Virus Corona di Indonesia
Jangan Bingung, Penjelasan Lengkap Soal Istilah Baru Terkait Covid-19, ODP, PDP dan OTG Diganti
Kementerian Kesehatan mengganti sejumlah istilah yang digunakan selama pandemi virus corona atau Covid-19.
Penulis: Wahyu Aji Tribun Jakarta | Editor: Muhammad Zulfikar
TRIBUNJAKARTA.COM - Kementerian Kesehatan mengganti sejumlah istilah yang digunakan selama pandemi virus corona atau Covid-19.
Hal tersebut merujuk pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang diteken, Senin (13/7/2020).
Dalam surat tertanggal 13 Juli 2020 yang ditandatanganinya tersebut, Terawan mengganti istilah Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Tanpa Gejala (OTG).
Tribunnews.com telah mendapatkan konfirmasi dari Kepala Puskom Kementerian Kesehatan Busroni terkait kebenaran surat tersebut.
"Benar, (diterbitkan) tanggal 13 Juli," kata Busroni kepada Tribunnews.com, Selasa (14/7/2020).
Terawan memperkenalkan sejumlah istilah baru terkait penanganan Covid-19 di Indonesia.
"Pada bagian ini, dijelaskan definisi operasional kasus Covid-19 yaitu Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, Pelaku Perjalanan, Discarded, Selesai Isolasi, dan Kematian."
"Untuk Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, istilah yang digunakan pada pedoman sebelumnya adalah Orang Dalam Pemantauan (ODP), Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Tanpa Gejala (OTG)," tulis surat tersebut.
Berikut istilah baru dalam pedoman yang diterbitkan Kemenkes tersebut:
1. Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Orang dengan Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat perjalanan atau tinggal di negara/wilayah Indonesia yang melaporkan transmisi lokal.
b. Orang dengan salah satu gejala/tanda ISPA dan pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat kontak dengan kasus konfirmasi/probable Covid-19.
c. Orang dengan ISPA berat/pneumonia berat yang membutuhkan perawatan di rumah sakit dan tidak ada penyebab lain berdasarkan gambaran klinis yang meyakinkan.
Catatan:
Istilah Pasien Dalam Pengawasan (PDP) saat ini dikenal kembali dengan istilah kasus suspek.
* ISPA yaitu demam (≥38oC) atau riwayat demam; dan disertai salah satu gejala/tanda penyakit pernapasan seperti: batuk/sesak nafas/sakit tenggorokan/pilek/pneumonia ringan hingga berat
** Negara/wilayah transmisi lokal adalah negara/wilayah yang melaporkan adanya kasus konfirmasi yang sumber penularannya berasal dari wilayah yang melaporkan kasus tersebut.
Negara transmisi lokal merupakan negara yang termasuk dalam klasifikasi kasus klaster dan transmisi komunitas, dapat dilihat melalui situs https://www.who.int/emergencies/diseases/nov el-coronavirus-2019/situation-reports
Wilayah transmisi lokal di Indonesia dapat dilihat melalui situs https://infeksiemerging kemkes.go.id.
Definisi ISPA berat/pneumonia berat dan ARDS dapat dilihat pada tabel 5.1 di BAB V.
2. Kasus Probable
Kasus suspek dengan ISPA Berat/ARDS/meninggal dengangambaran klinis yang meyakinkan Covid-19 DAN belum ada hasil pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
3. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus Covid-19 yang dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium RT-PCR.
Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:
a. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)
4. Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau kasus konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu 15 menit atau lebih.
b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi (seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus probable atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai standar.
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim penyelidikan epidemiologi setempat (penjelasan sebagaimana terlampir).
Pada kasus probable atau konfirmasi yang bergejala (simptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul gejala.
Pada kasus konfirmasi yang tidak bergejala (asimptomatik), untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum dan 14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi.
5. Pelaku Perjalanan
Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik)maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.
6. Discarded
Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Seseorang dengan status kasus suspek dengan hasil pemeriksaan RT-PCR 2 kali negatif selama 2 hari berturut-turut dengan selang waktu >24 jam.
b. Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan masa karantina selama 14 hari.
7. Selesai Isolasi
Selesai isolasi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik) yang tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR dengan ditambah 10 hari isolasi mandiri sejak pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi.
b. Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang tidak dilakukan pemeriksaan follow up RT-PCR dihitung 10 hari sejak tanggal onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
c. Kasus probable/kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) yang mendapatkan hasil pemeriksaan follow up RT-PCR 1 kali negatif, dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan pernapasan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria selesai isolasi pada kasus probable/kasus konfirmasi dapat dilihat dalam Bab Manajemen Klinis.
8. Kematian
Kematian Covid-19 untuk kepentingan surveilans adalah kasus konfirmasi/probable Covid-19 yang meninggal.
Pemerintah minta jangan diributkan
Menteri Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy meminta pergantian istilah tersebut tidak diributkan.

"Setahu saya sudah dipertegas sekarang tidak gunakan new normal, sekarang istilahnya apa itu adaptasi dengan kebiasaan yang baru. Kita ga perlu ribut dengan istilah lah," kata Muhadjir usai rapat terbatas di Komplek Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin, (13/7/2020).
Lebih jauh Muhadjir menjelaskan bahwa berdasarkan Undang-Undang 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, sekarang ini sudah masuk pada masa transisi rehabilitasi sosial ekonomi dan rekonstruksi sosial ekonomi.
Namun undang-undang tersebut tidak kompatibel dengan bencana non alam.
Oleh karena itu Pemerintah dan DPR akan merevisi UU tersebut sehingga akan ada istilah baru yang relevan dengan kondisi yang terjadi sekarang ini.
"Nanti ada istilah khusus dengan UU yang baku. Jadi istilah new normal, lockdown itu memang engga sesuai UU," katanya.
Oleh karena itu menurutnya dalam menggunakan istilah istilah selama Pandemi harus hari-hati, termasuk adaptasi kebiasaan baru karena tidak ada dalam Undang-Undang.
"Sehingga kita kalau gunakan harus hati-hati. Termasuk juga dengan adaptasi baru itu juga tidak dalam UU," pungkasnya.
Diksi
Penggunaan diksi new normal selama pandemi Covid-19 dinilai sulit dipahami oleh masyarakat.
Akibatnya, pemerintah mengubah diksi tersebut menjadi adaptasi kebiasaan baru.

"Diksi new normal, dari awal diksi itu segera ubah. New normal itu diksi yang salah dan kita ganti dengan adptasi kebiasaan baru," kata Yurianto dalam acara peluncuran buku Menghadang Corona: Advokasi Publik di Masa Pandemi karya Saleh Daulay secara virtual, Jumat (10/7/2020).
Istilah new normal memang beberapa kali digunakan pemerintah dalam berbagai kesempatan. Bahkan, istilah itu juga kerap terlontar dari lisan Presiden Joko Widodo.
Misalnya, pada saat mengingatkan pemerintah kabupaten dan kota yang hendak menerapkan fase kenormalan baru.
Presiden mengimbau agar pemerintah daerah dapat berhati-hati dan mengkaji secara baik fase new normal.
"Apabila ini terkendali dan masuk ke new normal atau masuk ke normal, saya minta juga tahapan-tahapannya diprakondisikan terlebih dahulu. Ada prakondisi untuk menuju ke sana," ujar Presiden saat berkunjung ke Surabaya, Jawa Timur, pada 25 Juni lalu. (Tribunnews.com/Fahdi/Taufik Ismail)