Sosok Artidjo Alkostar, Algojo Koruptor yang Tangani Kasus Joko Tjandra dan Tolak PK Ahok
Berduka, Mantan Hakim Agung dan Anggota Dewan Pengawas KPK Artidjo Alkostar meninggal dunia.
Penulis: Ferdinand Waskita Suryacahya | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Berduka, Mantan Hakim Agung dan Anggota Dewan Pengawas KPK Artidjo Alkostar meninggal dunia.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan Artidjo Alkostar meninggal dunia karena penyakit jantung dan paru-paru.
Sepak terjang Artidjo Alkostar sangat panjang dalam dunia hukum di Indonesia.
Ia dikenal sangat ditakuti koruptor dan menangani kasus-kasus besar yang menyita perhatian publik.
Mahfud MD menyebut Artidjo merupakan hakim yang begitu ditakuti para koruptor.
"Artidjo Alkostar adl hakim agung yg dijuluki algojo oleh para koruptor. Dia tak ragu menjatuhkan hukuman berat kpd para koruptor tanpa peduli pd peta kekuatan dan back up politik. Dulu almrhm adl dosen di Fak. Hukum UII Yogya yg jg jd pengacara. Selama jd pengacara dikenal lurus," tulis Mahfud MD lewat akun twitternya.
Berikut sosok Artidjo Alkostar yang dirangkum dari berbagai sumber serta sepak terjangnya menangani kasus hukum.
Ditakuti Koruptor

Artidjo adalah salah satu sosok hakim yang paling ditakuti oleh koruptor kala mengajukan kasasi di MA.
Saat palu hakim di tangan Artidjo, alih-alih para koruptor berharap mendapatkan keringanan hukuman, justru diganjar dengan vonis yang lebih berat.
Dilansir dari Indonesia.go.id, Artidjo Alkostar mengawali karirnya sebagai pembela hukum di LBH Yogyakarta.
Pria kelahiran Situbondo, 22 Mei 1948 ini pernah menjadi hakim agung selama 18 tahun lebih.
Sebelum menjadi Hakim Agung pada 2000, Artidjo berkarier sebagai advokat selama 28 tahun.
Saat menjabat sebagai hakim agung, 19.708 berkas perkara pernah ia tangani. Atau rata-rata setiap tahunnya dia menangani 1.095 perkara.
Selama menjabat, Artidjo tak pernah mengambil cuti dan selalu menolak ketika diajak ke luar negeri. Alasannya, hal tersebut bisa berimplikasi besar terhadap tugas-tugasnya.
Tangani Kasus Soeharto dan Joko Tjandra
Kiprah Artidjo sebagai hakim agung semakin dikenal, karena dia berani berbeda pendapat dengan majelis hakim yang lain pada perkara mantan Presiden Soeharto dan skandal Bank Bali dengan terdakwa Joko Sugiarto Tjandra.
Pada kasus Joko Tjandra, ia menyimpulkan terdakwa bersalah dan dihukum 20 tahun.
Dua hakim agung lain membebaskannya.
Putusan Joko Tjandra itu memperkenalkan dissenting opinion. Ini membuat pendapat Artidjo diketahui publik.
"Ya, dengan begitu orang tidak selalu menganggap saya sebagai pecundang, karena, paling tidak pendapat saya ada yang mendukung. Mosok, dari dulu jadi pecundang terus. Sebagai pengacara, saya sering kalah, karena tidak mau menyuap hakim dan jaksa," ungkap alumnus maupun dosen Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta tersebut.
Tolak Kasus PK Ahok

Dikutip dari Kompas.com, Mahkamah Agung menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, Senin (26/3/2018).
Juru Bicara MA Suhadi mengatakan, majelis hakim yang dipimpin Hakim Agung Artidjo Alkostar menolak seluruh alasan yang diajukan dalam PK Ahok.
"PK Ahok tidak dikabulkan majelis hakim. Alasannya (mengajukan PK) tidak dikabulkan majelis hakim. Pertimbangan belum bisa saya beri tahu," ujar Suhadi saat dikonfirmasi Kompas.com, Senin sore.
