Sisi Lain Metropolitan
Kisah Hidup Perempuan di Kampung Pemulung Pondok Labu: Gali Lobang Tutup Lobang
Menjadi pemulung merupakan cara mereka bertahan hidup meski pendapatannya dari hasil mengangkuti sampah yang teronggok di kota tak menentu.
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Erik Sinaga
Namun, sistem semacam ini ibarat gali lobang tutup lobang.
Sebab, hasil memulung dalam sebulan saat pandemi terkadang tidak cukup untuk melunasi utangnya.
Yani bahkan kembali berutang untuk biaya hidup selanjutnya setelah baru melunasi utangnya kepada Rubiyo.
"Kemarin udah minjem uang Rp 500 ribu buat makan. Itu pun masih kurang buat makan. Kalau dapatnya Rp 520 ribu sekali nyetor, untung 20 ribu. Nanti minjem uang Rp 500 ribu lagi" ujarnya.
Pelapak Lepas

Bila Hasnah dan Yani bekerja di bawah kendali pengepul, Sinem (55) berbeda.
Sinem merupakan pemulung lepas di kampung pemulung itu. Sebagai gantinya, Ia dan suaminya, Sugeng, menanggung beban biaya kontrakan rumah per bulan.
Ia pun tak bisa berutang kepada pengepul.
Hanya saja, ia beruntung harga sampah per kilo yang disetornya lebih tinggi ketimbang harga per kilo yang dipasang pengepul.
Pasalnya, pengepul memasang tarif rendah per kilo kepada para anak buahnya.
"Kalau ngikut bos, per kilonya dibeli murah, tetapi dia enggak bayar rumah. Kalau saya kan bayar (rumah kontrakan per bulan)," terangnya.
Sinem memulung sekali dalam sehari. Tiap sore, ia berangkat pukul 16.00 WIB sampai jam 00.00 WIB. Biasanya ia memulung di sekitar kawasan Pondok Labu seperti di Jalan Haji Ipin dan Jalan Haji Kamang.
"Biasanya ngambil plastik, kardus, botol. Mencari di warung rokok pinggir jalan," ungkapnya.
Sugeng tak hanya mengais rezeki sebagai pemulung melainkan juga sebagai kuli bangunan. Bila tak ada panggilan menggarap bangunan, Sugeng dan Sinem memulung sembari menarik gerobak di jalan.
Dalam sebulan, mereka berdua menimbang sekali di tempat lain.