Food Story
Meracik Kopi Lewat Mata Hati, Pesan Barista Tuna Netra: Berjuang dan Pantang Menyerah
Lewat kecintaannya terhadap kopi dan ketekunannya untuk selalu belajar, Hilmy kini jadi barista di kedai kopi bernama Mata Hati Koffie
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, PAMULANG - Ahmad Hilmy Almusawa (22) tidak menyerah dengan keterbatasan fisik yang dimiliki sebagai penyandang disabilitas tuna netra total.
Lewat kecintaannya terhadap kopi dan ketekunannya untuk selalu belajar, Hilmy kini jadi barista di kedai kopi bernama Mata Hati Koffie.
Hilmy memiliki pesan untuk teman-temannya yang senasib sama dengannya untuk pantang menyerah dan selalu berjuang.
Terutama memiliki keberanian untuk hal-hal baru dalam hidup.
"Sebenarnya teman-teman tuna netra bisa kalau mau untuk belajar dan berlatih mencoba hal baru. Terus lah belajar terus lah mencoba. Jangan berhenti untuk berjuang dan pantang menyerah," ungkapnya kepada TribunJakarta.com di kedai kopinya di kawasan Pondok Cabe Ilir, Pamulang, Tangerang Selatan pada Sabtu (25/7/2020).
Ia berharap ada lagi teman-temannya yang juga membangun kedai kopi. Ia dengan senang hati membantu pelatihan meramu kopi tanpa biaya.
Kopi Mata Hati Diracik Barista Tuna Netra
Tangan Hilmy lihai kala meracik segelas kopi dari balik ruang yang cukup sempit.
Anak muda itu penuh kehati-hatian dalam membuat pesanan segelas kopi susu pembeli.
Ketika mendengar timer berbunyi, ia lantas bergegas mengambil segelas kecil kopi dari mesin espresso lalu menuangkannya ke dalam segelas susu dan gula aren.
Setelah ditutup dengan alat press, segelas kopi susu kekinian yang sudah dibungkus plastik itu siap diberikan kepada pelanggan.
Hilmy adalah seorang barista yang menyandang tuna netra total.
Awalnya, ia mengalami low vision. Kemudian kedua bola matanya tidak lagi mampu melihat sejak ia lulus dari kelas 6 SD.
Namun, keterbatasan yang dimiliki bukan lah akhir dari hidupnya. Ia menolak menyerah dengan keadaan. Ia ingin berusaha dan berdikari lewat kecintaannya dengan kopi.
Sampai akhirnya, ia membuat kedai kopi sendiri dan menyajikannya lewat rasa dan hatinya.
Awal membuat toko kopi bermula dari pertemuan dengan seorang pemilik tempat kopi Tadi Pagi Coffee & Roastery bernama Teguh AW.
Sebelumnya, Hilmy juga sudah pernah berkerjasama dengan Teguh AW dalam bisnis biji kopi secara daring dengan jenama Blind Coffee Me.
"Saya jual kopi itu lewat online dari rumah. Ambilnya (biji kopi) ke mas Teguh," ungkapnya kepada TribunJakarta.com pada Sabtu (25/7/2020).
Setelah itu, melihat kecintaannya dengan kopi, Hilmy disarankan Teguh AW membuat kedai kopi sendiri di rumah.
Ibu Hilmy, Hikmah Al Musawa (42) yang sudah cukup lama kenal dengan Teguh AW kemudian memfasilitasi Hilmy membuat kedai kopi sendiri.
Garasi rumahnya disulap menjadi sebuah kedai kopi bergaya kekinian.
Lewat racikan tangan Teguh AW, Hilmy diajarkan bagaimana meracik kopi dengan benar. Sampai akhirnya ia terampil.
"Saya dilatih selama sehari di Cafe Tadi Pagi sama mas Teguh AW," ujar mahasiswa semester enam jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Muhammadiyah Jakarta tersebut.
Setelah itu sekira pada tanggal (5/2/2020) Kedai Mata Hati Koffie buka perdana di rumahnya, Kawasan Pondok Cabe Ilir, Tangerang Selatan, Banten.
Dalam kesehariannya meramu kopi, Hilmy dibantu dua temannya, Munawaroh (22) dan Ahmad Ruyani (22).
Munawaroh, atau akrab disapa Mumun, ditugaskan sebagai kasir dan pengontrol situasi ruangan pembuat kopi.
Terkadang, ia mengingatkan Hilmy kala meracik kopi.
Sedangkan Ahmad yang menderita low vision ditugaskan menjadi barista kopi panas seperti V60, Kopi Tubruk, atau Vietnam Drip.
Butuh Konsentrasi
Ia akui membutuhkan konsentrasi lebih dalam meracik kopi. Bila tidak, bisa-bisa kopi yang disajikan tidak sesuai pesanan pembeli.
Misalnya, ia sempat lupa berapa kali memencet gula merah ke dalam gelas dari botol dan tangannya tersiram air panas.
Kesalahan itu membuat ia belajar lebih teliti. Untungnya, ia juga diingatkan Mumun ketika meraciknya.
"Untuk orang yang total ( tidak bisa melihat) sangat butuh ketelitian untuk menuangkan air panas. Sering kena air panas tapi akhirnya sudah bisa," lanjutnya.
Untuk memudahkan membuat kopi, penempatan peralatan tidak berubah posisi. Dalam memilih varian biji kopi, terdapat tulisan berhuruf braille di tutup toples.
Hilmy selalu memasang timer selama 27 detik setiap menunggu mesin espresso selesai menyeduh kopi siap saji.
Timer digunakan sebagai tanda biji kopi sudah selesai diproses.
Ia juga menggunakan instruksi audio untuk memudahkan membuat kopi panas.
• Sopir Baim Wong Kesal Tahu Harga Kopi yang Diminumnya, Paula: Di Sini Rp 20 Ribu Cuma Dapat Tisu
• Bikin Glowing hingga Kurangi Jerawat, Berikut 8 Manfaat Masker Kopi untuk Wajah
• Sederet Bahaya Minum Kopi saat Haid atau Menstruasi, Ini Penjelasannya
Sempat Dilanda Pandemi
Pandemi Covid-19 turut berdampak kepada bisnis kedai Mata Hati.
Bisnisnya sempat meredup. Hilmy yang tadinya banyak melayani pesanan berubah sepi.
"Sebelum pandemi saya bisa meladeni 100 cup kopi susu dalam sehari. Karena kan masih ramai-ramainya. Saat pandemi makin turun terus makin sepi," terangnya.
Bahkan, kedainya sempat tutup kurang lebih sebulan gara-gara ulah badai makhluk tak kasat mata tersebut.
Kini kedainya berangsur pulih. Pembeli mulai banyak yang datang. Ia juga menjualnya lewat layanan pesan antar makanan online.
Mata Hati Koffie buka Selasa sampai Minggu dari pukul 10.00 WIB sampai 22.00 WIB.
Di tengah keterbatasan yang menimpa hidupnya, Hilmy ingin mengajak teman-temannya sesama penyandang disabilitas netra total agar bisa berusaha seperti dirinya.
Ia juga senang hati mengajarkan cara meracik kopi gratis kepada mereka.
Sebab, selalu ada jalan asal ada kemauan dan keberanian dalam memulai.
"Keterbatasan itu bukan hambatan untuk berjuang. Moto hidup saya adalah pantang menyerah," pungkasnya mantap.
Seperti tulisan yang berada di depan kedai kopinya.
"Rasa tak perlu mata dan cahaya. Kami meracik dengan hati dan cinta."