Sisi Lain Metropolitan

Tak Menyerah dengan Takdir, Kisah Hilmy, Barista Tuna Netra Meracik Kopi Lewat Mata Hati

Meskipun memiliki keterbatasan, Ahmad Hilmy Almusawa membuat kedai kopi sendiri dan menyajikannya lewat rasa dan hatinya.

Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Wahyu Aji
TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS
Sosok Barista Tuna Netra, Ahmad Hilmy Almusawa (22) di kedai kopi Mata Hati di kawasan Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan pada Sabtu (25/7/2020). 

Lewat racikan tangan Teguh AW, Hilmy diajarkan bagaimana meracik kopi dengan benar. Sampai akhirnya ia terampil.

Kedai kopi Mata Hati di kawasan Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan pada Sabtu (25/7/2020).
Kedai kopi Mata Hati di kawasan Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan pada Sabtu (25/7/2020). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

"Saya dilatih selama sehari di Cafe Tadi Pagi sama mas Teguh AW," ujar mahasiswa semester enam jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Muhammadiyah Jakarta tersebut.

Setelah itu sekira pada tanggal (5/2/2020) Kedai Mata Hati Koffie buka perdana di rumahnya, Kawasan Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan, Banten.

Dalam kesehariannya meramu kopi, Hilmy dibantu dua temannya, Munawaroh (22) dan Ahmad Ruyani (22).

Munawaroh, atau akrab disapa Mumun, ditugaskan sebagai kasir dan pengontrol situasi ruangan pembuat kopi.

Terkadang, ia mengingatkan Hilmy kala meracik kopi.

Sedangkan Ahmad yang menderita low vision ditugaskan menjadi barista kopi panas seperti V60, Kopi Tubruk, atau Vietnam Drip.

Baca juga: Kisah Kerajaan Angling Dharma di Banten yang Dipimpin Sang Baginda Sultan, Begini Kata Sang Pengikut

Butuh Konsentrasi

Ia akui membutuhkan konsentrasi lebih dalam meracik kopi. Bila tidak, bisa-bisa kopi yang disajikan tidak sesuai pesanan pembeli.

Sosok Barista Tuna Netra, Ahmad Hilmy Almusawa (22) di kedai kopi Mata Hati di kawasan Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan pada Sabtu (25/7/2020).
Sosok Barista Tuna Netra, Ahmad Hilmy Almusawa (22) di kedai kopi Mata Hati di kawasan Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan pada Sabtu (25/7/2020). (TRIBUNJAKARTA.COM/SATRIO SARWO TRENGGINAS)

Misalnya, ia sempat lupa berapa kali memencet gula merah ke dalam gelas dari botol dan tangannya tersiram air panas.

Kesalahan itu membuat ia belajar lebih teliti. Untungnya, ia juga diingatkan Mumun ketika meraciknya.

"Untuk orang yang total ( tidak bisa melihat) sangat butuh ketelitian untuk menuangkan air panas. Sering kena air panas tapi akhirnya sudah bisa," lanjutnya.

Untuk memudahkan membuat kopi, penempatan peralatan tidak berubah posisi. Dalam memilih varian biji kopi, terdapat tulisan berhuruf braille di tutup toples.

Hilmy selalu memasang timer selama 27 detik setiap menunggu mesin espresso selesai menyeduh kopi siap saji.

Timer digunakan sebagai tanda biji kopi sudah selesai diproses.

Sumber: Tribun Jakarta
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved