Viral Gunung Gede Pangrango Terlihat dari Kemayoran, Pesona Gunung yang Menyihir Soe Hok Gie
Pesona Gunung Gede Pangrango terlihat dari kawasan Kemayoran Jakarta Pusat pada Rabu (17/2/2021) kemarin.
Penulis: Ferdinand Waskita Suryacahya | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Pesona Gunung Gede Pangrango terlihat dari kawasan Kemayoran Jakarta Pusat pada Rabu (17/2/2021) kemarin.
Pesona Gunung Gede Pangrango juga menyihir aktivis Soe Hok Gie.
Soe Hok Gie kerap mendaki gunung tersebut. Bahkan abu jasad Soe Hok Gie di Lembah Mandalawangi Gunung Pangrango pada 17 Desember 1975.
Diketahui foto pemandangan Gunung Gede Pangrango menjadi viral di media sosial.
Foto pemandangan Gunung Gede Pangrango ini diunggah oleh akun @wibisono.ari, dengan caption, "Pemandangan Gunung Gede Pangrango di Kemayoran Jakarta Pusat Pagi ini, menandakan Kualitas udara sedang bersih Jakartans".
Aktivis Soe Hok Gie sempat membuat puisi mengenai keindahan Gunung Pangrango.
"Aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi. Sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada. Hutanmu adalah misteri segala. Cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta," ujar Soe Hok Gie dalam puisinya berjudul "Mandalawangi-Pangrango" yang ditulis tahun 1966.

Keindahan dan kekaguman Soe Hok-Gie tergambarkan lewat puisinya. Dalam puisinya, Soe Hok-Gie tercatat dua kali mengucapkan "Aku cinta padamu, Pangrango".
Dikutip dari Kompas.com, Lembah Mandalawangi di Gunung Pangrango, Jawa Barat memang seakan menyihir para penggemarnya tak terkecuali Soe Hok-Gie.
Soe Hok-Gie kala itu bersama rekan-rekan anggota Mahasiswa Pencinta Alam (Mapala) Prajnaparamitha Fakultas Sastra Universitas Indonesia (FSUI) seringkali menyambangi Lembah Mandalawangi.
Dalam sejarahnya, nama Mapala Prajnaparamitha berubah menjadi Mapala UI.
"Aku datang kembali. Ke dalam ribaanmu, dalam sepimu. Dan dalam dinginmu," ungkap Gie masih dalam puisinya.
Lembah Mandalawangi pun sering disebut oleh anggota Mapala UI sebagai "halaman belakang" untuk bermain.
Mereka, tak jarang untuk pergi ke Mandalawangi untuk sekedar melepas penat dari kehidupan kota, berlatih ilmu mendaki gunung, bahkan merenungi hidup.
"Lembah Mandalawangi memang tempat berlatih dan menempa diri buat Mapala UI, dan tempat bersejarah buat Mapala UI karena Gie dan buat saya pribadi karena dilantik jadi anggota Mapala UI di sana.
Tak cuma latihan, tapi jalan-jalan santai buat keluarga besar Mapala UI juga di sana" kata Ade Wahyudi, mantan Ketua Mapala UI periode 2009-2010.
Dingin dan sepi.
Ya, Lembah Mandalawangi memang tak seramai Lembah Suryakencana di Gunung Gede.
Jarak tempuh ke Lembah Mandalawangi terbilang lebih sulit dan lebih jauh dibandingkan ke Lembah Suryakencana yaitu sekitar 13 kilometer bila ditempuh dari jalur pendakian Cibodas.
Sementara, ke Lembah Suryakencana hanya sekitar 10 kilometer.
Medan pendakian ke Lembah Mandalawangi lebih menantang.
Setelah melewati pertigaan Pos Kandang Badak di ketinggian 2.365 meter di atas permukaan laut (mdpl), medan menuju Gunung Pangrango lebih ekstrem. Jalur pendakian yang menyempit, tak jarang harus sedikit memanjat untuk melewati akar-akar pohon, dan medan yang terjal.
Di ujung "leher gunung" menuju puncak, pendaki dihadapkan dengan beberapa jalur berdinding tanah.
Pijakan kaki juga hanya selebar kaki. Tak jarang, pendaki harus berjalan miring untuk melewati jalur pendakian menuju Puncak Gunung Pangrango.
Nah, Lembah Mandalawangi Lembah Mandalawangi terletak sekitar 100 meter dari Puncak Pangrango yang berada di ketinggian 3.019 meter di atas permukaan laut.
Lembah seluas sekitar 5 hektar ini merupakan satu dari dua padang bunga edelweis (Anaphalis javanica) di areal Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), selain Alun-alun Suryakencana di dekat Puncak Gunung Gede.
