Mensyukuri Hidup Ala Tusijan, Pengurus Vihara Gayatri Lebih dari 30 Tahun
Hal inilah yang Tusijan rasakan selama lebih dari 30 tahun, mengabdi menjadi pengurus Vihara Gayatri di kawasan Cilangkap, Tapos, Kota Depok.
Penulis: Dwi Putra Kesuma | Editor: Wahyu Aji
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Dwi Putra Kesuma
TRIBUNJAKARTA.COM, TAPOS - Tusijan (50), tahu betul bagaimana cara mensyukuri dan menikmati hidup.
Tusijan berprinsip, bilamana seseorang menikmati serta mencintai pekerjaannya, maka hal tersebut akan berbalik padanya.
Hal inilah yang Tusijan rasakan selama lebih dari 30 tahun, mengabdi menjadi pengurus Vihara Gayatri di kawasan Cilangkap, Tapos, Kota Depok.
Di tengah lalu lalang umat Tionghoa beribadah pada perayaan Tahun Baru Imlek 2527, Tusijan nampak cekatan melayani pembeli hio di sudut ruang.
Andai kata tak ada masker yang menutupi setengah wajahnya, sudah pasti para pembeli hio ini dapat menyaksikan senyum tulus dari wajahnya tanpa henti.
Ia mengaku, bilamana bukan hari raya, kesehariannya hanya diisi dengan menyapu, mengepel, dan membersihkan Vihara Gayatri.
“Kalau gak ada umat (warga Tionghoa) gini, bersih-bersih saja, nyapu, ngepel, karena Vihara ini kan milik pribadi. Saya jualan hio juga kalau hari biasa,” tuturnya pada TribunJakarta.com, Jumat (12/2/2021).
Tusijan mengaku, perayaan Imlek sebelum adanya pandemi Covid-19, bisa membuatnya terjaga 24 jam tanpa henti, bahkan lebih.
“Drastis banget sih perbedaannya, sebelum pandemi saya buka malam itu nonstop kalau mau Imlek, kalau tadi malam dibatasi pukul 22.00 WIB sudah tutup. Kalau untuk hari ini sendiri ibadahnya dimulai pukul 07.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB,” katanya.
Soal penghasilan, Tusijan mengaku ia diupah per bulan dengan nominal yang tak terlalu besar.
“Saya dibayar bulanan ya. Tapi kan makan disini, tidur disini, memang gaji gak besar. Jadi bisa nabung, kalau pulang ke Jogja saja saya baru ambil gaji,” ucap bapak dua anak ini.
Dari pekerjaannya ini juga, Tusijan mampu menyekolahkan anak pertamanya hingga lulus dari perguruan tinggi, dan kini telah bekerja.
Sementara anak keduanya, masih duduk di bang Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Penghasilannya itu, belum ditambah dengan upah yang ia terima alias uang tips dari para tamu di Vihara.
“Jadi alhamdulillah kalau untuk penghasilan ada saja, misal ada tamu nanti minta diantar ke tujuh sumur, saya kasih tahu cara tata mandinya, terus dikasih uang lumayan Rp 10 ribu-Rp 20 ribu,” ungkapnya.
“Tapi ya alhamdulillah saja saya bersyukur terus dengan apa yang saya jalani. Kerja semua capai, tapi untuk kita menikmati kerja itu suatu hal yang sulit, nah saya menikmatinya,” timpalnya.
Kerap berinteraksi dengan warga Tionghoa, Tusijan yang beragama Muslim pun mengaku bisa berkomunikasi sedikit demi sedikit menggunakan bahasa Tionghoa.
“Bisa ya sedikit-sedikit sih gak banyak. Karena kan ada tuh kalau beli hio kadang memang benar-benar gak bisa bahasa Indonesia, pakai bahas Tionghoa,” imbuhnya.
Terakhir, terkait suka duka, Tusijan mengaku hanya rindu terhadap keluarga dan kampung halamannya yang kadang mampi ke lubuk hatinya dan menjadi duka sesaat.
“Dukanya ya jauh dari keluarga ya, kadang suka tiba-tiba kangen. Tapi ya saya nikmati saja, yang penting saya kerja halal cari nafkah untuk istri dan anak di kampung,” pungkasnya.