Ajudan Jenderal Ferdy Sambo Ditembak
Polri Didesak Tak Istimewakan 63 Polisi Geng Ferdy Sambo, Pakar Hukum: Harus Diumumkan dan Dipidana
Polri didesak tak istimewakan sesamanya dalam proses penegakan hukum. Dia meminta agar identitas 63 polisi yang telah melanggar etik maupun pidana.
TRIBUNJAKARTA.COM - Sebanyak 63 polisi kini berstatus terperiksa oleh Inspektorat Khusus (Itsus) karena diduga melanggar kode etik pada penanganan kasus pembunuhan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Puluhan polisi itu seolah menjadi geng tersangka Irjen Ferdy Sambo dalam merekayasa kasus pembunuhan Brigadir J.
Dewan Pakar Persatuan Advokat Indonesia (Peradi), Usman Hamid mendesak Polri intuk mengungkap identitas ke-63 polisi tersebut.
Selain itu, Usman juga mendesak agar Polri segera menerapkan jeratan pidana pasal 233 KUHP dan 52 KUHP jika terbukti melakukan obstruction of justice.
Pasalnya, dugaan pelanggaran etik terhadap puluhan korps Bhayangkara itu lantaran merusak tempat kejadian perkara (TKP), menghilangkan barang bukti hingga menghambat penyidikan, sama dengan tindakan obstruction of justice.
Kabar terakhir, Polri menempatkan 35 personel dari 63 yang terperiksa ke dalam tempat khusus (patsus) untuk pemeriksaan lebih lanjut oleh Itsus.
Baca juga: Kapolri Jadi Sasaran Hoaks Ferdy Sambo di Hari Pembunuhan Brigadir J, Orang Dekat Bongkar Tabiatnya
"Serkarang proses penempatan khusus itu terhadap siapa saja. Kenapa menggunakan proses mekanisme patsus, mengapa tidak diproses pidana, mengapa tidak ditahan misalnya tempat penahanan biasa, di Bareskrim," kata Usman di Sapa Indonesia Malam, Kompas TV, Rabu (17/8/2022).
Usman menjelaskan tentang pasal 233 dan 52 KUHP yang jelas dilanggar para terperiksa.
"Kenapa tidak dikenakan pasal-pasal pidana yang jelas-jelas dilanggar. Pasal 233 dan pasal 52 yang tadi saya sebutkan itu jelas memberikan kewajiban khusus kepada setiap pejabat kepolisian, untuk misalnya tidak menghancurkan, tidak merusak atau tidak membikin dan tidak dapat dipakai, tidak menghilangkan barang bukti."
"Jadi melanggar kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu melakukan tidak pidana itu dia memakai kekuasaannya, memakai kesempatan, memakai sarana, memakai pengaruhnya untuk kemudian mengalihkan perkara ini menjadi perkara yang tidak pada fakta sebenarnya," papar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia itu.
"Jadi olah TKP ini tidak prosedural, tidak ilmiah, barang bukti dihilangkan, diceritakan dengan versi informasi yang sepihak tanpa ada barang bukti. Dan ada juga pengaruh lain untuk mempengaruhi bawahan-bawahan yang pangkatnya lebih rendah untuk mengaburkan dan menghalangi penyidikan," tambahnya.

Usman mewanti-wanti agar Polri tidak mengistimewakan sesamanya dalam proses penegakan hukum.
Dia meminta agar identitas 63 polisi yang telah melanggar etik maupun pidana itu dibuka ke publik.
Tidak boleh ada diskriminasi Polri dalam memproses setiap yang bersalah.
"Harus dibuka, dipanggil secara terbuka, dipanggil diumumkan jadwal pemeriksaannya. Diumumkan hasil pemeriksaannya, sebagaimana kepolisian mengumumkan perkara lainnya."