Waspadai Pelebaran Defisit, Andreas Dorong Pemerintah Siapkan Skenario Pemulihan Fiskal
Tahun ini, kondisi makroekonomi Indonesia sedang mengalami guncangan hebat akibat pandemi.
"Langkah-langkah konkret untuk optimalisasi penerimaan pajak harus segera diambil, antara lain implementasi penggunaan NIK dalam setiap transaksi untuk ekstensifikasi basis pajak dan efektivitas pemungutan PPN, penerapan metode yang lebih sederhana agar pemungutan PPN lebih efektif, pemanfaatan data dan informasi perpajakan yang lebih optimal dan transparan, dan penegakan hukum yang berkeadilan," terangnya.
Andreas mengatakan, belanja negara untuk penanganan Covid-19 membuat pelebaran defisit menjadi tak terelakkan.
Sejak awal disusun, defisit APBN hanya ditargetkan sebesar Rp307,2 T (1,76% PDB) atau tidak melebihi 3% PDB agar sesuai dengan amanat UU No.17/2003 Tentang Keuangan Negara.
Namun akibat pandemi, UU No.2/2020 mengizinkan defisit di atas 3% PDB sampai dengan tahun 2022. Akibatnya, defisit dikoreksi menjadi Rp852,9 T (5,07% PDB) sesuai Perpres No.54/2020.
Sekarang, berdasarkan outlook, defisit APBN diperkirakan akan menyentuh angka Rp1.039,2 (6,34%PDB). "Demi menjaga kredibilitas dan akuntabilitas, Pemerintah perlu menghitung secara cermat proyeksi kebutuhan biaya dan potensi pendapatan sehingga tidak terlalu sering mengubah Perpres," katanya.
Di samping itu, lanjut ia, pemerintah perlu menyusun kembali strategi komprehensif menuju defisit di bawah 3% pada tahun 2023.
"Upaya ini harus dilakukan dengan perhitungan yang cermat, penuh kehati hatian, disiplin tinggi, dan kredibel sehingga menjamin kesinambungan fikal dalam jangka menengah maupun jangka panjang," ujarnya.
Yang harus diwaspadai, katanya, adanya pelebaran defisit yang berimbas pada penambahan utang dan bunga utang akan mengancam kesinambungan fiskal sehingga hal ini perlu dicermati dan diantisipasi.