Penangkapan Djoko Tjandra

Bela Djoko Tjandra, Otto Hasibuan Pertanyakan Dasar Kliennya Ditahan dan Sindir Soal Praperadilan

Otto hasibuan mendapat amanah dari Djoko Tjandra untuk menjadi kuasa hukum kasus pengalihan hak tagih Bank Bali di Mabes Polri.

Penulis: Wahyu Aji Tribun Jakarta | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
Tribunnews.com/ Vincentius Jyestha
Pengacara kondang Otto Hasibuan 

TRIBUNJAKARTA.COM - Otto Hasibuan, kuasa hukum Djoko Tjandra, mempertanyakan penahanan terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali itu di Rutan Bareskrim

Hal ini dipastikannya langsung usai bertemu dengan Djoko Tjandra di Rutan Salemba cabang Bareskrim Mabes Polri, Sabtu (1/8/2020) malam.

"Saya baru ketemu dengan Pak Djoko Tjandra, karena memang dari keluarga sudah mendesak supaya saya segera bertemu dengan beliau. Akhirnya saya bisa bertemu dan kami bicara panjang lebar mengenai kasus ini. Setelah kita berbincang bersama beliau, saya memutuskan untuk menerima permintaan untuk jadi pengacara dia," kata Otto kepada wartawan.

"Jadi mulai hari ini saya resmi jadi kuasa hukum Djoko Tjandra, termasuk keluarganya. Saya bilang keluarga, karena keluarga kan enggak ada masalah, resminya hanya untuk Djoko Tjandra, itu saja," ucap Otto.

Sejauh ini, kata Otto, ia baru mendapat amanah dari Djoko Tjandra untuk menjadi kuasa hukum pada kasus di Mabes Polri.

Sementara tugas untuk pengajuan peninjauan kembali (PK) Djoko Tjandra di pengadilan masih berada ditangani oleh pengacara Anita Kolopaking.

Anita sendiri pekan lalu sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Ia diduga terlibat dalam kasus surat jalan palsu untuk Djoko Tjandra.

"Nah, saya tanya tadi bahwa urusan dia di Mabes Polri ini ternyata tidak memberikan kuasa kepada yang lama, jadi saya tidak ada terkait. Menurut Pak Djoko yang diberikan kuasanya itu (Anita Kolopaking) untuk PK, untuk PK saya katakan saya tidak kerjakan, kecuali sudah ada penyelesaian dengan pengacara yang lama," ujar Otto.

PK yang diajukan oleh Djoko Tjandra sebenarnya sudah selesai pada pertengahan Juli 2020 lalu.

Jadi Kuasa Hukum Djoko Tjandra, Otto Hasibuan Sebut Ada Ketidakadilan

Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tak menerima PK tersebut dan berkasnya tak diteruskan ke Mahkamah Agung (MA).

Meski begitu, respons atas tak diterimanya PK tersebut masih akan menjadi wewenang dari tim pengacara Anita.

Otto pun mengaku tak ada masalah apabila dia menangani perkara di Bareskrim sebab tak masuk dalam ranah PK yang dipegang Anita.

Otto mengatakan dirinya tak ingin ada konflik dan pelanggaran etika sesama pengacara jika ikut terlibat dalam pengusutan kasus Djoko Tjandra yang masih ditangani Anita Kolopaking.

"Jadi saya katakan kepada Pak Tjandra, kalau anda memberikan kuasa khusus, tidak boleh ada pengacara lain di situ. Dia selesaikan dulu dengan pengacara yang lain, sesuai etika profesi kita," kata dia.

Nantinya Otto akan bekerja menangani dua hal terkait dengan kliennya.

Kedua hal tersebut yakni mengenai penahanan yang dilakukan Kejaksaan Agung dan juga soal perkara yang tengah bergulir di Bareskrim Polri.

"Begini, masalah kita ini kan sekarang ada dua, satu masalah tentang penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap dia di sini (Rutan Bareskrim), sehubungan dengan adanya pelaksanaan putusan PK," kata Otto.

Terkait penahanan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung, Otto mempertanyakan dasar penahanan tersebut.

Ia pun mempertimbangkan mengenai opsi praperadilan.

"Sebab seperti yang saya katakan sebelumnya, di dalam putusan PK, tidak ada perintah untuk Pak Djoko ditahan. Nah kalau tidak ada perintah ditahan kenapa dia ditahan? Apakah itu nanti Kejagung memberikan klarifikasi, apakah kita harus mengajukan praperadilan, kita belum tahu," kata dia.

