Sisi Lain Metropolitan
25 Tahun Jadi Tukang Tambal Ban, Rani Bisa Kumpulkan Uang Untuk ke Tanah Suci
Puluhan tahun jadi tukang tambal ban, Rani (55) bisa kumpulkan uang untuk pergi haji.
Penulis: Nur Indah Farrah Audina | Editor: Muhammad Zulfikar
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Nur Indah Farrah Audina
TRIBUNJAKARTA.COM, MATRAMAN - Puluhan tahun jadi tukang tambal ban, Rani (55) bisa kumpulkan uang untuk pergi haji.
Tekad dan keinginan Rani sudahlah kuat sedari dulu.
Meski menjadi tukang tambal ban, ia berkeinginan mengunjungi tanah suci walaupun hanya sekali dalam hidupnya.
Alhasil, selah 23 tahun menjadi tukang tambal ban di Jalan Tegalan, Matraman, Jakarta Timur, dirinya bisa mengumpulkan uang untuk pergi haji.
"Awalnya saya nanya gimana caranya kan sama bu ustazah. Karena saya enggak bisa baca dab tulis jadi sempat pesimis. Tapi karena dibilang ada pembimbingnya saya semangat lagi," katanya kepada TribunJakarta.com, Kamis (19/11/2020).
Tepat dua tahun lalu, ia menitipkan uang di sebuah tempat travel haji dan umrah.
"Saya kumpulin kan sedikit-sedikit asal ada. Saya berangkat sekitar 15 tahun lagi. Itu uangnya sebagian sudah saya tabung juga pas daftar haji," jelasnya.
Saat ini, Rani terus berjuang meski tambal ban miliknya kerap sepi imbas pandemi.
Entah berapapun yang ia dapatkan, selalu ia simpan untuk tabungan haji.
Gantikan peran sang suami
Meski bukan pekerjaan ringan dan dominan dilakukan para pria, nyatanya pekerjaan tambal ban juga digeluti oleh wanita.
Rani misalnya. Sedari 25 tahun lalu, ibu beranak tiga ini menghabiskan waktunya di bengkel sederhana yang ia buat di pinggir rel.
Puluhan tahun di sana, nama Rani seolah tersohor di lingkungan sekitar.
Rani menceritakan dulunya ia hanyalah Ibu Rumah Tangga (IRT) biasa, layaknya perempuan usai menikah dan memiliki anak.
Naas, suaminya sakit diabetes dan gerak tubuhnya menjadi terbatas.
Padahal, hanya tambal ban sajalah yang menjadi sumber mata pencaharian keluarganya.
Setelah memutar otak dan mencari solusi bersama, Rani nekat mrnggantikan posisi sang suami dan menjadi tukang tambal ban hingga saat ini.
"Kalau tambal ban sudah ada dari 34 tahun lalu. Memang lokasinya ada di sini. Kemudian bapak sakit gula, saya yang gantikan. Kalau enggak begitu kan anak-anak enggak bisa lanjutin sekolah. Makan pun sulit," jelasnya.
Sejak pukul 07.00 WIB, Rani sudah bergegas menuju bengkel sederhananya menggunakan sepeda motor dari kediamannya di Cipinang.
Sementara suaminya menjaga ketiga buah hati mereka yang saat itu masih duduk dibangku Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
"Mulanya ya enggak enak, dari kecil sampai tua berjuang terus. Tapi lama-lama justru menikmati pekerjaan," sambungnya.
Secara pendapatan, Rani menjelaskan tak banyak perubahan.
Sejak dahulu penghasilan sebagai tukang tambal ban selalu tidak menentu.
Semua tergantung pada rezeki yang ia dapat di hari itu.
Oleh karena itu, ia turut menyediakan jasa isi angin dengan bayaran Rp 1 ribu untuk sepeda dan Rp 2 ribu untuk sepeda motor.
"Kerja kayak gini intinya sama, pendapatan selalu enggak tentu. Makanya kita bisa beli beras dan lauk itu dari jasa isi angin yang biasanya lebih ramai," ungkapnya.
Meski begitu, semangatnya tak pernah padam. Ia tetap menjalani aktivitasnya dengan ikhlas dan berdoa ada rezeki baik datang kepadanya setiap hari.
Mengingat tugasnya sebagai seorang ibu, Rani selalu menutup bengkel sederhananya tiap sore menjelang malam.
Tak ingin mengabaikan sang anak adalah alasan kuat dirinya tak pernah membuka bengkel hingga larut.
Sehingga, berapapun yang ia dapatkan di hari itu, ia selalu mengucap syukur.
"Tapi berapapun hasil yang didapat, pas mau magrib saya tutup. Dari dulu selalu begitu. Jadi saya pulang ngajarin anak-anak. Tapi karena sekarang sudah pada besar dan berumah tangga, pas pulang bisa istirahat sebentar dulu," jelasnya.
Baca juga: Ingin Dapat Cuan? Yuk Cek Daftar Bunga Deposito Tertinggi Setelah BI Pangkas Bunga Acuan
Baca juga: Ramalan Zodiak Jumat, 20 November 2020, Virgo Hati-hati, Aquarius Coba Jadi Lebih Positif
Baca juga: Terancam Hukuman Mati, Begini Cara Keji Pemuda Habisi Sang Kakak Lalu Kubur Jasad di Kontrakan Depok
Otodidak
Meski sudah puluhan tahun menjadi tambal ban, tahukah Anda bila Rani tak pernah belajar perihal tambal ban?.
Yap, Rani menceritakan semua kemampuannya ini ia dapat secara otodidak.
Berawal dari kerap mendampingi sang suami ke bengkel, ia mencoba memahami proses pebambalan ban motor maupun sepeda.
"Ini bisa dibilang modal nekat. Saya bisa juga karena lihat si bapak suka tambal ban aja. Terus saya praktekin," jelasnya.
Selama beberapa pekan ia mengambil alih tambal ban, dirinya sempat didampingi oleh sang suami.
Karena berjalannya tertatih, suaminya hanya duduk di kursi yang ada sambil mengarahkannya.
"Awalnya susah ya. Apalagi pas mencongkel ban luar itu buat ambil ban dalamnya, itu lumayan berat dan kadang keras. Awal-awal tuh merasa lelah banget padahal baru satu motor yang ditambal," ujarnya.
Meski keringatnya bercucuran, semangatnya masih menggebu.
Ketika ingin menyerah, Rani selalu memikirkan nasib keluarganya.
Sebagai penopang, ia harus kuat dan tetap bertahan, sampai akhirnya ia mulai terbiasa.
"Seiring berjalannya waktu akhirnya mulai terbiasa dan justru jadi betah ngelakonin kerjaan begini. Makanya pas pandemi sepi yang tambal ban, malah suka kangen. Kayak bawaannya mau ngotak-ngatik ban aja gitu," tandasnya.
Biasanya, untuk satu harinya Rani bisa mengantongi uang sebesar Rp 50 ribu sampai Rp 100 ribu.
Sayangnya, selama pandemi ia hanya mengantongi Rp 50 ribu sampai Rp 75 ribu perharinya.