Hari Pahlawan 10 November
Cerita Suripto Pejuang Serangan Umum Surakarta: Jadi Dokter Ikhlas, Masih Ingat Pesan Slamet Riyadi
Dari sekian pertempuran, Suripto di usia 91 tahun masih ingat dan antusias bercerita Serangan Umum Surakarta atau Serangan Umum Empat Hari.
Penulis: Satrio Sarwo Trengginas | Editor: Y Gustaman
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Satrio Sarwo Trengginas
TRIBUNJAKARTA.COM, JAKARTA - Dari sekian pertempuran, Suripto di usia 91 tahun masih ingat dan antusias bercerita Serangan Umum Surakarta atau Serangan Umum Empat Hari.
TribunJakarta.com mengangkat cerita Suripto bertepatan dengan Hari Pahlawan yang jatuh pada 10 November.
Para pejuang, pelajar dan mahasiswa menerapkan perang gerilya saat melancarkan Serangan Umum Surakarta yang berlangsung pada 7 sampai 10 Agustus 1949.
Berdasar catatan sejarah, Serangan Umum Surakarta digagas di kawasan Monumen Banjarsari, Surakarta. Para pejuang berkumpul di Desa Wonosido, Kabupaten Sragen, untuk menyusun ide serangan.
Baca juga: Kenangan Ngeri-ngeri Sedap Masa Kecil Soepiah, Bawa Peti Isi Granat Buat Pejuang RI
Mereka yang tergabung dalam peristiwa itu dikenal sebagai tentara pelajar. Suripto saat ikut perang menginjak usia 16 tahun dan masih duduk di bangku kelas 2 sekolah guru.
Ia tergabung dalam barisan IPPI (Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia) yang bertugas mengurus administrasi pejuang, logistik dan pendukung pasukan.
Pria kelahiran Semarang 5 November 1931 di usia senjanya lebih banyak terbaring di kasur di rumahnya kawasan Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Rabu (9/11/2022).
Tampak sebuah selang menempel di hidung Suripto. Dengannya obat dari dokter tersalurkan ke dalam tubuhnya. Giginya sudah tak sekuat dulu untuk mengunyah.
Jika menemui tamu atau mobile di sekitar rumah, Suripto dibantu sang anak didudukkan di kursi roda, seperti saat menerima TribunJakarta.com. Pendengarannya sudah tak awas seperti muda dulu.
Baru-baru ini ia terserang stroke sehingga membuatnya sulit berkomunikasi dan berjalan.
TribunJakarta.com tak menyangka, semangat Suripto menggebu-gebu, bahkan minta dipakaikan seragam veteran miliknya, sebelum bercerita masa perang dulu.
Suripto tak sendiri, ia ditemani anak sulungnya, Imam (58), seolah menjadi penerjemah. Dari Imamlah cerita Suripto dapat jelas dan mendapatkan konteksnya.
Sebagai tentara pelajar Suripto tergabung dalam Batalyon 55, Brigade V Panembahan Senopati, Divisi III, di bawah komando Letkol Igatius Slamet Rijadi, atau akrab disebut Slamet Riyadi.
Setelah Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, Slamet Riyadi memimpin tentara Indonesia dalam Serangan Umum Surakarta di mana Belanda saat itu ingin kembali menjajah Indonesia.