Wujudkan Keadilan Sosial, Ketum Kowani: RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Tak Bisa Ditunda Lagi

Giwo mengatakan harus dibuat UU Perlindungan PRT mengenai hal yang bersifat melindungi hak asasi agar rasa keadilan sosialnya nyata dan terbukti.

Editor: Wahyu Aji
Istimewa
Ketua Umum Kowani Dr. Ir. Giwo Rubianto Wiyogo dalam press conference mendorong media agar membantu dibahasnya RUUPRT di DPR. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani) Giwo Rubianto Wiyogo mendorong Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) segera ditetapkan menjadi RUU Inisiatif DPR dalam rapat paripurna DPR pada pertengahan Juli 2020.

Hal ini menghindari banyak ketidakadilan dan perilaku yang tidak senonoh.

"Belum adanya regulasi, peraturan dan perundang-undangan memicu banyak terjadinya ketidakadilan dan perilaku yang tidak senonoh dan tak pantas terhadap PRT baik secara individual (insidentil) maupun secara komunal (terstruktur)," ujar Giwo dalam konferensi pers RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Jelang Rapat Paripurna DPR 2020, Minggu (5/7/2020).

Giwo mengatakan harus dibuat UU Perlindungan PRT mengenai hal yang bersifat melindungi hak asasi agar rasa keadilan sosialnya nyata dan terbukti.

Pekerja rumah tangga, menurutnya tidak boleh ditinggalkan dalam pembangunan sumber daya manusia.

"Kami menuntut adanya perlindungan terhadap pekerja migran Indonesia di luar negeri dan tentunya kita juga harus menuntut perlindungan PRT di dalam negeri. Para pekerja asing yang tinggal di Indonesia, sudah dilindungi oleh aturan-aturan dan perundang-undangan dan bagaimana PRT kita kerja di negara sendiri yang belum dilindungi UU," ujarnya.

Dia mengatakan Indonesia perlu mencapai tujuan SDGs, perlakuan yang adil dan seimbang dalam gender dan harus masuk dalam target SDGs.

Kemudian persamaan hak dan kesempatan kerja disemua sektor dan bidang tanpa diskriminasi.

Giwo menjelaskan RUU PPRT merupakan wujud dan implementasi dari Pancasila.

Para PRT wajib mendapatkan perlakuan yang layak dan manusiawi.

"Ada ruang khusus disetiap relung hati kita yaitu penghormatan yang layak dan tulus, bagaimanapun juga PRT juga merupakan Ibu Bangsa, sebagai perempuan yang mana kita selalu memuliakan perempuan baik itu di agama, baik itu di bangsa, di negara dan dunia sekalipun," katanya.

Giwo mendesak agar RUU PPRT dapat segera disahkan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan tidak bisa ditunda lagi.

Sementara itu, Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Nasional-Pekerja Rumah Tangga, Lita Anggraini mengatakan jika sudah ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR, maka terbuka jalan agar RUU tersebut dibahas secara bersama-sama dengan pemerintah.

Selama kurang lebih 16 tahun RUU tersebut terkatung-katung tidak jelas nasibnya.

"Ini sudah kita tunggu sejak 16 tahun yang lalu. Kita berharap ini merupakan jalan untuk perlindungan pekerja rumah tangga," ujarnya.

Lita menjelaskan, pekerja rumah tangga tidak jelas jam kerjanya.

Bahkan ada yang bekerja dari pagi sampai tengah malam.

Pekerjaannya pun tidak ada batasannya, mulai dari membersihkan rumah hingga menjaga anak. 

"Ini menunjukkan bahwa pekerja rumah tangga belum dimasukkan sebagai bagian dari pembangunan bangsa," kata Lita.

Perwakilan dari Maju Perempuan Indonesia, Lena Maryana, mengatakan jika RUU PPRT menjadi RUU inisiatif DPR RI dan dibahas bersama Pemerintah hingga terwujud menjadi UU, maka akan menjadi kunci perubahan untuk pengakuan dan perlindungan pekerja rumah tangga sebagai pekerja dan keadilan sosial bagi mereka.

Menurutnya jika Undang-undang PPRT disahkan menjadi bentuk hadirnya negara dalam perlindungan dan pemenuhan hak-hak PRT sebagai pekerja, penghapusan diskriminasi, eksploitasi, kekerasan dan perendahan terhadap pekerjaan PRT dan PRT, mengatur hubungan kerja PRT dan pemberi kerja dengan hak dan kewajiban PRT dan pemberi kerja, dan memperkuat perlindungan bagi PRT Migran di negara tujuan.

RUU Pelindungan PRT terdiri atas 12 bab dan 34 pasal. Hal-hal pokok yang diatur dalamnya antara lain soal perekrutan PRT baik secara langsung maupun tidak langsung.

Salah satu spirit mendasar dalam RUU ini adalah bahwa perlindungan terhadap PRT dalam relasi sosiokultural, bukan hubungan industrialis.

Selama dalam pembahasan Panja, RUU PPRT berisi tujuh pokok pemikiran terkait relasi dan kehidupan profesional PRT.

Pertama, pengaturan mengenai pelindungan terhadap PRT mengedepankan asas kekeluargaan sebagai nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia.

Kedua, perekrutan PRT dapat dilakukan secara langsung ataupun secara tidak langsung.

Di sini, perjanjian kerja tertulis hanya diberlakukan pada PRT yang direkrut secara tidak langsung melalui penyalur PRT.

Berikutnya, Penyalur PRT adalah badan usaha yang berbadan hukum.

Yang keempat, RUU PPRT juga mengatur mengenai bagaimana pelindungan terhadap PRT dari diskriminasi, eksploitasi, pelecehan, dan kekerasan, baik dari penyalur PRT maupun pemberi kerja, dijalankan.

Kelima, RUU PPRT bicara mengenai bagaimana calon PRT mendapatkan pendidikan, baik dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, maupun dari Penyalur PRT.

Keenam, di dalam RUU juga termaktub ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan bagi calon PRT, termasuk pendidikan tentang norma-norma sosial dan budaya yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan konteks tempat bekerja sehingga penyelenggaraan PRT dapat menjaga hubungan sosiokultural antara Pemberi Kerja dengan PRT.

Ketujua, pengawasan terhadap penyelenggaraan PRT dilakukan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Tentunya lewat pendelegasian wewenang.

Selama pembahasannya, Panja RUU PPRT telah mengundang narasumber dari berbagai pemangku kepentingan.

Mereka antara lain para pakar, aktifis buruh, kalangan LSM, sosiolog, akademisi, hingga komisioner Komnas HAM.

Sumber: Tribun Jakarta
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved