Kabar Artis
Tanggapi Video Diduga Nadya Arifta Jalani Bridal Shower, Kaesang Pangarep Ketus Beri Jawaban Ini
Di media sosial beredar sebuah video yang merekam keseruan Nadya Arifta dengan sejumlah temannya.
Penulis: Rr Dewi Kartika H | Editor: Siti Nawiroh
Pertama adalah kebebasan (disenggaged oriented). Untuk memenuhi hal ini, ghosting menjadi dilakukan karena bila pemutusan hubungan dilakukan secara langsung, berhadapan tatap muka akan lebih dramatis dan memerlukan upaya yang lebih kuat.
Baca juga: Lihat Ramalan Zodiak Cinta di Awal Pekan Ini: Aries Diminta Tenang, Virgo Ekspresikan Perasaan
“Pelaku ghosting khawatir akan menyakiti hati dari pihak yang dilepaskan,” ujarnya.
Faktor kedua adalah kondisi korban (recipient oriented). Devie berujar bahwa pelaku merasa pihak yang ingin dilepaskan telah melakukan berbagai hal yang dinilai tidak memberikan kenyamanan terhadap si pelaku sendiri.
Berbagai hal yang dinilai tidak memberikan kenyamanan tersebut di antaranya adalah berbohong, selingkuh (menjalin hubungan dengan orang lain), atau memiliki kualitas diri yang negatif.
Selanjutnya faktor ketiga adalah kualitas hubungan, yang mana pelaku ghosting menganggap hubungan yang tengah dijalaninya tidak serius hingga tak memiliki masa depan.
Baca juga: Kuasa Hukum Minta Rizieq Shihab Dihadirkan Langsung dalam Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Timur
“Sehingga pelaku merasa ghosting adalah jalan keluar terbaik dan tidak memerlukan penjelasan apapun,” ucapnya.
Faktor yang terakhir adalah putus asa yang dialami pelaku ghosting, sehingga ia merasa tidak ada jalan keluar lain untuk menghentikan hubungan, dan memilih ghosting sebagai jalan keluar.
Terakhir, Devie berujar bahwa Sherry Turkle yang merupakan Guru Besar Media dari MIT (Massachusetts Institute of Technology), menyampaikan bahwa ghosting akan berdampak pada hilangnya rasa empati terhadap orang lain.
Baca juga: Dian Assafri Sebut KNPI Berencana Gelar Kongres Luar Biasa di Solo
“Dia menyebutnya sebagai kekejaman emosional (emotional cruelty). Bagi korban ghosting, perilaku ini membuat mereka merasa sangat tidak berdaya, karena mereka tidak memiliki kesempatan untuk didengar,” imbuhnya.
“Hal ini dapat mendorong perasaan kesedihan, kesendirian dan kecemasan. Mengingat, manusia secara alamiah memiliki panggilan untuk didengarkan. Didiamkan (ghosting) secara sistematis, tentu menjadi luka sosial yang kuat,” pungkasnya.