Buronan kasus hak penagihan pengalihan hutang (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra saat tiba di Bandara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Kamis (30/7/2020). Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo memimpin langsung penjemputan buronan 11 tahun itu. Tribunnews/Jeprima
Buronan kasus hak penagihan pengalihan hutang (cessie) Bank Bali, Djoko Tjandra saat tiba di Bandara Internasional Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur, Kamis (30/7/2020). Kepala Bareskrim Polri Komjen Listyo Sigit Prabowo memimpin langsung penjemputan buronan 11 tahun itu. Tribunnews/Jeprima (Tribunnews/JEPRIMA)

Otto membeberkan, dalam putusan PK, Djoko Tjandra dijatuhi hukuman 2 tahun yang sifatnya deklarator.

Selain itu, Djoko Tjandra juga dihukum membayar denda Rp 15 juta dan sudah dijalankan.

"Kemudian menyatakan uang dirampas untuk negara yang Rp 500 miliar sekian itu. Itu saja. Jadi tidak ada putusan yang sifatnya kondemnator, menghukum atau memerintahkan Djoko Tjandra harus ditahan," klaimnya.

Sementara untuk masalah kedua yang akan ditangani oleh Otto yakni soal kasus di Bareskrim Polri.

Djoko Tjandra terlibat dalam kasus surat jalan alias surat sakti yang dikeluarkan Brigjen Prasetijo Utomo untuk kabur ke luar negeri.

Selain itu, Djoko Tjandra juga diperbantu mengurus surat bebas Covid-19 oleh Brigjen Prasetijo.

Otto mengatakan bahwa kliennya masih berstatus sebagai saksi di kasus ini.

"Satu lagi kan sekarang ada masalah, Djoko Tjandra di sini hanya diperiksa sebagai saksi perkaranya Prasetijo, jadi dia enggak ada tersangka di kasus surat jalan ini, sampai sekarang belum ada, hanya saksi saja. Saya menjadi kuasa sekarang ini 2 hal," ungkapnya. 

Perjalanan kasus

Nama Djoko Tjandra kembali ramai diperbincangkan setelah diketahui sudah berada di Indonesia sejak tiga bulan lalu.

Pernyataan itu disampaikan langsung oleh Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR di Kompleks Parelemen, Senayan, Jakarta, Senin (29/6/2020)

Terdakwa dalam kasus cessie Bank Bali, Djoko S Tjandra, saat tuntutan pidana dibacakan jaksa penuntut umum Antazari Ashar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Juli 2008.
Terdakwa dalam kasus cessie Bank Bali, Djoko S Tjandra, saat tuntutan pidana dibacakan jaksa penuntut umum Antazari Ashar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Juli 2008. (KOMPAS/DANU KUSWORO)

"Informasinya lagi yang menyakitkan hati saya adalah katanya tiga bulanan dia ada di sini. Baru sekarang terbukanya," kata dia.

Mengetahui hal itu, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD pun meminta Jaksa Agung segera menangkap buronan kelas kakap itu.

Lantas bagaimana perjalanan kasus Djoko Tjandra?

Djoko Tjandra merupakan satu dari sejumlah nama besar yang terlibat dalam kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali.

Harian Kompas, 24 Februari 2000 memberitakan, Direktur PT Era Giat Prima itu dijerat dakwaan berlapis oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ridwan Moekiat.

Dalam dakwaan primer, Djoko didakwa telah melakukan tindak pidana korupsi berkaitan dengan pencairan tagihan Bank Bali melalui cessie yang merugikan negara Rp 940 miliar.

Jaksa Ridwan Moekiat juga menyebutkan soal adanya pertemuan 11 Februari 1999 di Hotel Mulia yang dipimpin AA Baramuli yang membicarakan soal klaim Bank Bali.

Namun, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang diketui oleh R Soenarto memutuskan tidak menerima dakwaan jaksa itu.

Alasannya, soal cessie bukan perbuatan pidana melainkan masalah perdata, seperti diberitakan Harian Kompas, 7 Maret 2000.

Dengan demikian, Djoko yang akhirnya terbebas dari dakwaan telah melakukan tindak pidana korupsi ini tidak bisa lagi dikenai tahanan kota.

Diadili dan kembali lolos

Atas putusan itu, JPU Moekiat mengajukan perlawanan (verset) ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.

Menurut Panitera PN Jakarta Selatan M Jusuf, PT DKI Jakarta tanggal 31 Maret 2000 memutuskan, dakwaan JPU dibenarkan dan pemeriksaan perkara Joko Tjandra dilanjutkan.

Oleh karena itu, pemeriksaan perkara dilanjutkan kembali dengan acara pemeriksaan saksi pada 1 Mei 2000, seperti diberitakan Harian Kompas, 2 Mei 2000.

Dalam sidang itu, JPU Moekiat menghadirkan empat saksi, yaitu dua Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Iwan Ridwan Prawiranata dan Subarjo Joyosumarto serta dua staf BI, Dragon Lisan dan Adnan Djuanda.

Namun, Djoko kembali lolos dari jerat hukum.

Majelis hakim menilai kasus Bank Bali dengan terdakwa Djoko Tjandra bukan merupakan kasus pidana melainkan perdata.

Dalam putusan itu, disebutkan bahwa dakwaan JPU yang menyatakan bahwa Djoko telah mempengaruhi para pejabat otoritas moneter guna memperlancar pencairan klaim Bank Bali pada Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), sama sekali tidak terbukti.

Berdasar keterangan para saksi dari kalangan otoritas moneter, dalam hal ini BI dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) di persidangan, tidak ada satu pun yang menyatakan telah dipengaruhi oleh Djoko.

Sementara mengenai pertemuan tanggal 11 Februari 1999 di Hotel Mulia, yang disebut adanya usaha Djoko untuk memperlancar pencairan klaim Bank Bali, tidak terbukti mengingat hanya satu orang saksi, yaitu Firman Soetjahya, dikutip dari Harian Kompas, 19 Agustus 2000.

Atas putusan itu, Jaksa Agung Marzuki Darusman menyatakan, dirinya tidak menduga Djoko akhirnya dinyatakan bebas dari tuntutan hukum.

"Putusan itu di luar dugaan. Sama sekali di luar dugaan. Tetapi ini tak menghentikan proses hukum, karena belum selesai. Karena itu, Kejaksaan akan melanjutkannya dengan kasasi," ujar Marzuki.

Dalam kasasi itu, jaksa juga menguraikan kelemahan putusan majelis hakim yang menilai perjanjian cessei yang dituduhkan kepada Djoko adalah murni perdata.

Namun, lagi-lagi majelis hakim menolak kasasi yang diajukan oleh Kejaksaan Agung itu.

Divonis 2 tahun penjara

Pada 15 Oktober 2008, jaksa mengajukan PK terhadap putusan kasasi MA terkait dengan terdakwa Djoko yang dinilai memperlihatkan kekeliruan yang nyata.

Menurut jaksa, putusan majelis kasasi MA terhadap Djoko, Pande, dan Syahril berbeda-beda. Padahal, ketiganya diadili untuk perkara yang sama, dalam berkas terpisah.

Harian Kompas, 12 Juni 2009 memberitakan, Mahkamah Agung menjatuhkan hukuman terhadap Djoko dan mantan Gubernur Bank Indonesia Syahril Sabirin, masing-masing dengan pidana penjara selama dua tahun.

Mereka terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam perkara pengalihan hak tagih piutang (cessie) Bank Bali.

"MA juga memerintahkan dana yang disimpan dalam rekening dana penampungan atau Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara," kata Kepala Biro Hukum dan Humas MA Nurhadi.

Putusan dijatuhkan majelis peninjauan kembali yang diketuai Djoko Sarwoko, dengan anggota Komariah E Sapardjaja, Mansyur Kertayasa, I Made Tara, dan Suwardi.

MA juga memerintahkan agar dana yang disimpan di rekening dana penampungan atau Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dikembalikan kepada negara.

Kabur ke luar negeri

Akan tetapi, Djoko diketahui telah melarikan diri ke Papua Nugini sebelum dieksekusi.

Harian Kompas, 20 Juni 2009 memberitakan, kaburnya Djoko diduga karena bocornya putusan peninjauan kembali oleh MA.

Ketua MA Harifin A Tumpa mengakui kemungkinan bocornya informasi putusan. 

KRONOLOGI Lengkap Penangkapan Djoko Tjandra di Malaysia, Tiba Gunakan Pesawat Khusus
KRONOLOGI Lengkap Penangkapan Djoko Tjandra di Malaysia, Tiba Gunakan Pesawat Khusus (Tangkap layar channel YouTube KompasTV)

Namun, informasi yang dibocorkan belum tentu akurat.

Harifin menyatakan, tidak mungkin bocoran informasi itu berasal dari majelis hakim yang menangani peninjauan kembali Joko Tjandra.

Pada 2012, Djoko diketahui telah berpindah kewarganegaraan menjadi warga Papua Nugini.

"Yang bersangkutan (Djoko S Tjandra) berada di luar negeri dan pindah kewarganegaraan. Tentu akan ditindaklanjuti proses meminta pertanggungjawaban yang bersangkutan terkait dengan kasus yang sekarang dihadapinya," ujar Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha, dilansir dari pemberitaan Harian Kompas, 19 Juli 2012.

(TRIBUNNEWS.COM/Igman/KOMPAS.com)

Berita ini telah tayang di Tribunnews.com berjudul Djoko Tjandra Ditangkap, Berikut Perjalanan Kasus sang Buronan: Kerap Lolos hingga Menyeret Jenderal

Sumber: Tribunnews
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved