Sisi Lain Metropolitan
Kisah Hidup Perempuan di Kampung Pemulung Pondok Labu: Gali Lobang Tutup Lobang
Menjadi pemulung merupakan cara mereka bertahan hidup meski pendapatannya dari hasil mengangkuti sampah yang teronggok di kota tak menentu.
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Erik Sinaga
Hasnah akhirnya memilih menjadi pemulung agar bisa menyambung nyawa keluarganya.
Ia memutuskan bekerja dengan Rubiyo (60), pengepul di Kampung Pemulung Pondok Labu. Hasnah pun dibebaskan biaya kontrak rumah. Ia dipinjami uang dari Rubiyo setiap hari untuk biaya makan.
Timbal baliknya, Hasnah berkewajiban menyetor sampah ke pelapak tersebut.
Hasil dari pungutan sampah yang dijualnya, ia ganti kepada Rubiyo.
"Dulu ngontrak sama Pak Rubiyo. Semenjak suami saya enggak ada, jadi ngikut mulung di tempat Pak Rubiyo. Biaya kontrakan digratiskan," ungkapnya.
Dalam sehari, Hasnah memulung sebanyak dua kali. Ia berangkat membelah permukiman dan jalan raya Ibu Kota mulai pukul 05.30 WIB hingga pukul 07.30 WIB dan pukul 15.30 WIB sampai 17.00 WIB.
Namun, Hasnah jarang menuai untung lebih dari hasil mengais sampah di jalanan.
Malahan, pemasukannya kadang terkuras untuk biaya makan, jajan dan listrik setiap bulan.
Ia pun tak ada pilihan selain berutang.
"Ini aja sudah minjem lagi ke pak Rubiyo," ungkap perempuan yang tinggal di bedeng reot berdinding triplek itu.
Warga kampung pemulung Pondok Labu lainnya, Yani (32) juga senasib dengan Hasnah.
Ia tampak duduk di depan balai pertemuan warga sambil menyantap dengan nikmat semangkuk bakso yang dicampur nasi bersama anaknya.
Yani bersama suaminya sudah empat tahun meninggalkan Klaten, Jawa Tengah demi mengadu nasib menjadi pemulung.
Di kampung pemulung, Yani juga menjadi anak buah Rubiyo.
Ia kerap kali dipinjami uang untuk biaya makan oleh pelapak tersebut.