Panorama menakjubkan bisa terlihat dari pohon-pohon edelweis umumnya tumbuh sekitar satu meter.
Biasanya, edelweis tumbuh mekar pada bulan Mei - September.
Dari sisi barat bila cerah, pucuk puncak Gunung Salak bisa terlihat.
Lembah Mandalawangi memang bukan tempat untuk berkemah dalam skala besar.
Lembah Suryakencana, jauh lebih luas dari Mandalawangi. Luasnya sekitar 50 hektar.
Tak hanya Mapala UI, organisasi pencinta alam lain di Jakarta dan sekitarnya juga menjadikan Gunung Pangrango untuk menempa ilmu mendaki gunung.
Faktor kemudahan akses merupakan salah satunya. "Karena memang mayoritas/sebagian besar latihan Mapala di mana dan lokasi yang tak jauh dari kampus UI di Jakarta/Depok," kata laki-laki yang akrab disapa Dewe.
Mapala UI pun punya tradisi unik untuk para anggotanya.
Pada perjalanan pelantikan anggota Mapala UI, para calon anggota akan menggunakan baju adat dari beragam daerah di Lembah Mandalawangi.
Mereka akan menyanyikan lagu Indonesia Raya bersama di Mandalawangi.
Mereka juga saling memperkenalkan asal usul baju adat daerah yang dikenakan. Dari era 1970-1990an, Lembah Mandalawangi juga jadi tempat penyelenggaraan Jambore Mapala UI dan dihadiri para pendaki gunung lain.
Mereka biasanya menginap di Lembah Mandalawangi dan melakukan pengibaran bendera Merah Putih pada setiap tanggal 17 Agustus.
"Itu upacara 17 Agustus. Bukan hanya anak-anak Mapala UI, ada anak SMA. Ada mahasiswa-mahasiswa dari fakultas UI lainnya.
Ada yang pakai baju adat nyanyi lagu Indonesia Raya.
Seringnya jambore memang di Suryakencana karena jalurnya lebih gampang seperti Gunung Putri," kisah Wisnubrata, anggota Mapala UI era 1970-an.
Yang tak kalah pentingnya adalah peristiwa tentang penaburan sisa jasad Soe Hok-Gie di Lembah Mandalawangi pada 17 Desember 1975.
Soe Hok-Gie memang sempat dimakamkan di Tanah Abang, Jakarta sebelum dibawa abunya ke Gunung Pangrango. Mantan wartawan Harian Kompas, Jimmy S. Harianto dalam tulisannya di buku Soe Hok-Gie: Sekali Lagi menulis abu jasad Soe Hok-Gie ditabur di Lembah Mandalawangi.
Abu jasad Soe Hok-Gie diantar ke Lembah Mandalawangi oleh 35 orang pendaki yang berasal dari Jakarta, Bogor, dan Bandung termasuk Jimmy.
"Satu-satu, telapak tangan itu diisi dengan abu tulang Soe yang putih kecoklat-coklatan dan abu-abu. Setelah di atasnya ditaburi bunga, abu ditaburkan ke segala penjuru lembah ke arah yang mereka suka," tulis Jimmy dalam artikel berjudul "Hok-gie ke Pangrango untuk Hilang,".
Tak hanya kepentingan petualangan. Lembah Mandalawangi juga pernah digunakan sebagai tempat penelitian medis.
Era 1970an, ada penelitian perubahan tekanan darah oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Lembah Mandalawangi lewat pengambilan sampel darah pendaki Mapala UI.
Saat itu, sampel darah langsung diterbangkan ke Lapangan Borobudur, Jakarta menggunakan helikopter.
"Waktu itu seminggu di Mandalawangi. Dicek darahnya, naik sepeda statis, VO2MAX paru-paru. Di sana dibuat karena ketinggian Mandalawangi," ujar Wisnu yang juga mengikuti penelitian itu.
Kini, Mandalawangi masih tetap menjadi favorit tujuan pendakian bagi sejumlah orang.
Hingga tanggal kelahiran Soe Hok-Gie pada 17 Desember 2018, Mandalawangi tetap memesona bagi penggemarnya.
Penjelasan Fotografer

Ari mengatakan, dia sengaja mengambil foto Jakarta dengan latar belakang Gunung Gede Pangrango.
Menurut dia, terlihatnya gunung tersebut menandakan kualitas udara di Jakarta sedang bersih.
"Sengaja lagi hunting naik motor lewat flyover Kemayoran arah Gunung Sahari. Pas di jembatan, saya berhenti," ujar dia kepada Kompas.com. "Pukul 06.20 WIB sampai jam 07.00 WIB, gunung masih terlihat gagah. Jelang jam 07.30 WIB, gunung mulai hilang pelan-pelan," tambah dia.