Sebelumnya, dalam program AIMAN yang tayang di KompasTV, Senin (5/3/2018), Suhadi mengatakan bahwa upaya pengajuan PK Ahok tersebut merupakan yang pertama dan terakhir bagi Ahok.
"Kalau melihat apa yang sudah digariskan Mahkamah Agung itu adalah final, satu kali. Hanya satu kali dan tidak boleh ada PK lain," kata Suhadi. Hal ini seperti yang tertuang dalam surat edaran (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pembatasan PK, yang pada intinya tidak memperbolehkan peninjauan kembali lebih dari sekali.
Suhadi mengatakan, alasan Ahok tidak lagi bisa mengajukan PK karena MA melihat kondisi yang ada, manajemen perkara ada UU lain yang menentukan satu kali.
"UU MA, UU Kekuasaan Kehakiman, putusan PK tidak boleh dilakukan PK," ujarnya.
Sejumlah terdakwa juga tercatat pernah mengajukan PK lebih dari sekali, seperti terpidana mati kasus narkoba Zainal Abidin.
Suhadi menjelaskan, PK lebih dari sekali ini diupayakan terpidana mati lantaran putusan hukuman mati tidak kunjung dieksekusi kejaksaan.
PK juga menjadi cara mengulur-ulur hukuman.
"Kematian tidak bisa ditukar dengan apa pun, jadi orang berusaha menghindari," katanya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama mengajukan PK atas vonis perkaranya ke MA pada 2 Februari 2018.
PK tersebut terkait vonis 2 tahun penjara dalam kasus penondaan agama yang dijatuhkan majelis hakim pada Mei 2017.
Sosok Bersih

Artidjo dikenal sebagai sosok yang bersih dan ditakuti oleh koruptor saat dirinya masih bertugas di Mahkamah Agung (MA).
Artidjo mengawali karirnya sebagai advokat. Setelah menjadi advokat selama 28 tahun, Artidjo menjabat sebagai hakim agung terhitung sejak tahun 2000.
"Tercebur di Dunia Hukum" Dikutip dari pemberitaan Kompas.com, September 2019, tertulis bahwa Artidjo muda besar di Situbondo.
Waktu SMA dia mengambil jurusan ilmu alam (sekarang IPA). Lulus SMA, pria kelahiran Situbondo, 22 Mei 1949 ini ingin mendaftar di Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
"Saya menitipkan untuk didaftarkan ke teman saya, Mas Said, dia orang UII (Universitas Islam Indonesia)," kata Hakim Agung ini di acara Satu Meja yang ditayangkan Kompas TV, Senin (12/9/2016).
Saat itu, Said mengabarkan bahwa pendaftaran ke UGM sudah ditutup. "Saya terlambat," katanya kepada pemandu acara Satu Meja, Budiman Tanuredjo.
Koleganya mengusulkan agar Artidjo mendaftar ke Fakultas Hukum UII sambil menunggu pembukaan pendaftaran UGM tahun depan.
Sekalian juga untuk menyesuaikan dengan kehidupan Kota Yogyakarta.
"Saya setuju. Dari pada di Situbondo saya bengong," ujar mantan Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung ini.
Setelah didaftarkan dan lulus, Artidjo ternyata menikmati kuliah di fakultas hukum.
Apalagi setelah mengikuti kegiatan organisasi kemahasiswaan. Dia malah melupakan cita-cita masuk Fakultas Pertanian UGM.
"Saya enjoy dan malah tak berminat lagi ke fakultas pertanian," tuturnya. Budiman lantas bertanya, menyesalkah Anda? "Enggak lah, karena di bidang hukum saya bisa membantu banyak orang," jawab Artidjo.
Bekerja Ikhlas
Sepanjang menjadi hakim agung, Artidjo menyelesaikan berkas di MA sebanyak 19.708 perkara. Bila dirata-rata selama 18 tahun, Artidjo menyelesaikan 1.095 perkara setiap tahun.
