Kisah Dokter Hastry Takut Awal Masuk Tim Eksekusi Mati di Nusakambangan: Yang Tak Tampak Ikut Nonton
Ahli forensik dr. Sumy Hastry Purwanti atau akrab disapa dr Hastry takut dan khawatir saat pertama kali masuk tim eksekusi mati di Nusakambangan.
Penulis: Ferdinand Waskita Suryacahya | Editor: Ferdinand Waskita Suryacahya
TRIBUNJAKARTA.COM - Ahli forensik dr. Sumy Hastry Purwanti atau akrab disapa dr Hastry takut dan khawatir saat pertama kali masuk tim eksekusi mati di Nusakambangan.
Cerita mengenai kejadian Supranatural pun ia sampaikan kepada Denny Darko melalui akun Youtubenya.
Awal Denny Darko bertanya kepada dr Hastry mengenai kejadian supranatural saat menentukan titik tembak eksekusi mati.
"Banyak, sering. Pertama dulu benar-benar takut juga khawatir, saya perempuan sisanya brimob melakukan detik-detik penembakan saat malam di Nusakambangan," kata dokter Hastry.
dr Hastry pertama kali masuk tim eksekusi mati pelaku Bom Bali I pada tahun 2008.
dr Hastry menuturkan menjelang detik-detik eksekusi mati suasana Nusakambangan hening tanpa terdengar suara apapun.
Namun, ia merasa yang melihat peristiwa tersebut ramai.
dr Hastry juga sempat melihat hasil kamera yang ternyata dipenuhi bayangan putih di foto.
"Perasaan teman-teman, yang tak tampak ikut nonton," kata dokter Hastry.
Kejadian janggal lain yang dialami ketika dr Hastry tidak digigit nyamuk. Padahal, rekan-rekan tim lain digigit nyamuk.
Adapula, tim eksekusi mati yang melihat penampakan makhluk halus Sundel Bolong.
"Sebelum penembakan H-1, banyak yang loncat ke air tapi tak tampak. Lalu suara anjing melolong," tuturnya.
Saat eksekusi pelaku Bom Bali I, dokter Hastry menceritakan dirinya bermalam di tenda. Saat itu, ia tinggal selama seminggu dan tak bisa kontak keluar pulau.
"Bisa di waktu-waktu tertentu," ujarnya.
Selain itu, dokter Hastry menceritakan pihaknya tetap menghargai terpidana yang dieksekusi mati dengan mempersiapkan pemulasaraan.
"Kita ambil pelurunya, kalau ke luar negeri, kita gunakan pengawetan jenazah yang bagus. Yang Muslim kita salatkan juga dan dikafani. Yang tidak diterima keluarga ada, ya dimakamkan atau mungkin masyarakat yang enggak mau terima," imbuhnya.
Saat Ikuti Eksekusi Mati Bom Bali I

Berdegup jantung Sumy Hastry Purwanti.
Dikutip dari Tribunnews.com, dr Hastry tak pernah membayangkan sedekat ini dengan Imam Samudra, Amrozi dan Mukhlas.
Ketiganya orang paling bertanggung jawab ketika bom meledak di Paddy's Pub dan Sari Club di Jalan Legian, Kuta Bali pada 12 Oktober 2002. Di malam yang sama bom ketiga meledak dan menggoncang tak jauh dari Kantor Konsulat Jenderal Amerika Serikat di Bali.
Tragedi malam itu dikenal dengan Bom Bali I. Bom meledak di tengah wisatawan yang berjingkrak sambil menikmati musik, menenggak bir, bercengkerama satu sama lain.
Bom berdaya ledak tinggi yang diotaki ketiganya menewaskan 202 orang terdiri dari 164 orang asing dan 38 orang Indonesia. Korban terluka mencapai 209 orang.
Berselang enam tahun, Sumy berhadapan dengan ketiganya di Nusakambangan pada Sabtu (8/11/2016) malam, sebelum tubuh mereka rubuh dieksekusi regu tembak.
"Saya yang pasang tanda di dada terpidana mati itu. Saya cek dulu letak jantungnya lalu pasang titik bidik. Awalnya gemetar juga, tapi saya harus kuat," cerita dr Hastry soal kejadian malam itu kepada Tribun Jateng saat ditemui di kantornya di Rumah Sakit Bhayangkara Polda Jateng, Selasa (30/8/2016).