Penjelasan Pemandangan Gunung Gede Pangrango
Seperti diberitakan Kompas.com, Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi DKI Jakarta Syaripudin mengatakan penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar ( PSBB) selama pandemi Covid-19 berdampak positif bagi lingkungan.
Syaripudin mengatakan hal itu bisa terlihat dari kualitas udara dan pandangan langit Jakarta yang tidak lagi berkabut karena polusi udara, sehingga membuat pemandangan Gunung Gede Pangrango terlihat dari Kemayoran, Jakarta Pusat.
Lebih lanjut Syaripudin mengatakan bahwa selama PSBB berlangsung, banyak pembatasan aktivitas warga dilakukan, mulai dari tempat kerja, fasilitas sosial dan fasilitas umum hingga transportasi umum.
Menurut Syaripudin, dengan rendahnya mobilitas warga Jakarta yang bepergian ke luar rumah, maka pencemaran udara dari kendaraan umum dan tempat industri menjadi berkurang.
Kadarsah, Koordinator Bidang Analisis Perubahan Iklim Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika ( BMKG) membenarkan bahwa PSBB di masa pandemi virus corona ini berkontribusi terhadap penurunan tingkat polusi udara di ibu kota Jakarta.
"Pertama memang faktor-faktor yang memengaruhi polusi itu jelas, sumber polusinya yaitu aktivitas manusia. Ketika PSBB dilakukan, aktivitas manusia termasuk polusi udara juga berkurang," kata Kadarsah saat dihubungi Kompas.com, Rabu (17/2/2021) saat dimintai tanggapan soal pemandangan Gunung Gede Pangrango dan langit Jakarta yang cerah.
Baca juga: Bedeng di Kampung Akuarium Terbakar, Kerugian Ditaksir Rp 20 Juta
Baca juga: Hujan Deras, Kantor Kelurahan Tegal Parang Jaksel Terendam Banjir
Baca juga: Jahe Ternyata Bisa Redakan Asma Secara Alami, Intip 6 Ramuan Tradisional dengan Khasiat Serupa
Polusi udara Jakarta dicuci hujan
Kendati demikian, pemandangan langit cerah hingga tampak pemandangan Gunung Gede Pangrango ini juga turut diperkuat oleh kondisi curah hujan yang turun di wilayah Jakarta.
Kadarsah mengatakan dari beberapa pengamatan polusi terlihat mengalami penurunan dan saat hujan, Selasa (16/2/2021) malam, polusi yang ada di udara semakin berkurang.
Jadi, ketika hujan yang terjadi mulai Selasa (16/2/2021) mengguyur wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, maka, kata Kadarsah, polusi yang ada di udara semakin berkurang akibat dicuci oleh curah hujan yang lebat.
"Dalam ilmu meteorologi klimatologi, disebut dengan deposisi basah," kata Kadarsah.
Mekanisme wet deposition atau pengendapan basah ini, kata Kadarsah, membersihkan polusi dengan menurunkan polutan-polutan yang ada di udara, dicuci atau dibersihkan dengan curah hujan yang tinggi.
"Semakin tinggi curah hujannya, maka polutan-polutan di atmosfer atau udara akan mengendap," jelas dia.
Sederhananya, polutan yang melayang di udara dijatuhkan oleh butiran-butiran hujan. Semakin lebat hujan yang turun, maka semakin banyak polutan di udara yang dijatuhkan atau dibersihkan.
"Ini fenomena yang biasa dan sering terjadi," imbuh Kadarsah.
Berdasarkan data BMKG, Peta Observasi Curah Hujan Kemarin, 16 Februari 2021 mulai pukul 07.00 WIB hingga 17 Februari 2021, pukul 07.00 WIB, menunjukkan curah hujan tinggi di sejumlah wilayah di Jabodetabek.
Kadarsah menjelaskan terlihat curah hujan di Tangerang lebat, juga di Kelapa Gading dan Kedoya, ditunjukkan dengan warna merah.
"Tangerang dan Kelapa Gading hujan sangat lebat, sebab lebih dari 100 mm/hari," imbuh Kadarsah.
Bahkan, curah hujan yang terjadi sebelumnya juga menunjukkan angka yang cukup tinggi.
Sehingga semakin memperkuat proses wet deposition yakni yang membersihkan polusi udara dan membuat langit Jakarta sangat cerah pada Rabu (17/2/2021) pagi.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenang Gunung Pangrango, Tempat Favorit Soe Hok-Gie Naik Gunung", .
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gunung Gede Pangrango Terlihat dari Kemayoran, Kualitas Udara di Jakarta Masuk Kategori Baik",
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Gunung Gede Terlihat dari Kemayoran, Benarkah PSBB Bersihkan Polusi Jakarta?",