluarga yang mencari mereka. Dinas Sosial pun kesulitan mencari keluarganya lantaran mereka tak beridentitas. Saat ditanya, mereka kerapkali lupa asal usulnya.

Dibina

Ketika tidak diacuhkan pihak keluarga, mereka dimanusiakan di dalam panti.

Setidaknya ada pihak yang memerhatikan mereka meski tentu perlakuannya tetap tidak sama seperti keluarga terdekat.

Selama di Panti, mereka mengikuti berbagai aktivitas yang diberikan oleh petugas seperti, keterampilan dan senam.

"Kegiatan motorik mereka kita latih. Yang bisa jalan mereka buat keterampilan, kalau enggak bisa biasanya mereka mengisi waktu dengan aktivitas kerohanian," ujar Daniel.

Para lansia juga dibina agar mereka menganggap panti sebagai rumah mereka dan teman satu panti sebagai saudaranya.

Mereka diajarkan gotong royong seperti saling membantu membagi-bagikan makanan di panti.

Pengamatan saya mereka pun ada yang saling mengobrol.

Saya melihat dua orang lansia tengah membawa ember besar berisi bubur kacang hijau yang akan dibagikan kepada teman-temannya.

Sebelum undur diri, saya sempat melihat tulisan "Memanusiakan Manusia" yang terpampang di atas salah satu ruang panti.

Menurut Daniel, mereka yang berada di dalam ruang itu merupakan orang yang sudah "lulus" dibina. Seperti mampu buang air kecil maupun besar secara mandiri.

Dilihat dari aktivitas kehidupan sehari-harinya diri mereka menunjukkan kemajuan. Artinya, dianggap sehat.

Toh, mereka yang dianggap terpinggirkan dan tak berdaya, masih bisa berubah kala dibina dan dimanusiakan.

Sesampainya di rumah, saya terngiang-ngiang dengan kalimat di ruang panti itu.

Dari sana saya kembali diingatkan, dalam hidup seharusnya kita saling kasih mengasihi satu sama lain dan peduli dengan sesama.

Apalagi di masa Pandemi ini, kita bisa membantu tetangga yang kesulitan dengan berbagi makanan atau menaruh empati kepada mereka yang dirumahkan atau bahkan di-PHK.

Bahwa bukankah sebaik-baiknya hidup adalah mereka yang bisa memberikan manfaat baik bagi sesama manusia di dunia?

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved