Tarung Digital dan Tarung Horizontal
Media ini membuat masyarakat terkonversi menjadi nitizen yang berkarakter individualistis dan kehilangan rasa kebersamaannya.
Penulis: Prof. Redi Panuju, Guru Besar Ilmu Komunikasi di Universitas Dr Soetomo Surabaya
Pikiran ini saya mulai dari tulisan salah seorang anggota Dewan Pers, Dr Agus Sudibyo dalam bukunya Tarung Digital (2022), yang menegaskan meronanya polarisasi dalam masyarakat tak lepas dari sifat media baru (khususnya media sosial) yang cenderung sangat liberalis. Media ini membuat masyarakat terkonversi menjadi nitizen yang berkarakter individualistis dan kehilangan rasa kebersamaannya sebagai kolektif sosial apalagi kolektivitas sebagai bangsa. Dalam konteks penggunaan media menyebabkan khalayak sangat individualis dan kehilangan altruismenya.
Media baru ini memberikan kemudahan masyarakat dalam memproduksi makna, mereproduksi makna, dan juga mendistribusikannya, tidak ada kesempatan untuk menghela nafas barang sejenak ketika memaknai sesuatu, segalanya didorong oleh keinginan hawa nafsu berupa keinginan dan keyakinan. Tak ada kontemplasi. Tak ada pertimbangan apakah yang diperbuatnya membuat orang lain tersinggung, tersakiti, terzalimi, atau tersisih dari eksistensi. Pokok “aku”, yang penting “aku” terpuaskan, hal inilah yang acapkali suatu informasi mendistorsi tujuan kolektif seperti hidup dalam harmoni meski penuh rona-rona perbedaan. Bahkan informasi yang awalnya bertujuan mulia karena ekspresinya ditunggangi nafsu kebencian, nuansanya jadi berubah menjadi destruktif, karena itulah meskipun media baru memberikan banyak kemudahan dalam mengakses dan menyebar luaskannya, akhirnya menimbulkan masalah sosial (ekses).
Apalagi ketika media baru ini banyak digunakan oleh kekuasaan atau pengais kekuasaan, liberalisasi mempercepat dan meningkatkan eskalasi poralisasi. Para pengais kekuasaan berlomba memanfaatkan media baru untuk merengkuh pengakuan sosial, sebagai awal basis legitimasi politik. Sayangnya, cara yang digunakan juga tak lepas dari “pokoknya aku”. Dunia buzzer memperkeruh suasana hingga polarisasi menyeruak ke akar rumput. Mengapa akar rumput kehilangan kesadaran kemanusiaannya sehingga ruang selektivitas (filter) informasi jebol? Karena media baru ini memang tidak memberi kesempatan hati dan nurani untuk menimbang-nimbang informasi. Bukan pada masalah benar atau tidaknya fakta pada informasi itu, tetapi lebih karena fanatisme terhadap “aku” mendominasi kesadaran kritisnya, sehingga nalar sehat tidak lagi berfungsi. Media ini menciptakan dunia yang oleh Baudrillard disebut realitas semu (hiper realitas). Dunia yang penuh rekayasa tetapi dianggap justru sebagai realitas yang sesungguhnya (the real of reality).
Nafsu untuk mempengaruhi khalayak dengan serba rekayasa itu banyak dilakukan oleh para elite (karena alite yang memiliki kepentingan menggunakan informasi sebagai sumber legitimasi). Sayangnya kematangan budaya masyarakat dalam partisipasi politik belum beranjak dewasa. Cara masyarakat dalam partisipasi masih dilingkupi budaya patronase bahkan parochial cultural. Coraknya masih melu grubyuk ora ngerti negermbuk. Pokoknya mengikuti kata patronnya. Patron ke selatan ya ikut ke selatan. Patron masuk jurang rela ikut masuk jurang. Karena itulah ketika di lingkaran atas terpolarisasi, di bawah juga ikut terpolarisasi. Inilah bahayanya media sosial jelang tahun politik. Terutama jelang pemilihan Presiden 2024, nuansa polarisasi itu semakin nyata.
Endorse mengendorse menjadi awal multi polar dalam masyarakat. Apalagi di level akar rumput, endorse kepada figur tertentu nuansanya diikuti dengan latar belakang sosial, agama, dan bahkan demografis (seperti Jawa-Luar Jawa atau Indonesia Asli- Indonesia Naturalisasi). Ini cenderung tidak mendewasakan budaya politik dan tidak mendawasakan demokrasi. Dalam kumparan hiruk pikuk endorse mengendorse ini cenderung melupakan debat gagasan yang lebih berguna bagi kemajuan bangsa.
Kita tidak bisa mengandalkan masyarakat yang bijak menggunakan media, karena kontruksinya sudah terlanjut liberal dan polar. Himbauan apa pun atau oleh siapapun tokohnya tak terlalu penting, masyarakat berlaku seperti pada mulanya. Menurut saya, sekarang saatnya para pemimpin memberi contoh sebagai model yang patut ditiru supaya bijak dalam berkata kata dan bijak pula dalam memakai media. Kurangi tarung digital mulailah menebar kesejukan, jangan masyarakat yang selalu dikambinghitamkan.
5 Fakta Wahyudin Moridu Anggota DPRD Gorontalo Viral Ucap 'Kita Rampok Uang Negara': Hartanya Minus |
![]() |
---|
5 Fakta Kakak Adik di Parung Bogor Gantian Sepatu dan Seragam Sekolah: Ayah Meninggal, Ibunda ODGJ |
![]() |
---|
Stok BBM Kosong, VIRAL Karyawan Shell Foto Bareng Teman Tiba-tiba Sendirian: Oh Iya Dirumahin Semua |
![]() |
---|
Viral! Mobil Tabrak Satpam dan Tiang Listrik di Jakbar, Sopir Ngaku Salah Injak Pedal |
![]() |
---|
Kondisi Terkini 7 Orang Korban Ledakan Misterius di Tangsel, Ada Ibu Hamil dan Balita |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.