Angka yang mencengangkan. Namun, pria 70 tahun kelahiran Situbondo, Jawa Timur, itu mengungkapkan resep dari capaian luar biasa itu, yakni kerja ikhlas.
Diakuinya, bekerja ikhlas bukanlah hal mudah. Namun, baginya upaya itu harus dilakukan sebab keikhlasan adalah nutrisi batin.
"Saya bisa bekerja sampai larut malam, pulang pun membawa berkas, besok sudah habis, tetapi kalau kita tidak ihklas itu energi kita menjadi racun dalam tubuh, menjadi penyakit," ucapnya, dikutip dari pemberitaan Kompas.com Mei 2018.
Ia bersyukur tak banyak penyakit yang hinggap di tubuh kurusnya meski kerap bekerja ekstra keras.
Sambil berseloroh, Artidjo bilang penyakit pun tahu diri tak mau hinggap di tubuhnya.
Selama 18 tahun itu pula, Artidjo mengaku tak pernah mengambil cuti sebagai hakim agung.
Ia juga selalu menolak bila diajak ke luar negeri karena akan ada implikasi besar terhadap tugasnya.
"Saya tidak pernah mau (diajak ke luar negeri), konsekuensinya nanti karena tiap hari itu ada penetapan tahanan itu seluruh Indonesia, itu tidak bisa ditinggal karena nanti bisa itu keluar demi hukum. Nanti yang disalahkan saya," kata dia sembari tertawa.
Kini pria tersebut telah pergi untuk selama-lamanya.
Artidjo adalah hakim agung yang disegani para terdakwa kasus korupsi.
Dia kerap menambah hukuman bagi pelaku kejahatan yang masuk kategori luar biasa itu, di tingkat kasasi.
Sejumlah nama yang pernah diganjar vonis lebih berat oleh Artidjo antara lain, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Artidjo kemudian pensiun sebagai hakim agung pada 22 Mei 2018. Selama 18 tahun mengabdi di MA, ia telah menyelesaikan sebanyak 19.708 perkara. Jika dirata-rata selama masa pengabdian,
Artidjo menangani 1.095 perkara setiap tahunnya. Kemudian, pada Desember 2019, Artidjo resmi dilantik menjadi anggota Dewas KPK periode 2019-2023.
Baca juga: Kunjungi Apartemen Kediaman Artidjo Alkostar, Ketua KPK Firli Bahuri Sampaikan Belasungkawa
Baca juga: Politisi Senior Partai Demokrat Dipecat karena Dorong KLB: Ini Menunjukkan Wajah SBY yang Sebenarnya
Baca juga: Buka Front dengan Moeldoko, SBY Malah Diserang Balik Marzuki Alie dan Darmizal
Artidjo dilantik oleh Presiden Joko Widodo bersama empat anggota Dewas KPK lainnya di Istana Negara, Jakarta.
Artidjo dilantik oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Jumat (20/12/2019) lalu.
Lima anggota Dewan Pengawas KPK yang dilantik presiden dikenal memiliki integritas yang baik.
Artidjo pensiun dari Mahkamah Agung (MA) pada 22 Mei 2018.
Semasa masih aktif menjadi Hakim Agung, Artidjo dikenal ditakuti oleh para koruptor.
Artidjo kerap memberikan hukuman tambahan pada koruptor yang mengajukan kasasi ke MA.
Karena hal itu, banyak koruptor yang kemudian mencabut berkas di perkara di MA saat mengetahui Artidjo yang bakal menangani kasusnya.
Dikenal garang sebagai koruptor, Artidjo juga merupakan sosok hakim yang sederhana. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tutup Usia, Ini Profil Artidjo Alkostar, Mantan Hakim Agung yang Ditakuti Koruptor",
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Setelah PK Ditolak MA, Ahok Tak Bisa Mengajukan Lagi",
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengenang Artidjo Alkostar, Cerita soal Salah Jurusan dan Tangani 19.708 Perkara di MA",
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tutup Usia, Ini Profil Artidjo Alkostar, Mantan Hakim Agung yang Ditakuti Koruptor",