Baca juga: Vaksinasi Pegawai Pusat Perbelanjaan Kota Depok, Warga Diharapkan Tidak Lagi Takut Datang ke Mal
Baca juga: Ahli Forensik dr Hastry Sempat Ketakutan Lihat Penampakan di TPU Jaksel: Bikin Bulu Kuduk Merinding
Baca juga: Cerita Dokter Forensik di TKP Pembunuhan Ki Anom Subekti, dr Hastry: Sekelibat Lewat Depan Saya
Ia mengenang saat itu pangkatnya masih komisaris polisi dan sudah bertugas di Bidang Kedokteran dan Kepolisian Polda Jateng.
"Biasanya menolong orang sakit yang mau hidup, ini mengerjakan orang hidup yang akan ditembak mati. Tapi itulah tugas dan pengabdian kepada negara,"
dr Hatry juga terlibat dalam eksekusi terpidana mati Jilid II, dua di antaranya duo Bali Nine: Myuran Sukumaran dan Andrew Chan. Bali Nine adalah istilah tentang sembilan orang warga negara Australia yang ditangkap polisi pada 17 April 2005 di Bali. Mereks berusaha menyelundupkan 8,2 kilogram heroin dari Indonesia ke Australia.
Polisi menyebut Andrew Chan sebagai "godfather" kelompok Bali Nine yang terdiri dari Myuran Sukumaran, Si Yi Chen, Michael Czugaj, Renae Lawrence, Tach Duc Thanh Nguyen, Matthew Norman, Scott Rush, dan Martin Stephens. Hanya Andrew Chan dan Myuran Sukumaran yang dieksekusi regu tembak.
Terpidana mati Jilid II yang diekesekusi selain duo Bali Nine di antaranya Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Rodrigo Gularte (Brasil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), dan Okwudili Oyatanze (Nigeria).
Pada eksekusi mati Jilid III, Sumy membantu divisi forensik. Kala itu sudah ada anggota wanita polisi lain yang lebih banyak terlibat. Mereka yang dieksekusi adalah Humphrey Ejike alias Doctor (Nigeria), Seck Osmane (Senegal), Michael Titus Igweh (Nigeria), dan Freddy Budiman (Indonesia).
Setelah kematian Freddy, muncul kabar tak sedap ada oknum petinggi BNN, Polri dan TNI, menerima uang haram Freddy hasil penjualan narkotika. Nyanyian Freddy menjadi perhatian Presiden Jokowi dan meminta semua lembaga terkait untuk mengusut siapa orang yang dimaksud dalam nyanyian Freddy lewat tulisan Koordinator KontraS Haris Azhar.
Sumy kini berpangkat AKBP. Kepala Sub Bidang Kedokteran Kepolisian Polda Jateng itu semringah selama obrolan.
Ia satu-satunya wanita polisi yang berhasil menggondol gelar doktor forensik di Asia. Gelar yang cukup prestisus karena tak semua polisi mau ambil.
Bukan main senangnya ibu dua anak yang akrab disapa Hastry ini bakal diwisuda untuk meraih gelar doktor forensik pada 24 September 2016, terpaut 23 hari setelah HUT ke-67 Polwan yang jatuh tiap 1 September. Wisudanya tentu sebagai kado terindah untuk institusinya.
Kebahagiaan bertambah, Hastry tak lama lagi menelurkan buku keempat berjudul, 'Kekerasan Perempuan dan Anak Dari Segi Ilmu Kedokteran Forensik.'
"Ini sedang menyusun buku keempat. Jadi ultah Polwan kali ini berasa spesial," beber Hastry.
Wanita kelahiran Jakarta, 23 Agustus 1970 ini, memiliki perhatian begitu besar terhadap perempuan dan anak korban kekerasan seksual. Kasus ini memiliki tingkat kesulitan untuk dipecahkan.
"Forensik itu tidak hanya memeriksa orang mati, tapi korban yang hidup juga," terang dia.
Kesulitan dalam kasus ini terutama keluarga dan korban kekerasan seksual, tidak segera melapor ke polisi. Sekali pun kasus itu sudah dilaporkan, korban enggan bercerita lepas kepada penyidik atas apa yang dialaminya.
Perannya di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak dalam kasus ini benar-benar diuji. Ia dan penyidik harus berlomba dengan waktu untuk membuat korban berbicara dan menceritakan rincian kejadian.
Semakin lama dibiarkan, bekas luka dan jejak kekerasan akan menghilang. Pada ujungnya, penyidik jatuh pada kesimpulan bekas luka di tubuh korban akibat benda tumpul, begitu kata dia.
Beberapa tahun lalu, ia pernah menangani kasus pembunuhan bocah perempuan usia enam tahun di Wonosobo. Leher korban dijerat lalu dinodai hingga meninggal oleh kakak tirinya.
