17 Agustus 2022
Arti Bela Negara Bagi Kong Usman, Pejuang Kemerdekaan Usia 100 Tahun yang Pilih Hidup Sebagai Sipil
Muhammad Usman, usianya diperkirakan lebih dari 100 tahun. Dia merupakan saksi hidup perjuangan Laskar Rakyat Bekasi melawan tentaran sekutu.
Penulis: Yusuf Bachtiar | Editor: Jaisy Rahman Tohir
Laporan wartawan TribunJakarta.com, Yusuf Bachtiar
TRIBUNJAKARTA.COM, MEDAN SATRIA - Penglihatannya tak lagi tajam, ia hanya bisa duduk di kursi roda sambil menghisap rokok klobot yang menjadi kegemarannya.
Muhammad Usman, usianya diperkirakan lebih dari 100 tahun. Dia merupakan saksi hidup perjuangan Laskar Rakyat Bekasi melawan tentaran sekutu.
Kong Usman biasa disapa merupakan bagian dari pejuang yang tetap memilih sebagai sipil, dia menolak diangkat menjadi tentara saat Republik Indonesia mendapat kemerdekaan penuh.
Hari-hari Kong Usman setelah peperangan diisi dengan berdagang, hingga usianya yang sangat senja namanya tak pernah tercatat dalam buku sejarah.
Kini di usia yang sudah menyentuh satu abad, Kong Usman tinggal bersama anak-anaknya di Kampung Pintu Air, Harapan Mulya, Medan Satria, Kota Bekasi.
Baca juga: Cerita Heroik Engkong Usman, Laskar Rakyat Bekasi yang Perjuangkan Kemerdekaan Melawan Belanda
Alwi salah satu anak Kong Usman mengatakan, ayahnya sejak dulu memang sering bercerita tentang pengalaman perang yang dia lakoni.
"Dari dulu sering cerita ke anak-anaknya, pengalaman dia waktu perang, beliau ini anak buahnya pak Kiyai Noer Ali," kata Alwi.
Usman memiliki banyak keturunan, dari istrinya pertama dia mendapatkan 11 anak, lalu dari istri kedua ada dua anak dan istri keempat sembilan anak.
Menurut Alwi, ayahnya enggan diangkat menjadi tentara dan pensiun sebagai veteran perang lantaran alasan fudamental.
Usman merupakan Laskar Rakyat Hizbullah, sebuah tentara sipil yang dikomandoi Pahlawan Nasional KH Noer Ali di era perjuangan kemerdekaan.

Doktrin bela negara secara tulus benar-benar tercermin dari sikap Usman, alasannya perang melawan sekutu murni memperjuangkan kemerdekaan.
"Dia enggak mau untuk di pensiunkan, karena begitu kuatnya kata-kata pak kiyai bahwa Hizbullah itu hanya membela bangsa dan negara serta agama doang, kalau dibayarkan berarti lunas dan tidak ada jasa," ucap Alwi.
Cerita Perang Kong Usman
Dijumpai di kediamannya Jalan Pangeran Jayakarta, Harapan Mulya, Kecamatan Medan Satria Kota, ia tampak sehat di usianya yang sangat senja, Rabu (17/8/2022).
Engkong Usman saat ini hanya bisa duduk di atas kursi roda, pendengaran dan penglihatannya juga tak lagi mampu bekerja dengan baik.
Tiap kali berinteraksi, lawan bicara harus mendekatkan mulut ke arah telinga Engkong Usman agar ia dapat mendengar pertanyaan.
Namun, ingatan dan bicaranya tentang pengalaman perang kemerdekaan tak pernah lapuk di makan usia.
Suaranya masih terdengar jelas, menceritkan momen heroik perang melawan tentara sekutu di kawasan Bekasi kala itu.
"Guru Engkong itu Kiyai Noer Ali," kata Usman memulai cerita.
Usman merupakan murid pahlawan nasional asal Bekasi KH Noer Ali, dia awalnya merupakan santri yang belajar agama oleh sang guru.
Panggilan jihad melawan tentara sekutu membuat dia tergugah, gurunya merupakan Komandan Hizbullah.

Engkong Usman turun ke medan perang bersama KH Noer Ali dan Laskar Rakyat, berjuang demi Republik Indonesia.
"Jepang udah nyerah, Belanda masuk, engkong dulu dilatih sama Jepang Seinendan," jelas dia.
Sambil menghisap rokok klobot, mulutnya tak pernah berhenti menceritakan aksi heroik Laskar Rakyat Bekasi melawan tentara Sekutu.
Salah satunya pengalaman perang di Pondok Ungu atau yang biasa disebut Perang Sasak Kapuk, korban jiwa berjatuhan di pertempuran tersebut.
Dia mengingat terdapat sekelompok laskar terkepung pasukan sekutu, tidak ada jalan keluar kala itu.

Usman dengan semangat perjuangannya tetap tidak gentar, dia berteriak agar laskar tetap berjuang melawan apapun risikonya.
"Letter O (terkepung), dari pada ditembakin Belanda mendingan gua yang nembakin elu, kata gua," cerita Usman saat menggambarkan situasi perang.
Usman memilih tetap menjadi sipil saat situasi negara mulai kondusif, dia menolak diangkat menjadi tentara.
Hal tersebut yang membuat hari tuanya seperti saat ini, dia bukan termasuk veteran perang yang dicatat negara.
Usman mengaku, saat itu dia menolak diangkat menjadi tentara atau veteran perang lantaran alasan tertentu.
Ia mengisi hari-hari pasca-perang dengan menjadi pedagang hingga memasuki usia senja, hidup sebagai seorang sipil bersama istri dan anak-anaknya.