Pelaku menyembunyikan jenazah korban lima hari di atas langit-langit rumah. Keluarga kebingungan mencari korban sampai akhirnya tercium bau busuk. Korban pun ditemukan.
"Kondisi di Wonosobo dingin, jenazah bisa dibilang masih bagus. Sehingga pemeriksaan jenazah korban tidak ada kendala. Cuaca juga mempengaruhi kondisi jenazah," ia menjelaskan.
Tak hanya kasus-kasus di daerah pelosok, kasus asusila yang melibatkan pesohor seperti artis dan pejabat pernah Hastry tangani. Soal yang satu ini susah-susah gampang, Hastry harus tebal telinga dan banyak bersabar karena pesohor dan pejabat merasa besar hati.
"Saya pernah dikata-katai, tapi itulah risikonya," Hastry mengenang.
Hastry harus mau berbagi dengan penyidik di satu ruangan menonton rekaman video mesum kasus asusila.
Hanya dengan menontonlah ia bisa tahu detail perbuatan untuk mencari seseorang diduga kuat pelakunya.
Hastry berharap keluarga, perempuan dan anak korban kekerasan seksual segera melapor jika mengalami kekerasan.
"Jangan ulur waktu, agar bisa segera diungkap," pesan dia.
Tonton Videonya
Sosok dr Hastry

Kombes Pol Sumy Hastry Purwanti merupakan ahli forensik yang cukup diperhitungkan dunia.
Laman Divisi Humas Polri juga menyebut Kombes Pol Sumy Hastry Purwanti merupakan Polwan Ahli Forensik pertama di Asia.
Selain itu, Kombes Sumy disebut berpengalaman mengidentifikasi korban, seperti korban pembunuhan, mutilasi, bom hingga jatuhnya pesawat.
Tangani Berbagai Kasus
Kepala Instalasi Forensik RS Polri Kramat Jati Kombes Sumy Hastry Purwanti saat memberi keterangan di Jakarta Timur, Kamis (6/2/2020) (TRIBUNJAKARTA.COM/BIMA PUTRA)
Kombes Pol Sumy Hastri Purwanti kerap menangani sejumlah kasus besar.
Dikutip dari Kompas.com, berbagai kasus besar pernah ditangani sejak ia masih menempuh pendidikan sebagai dokter spesialis forensik di Universitas Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
Kasus-kasus itu antara lain Bom Bali I (2002), bom Hotel JW Marriott (2003), bom di Kedutaan Besar Australia, bencana alam tsunami di Nanggroe Aceh Darussalam (2004), kecelakaan pesawat Mandala di Medan (2005), Bom Bali II (2005), serta kecelakaan pesawat Sukhoi (2012).
Kepiawaiannya dalam mengungkap identitas jenazah yang sulit teridentifikasi pun membuat namanya cukup diperhitungkan di dunia.
Bahkan, ketika peristiwa kecelakaan pesawat Malaysia Airlines MH17 terjadi di Ukraina beberapa waktu lalu, dia sempat dipanggil ke Belanda untuk membantu proses identifikasi tersebut.
"Enggak diseganilah. Kebetulan kan kerja di kepolisian dan memiliki keahlian. Jadinya sering diminta bantuan kalau ada kejadian di dalam dan luar negeri," katanya.
Hastry mengungkapkan, menjadi dokter forensik merupakan profesi yang sangat menantang.
Layaknya seorang polisi yang mengungkap sebuah kasus kejahatan, tak jarang dokter forensik juga harus dihadapkan pada realita bahwa jenazah yang dihadapinya tidak utuh.
Dengan demikian, mereka harus menyusun satu per satu bagian tubuh jenazah dan mencocokkannya dengan data antemortem dan postmortem sebelum akhirnya menentukan identitas jenazah.
"Saya ini enggak mikir mau perempuan atau laki-laki. Begitu kali pertama kerja dan ke TKP (tempat kejadian perkara) lalu kasus terungkap, itu senang banget," ujarnya.
Menurut Hastry, ada beban mental yang dihadapi oleh seorang dokter forensik.
Ia bercerita, ketika sebuah kecelakaan atau bencana besar terjadi, keluarga korban pasti akan menunggu kepastian nasib keluarganya yang menjadi korban dengan harap-harap cemas.
Setidaknya, jika memang keluarga mereka meninggal dunia, jenazah dapat teridentifikasi dan segera dikembalikan ke keluarga untuk dimakamkan.
"Kasihan kalau tidak teridentifikasi, ini jadi beban juga buat kami. Kita berharap proses identifikasi bisa cepat selesai dan segera disemayamkan," katanya.