Pekan Kelam di Jakarta Timur, Siswi SD dan Balita Dicabuli Kakek-kakek
Dalam satu pekan terakhir saja terdapat dua kasus pencabulan yang menimpa dua anak di Jakarta Timur, yakni di wilayah Kecamatan Jatinegara dan Ciracas
Penulis: Bima Putra | Editor: Satrio Sarwo Trengginas
Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra
TRIBUNJAKARTA.COM, JATINEGARA - Kasus kekerasan seksual terhadap anak di Jakarta Timur dalam beberapa waktu terakhir menjadi catatan serius bersama yang perlu dicegah agar tidak kembali terulang.
Dalam satu pekan terakhir saja terdapat dua kasus pencabulan yang menimpa dua anak di Jakarta Timur, yakni di wilayah Kecamatan Jatinegara dan Kecamatan Ciracas.
Kasus pertama yakni pencabulan terhadap dua siswi sekolah dasar (SD) yang dilakukan kakek berinisial U (72) di wilayah Kecamatan Jatinegara pada Jumat (11/8/2023) siang.
U yang tercatat warga Kecamatan Jatinegara tersebut melakukan pencabulan terhadap dua siswi SD di kawasan tempat dia biasa menjajakan jasa reparasi jok dan sofa keliling.
Tapi saat dihadirkan dalam ungkap kasus di Mapolres Metro Jakarta Timur pada Senin (14/8/2023), U dengan santai menyatakan bahwa ulahnya tersebut sebagai tindakan bercanda.
"Bercanda saja. Saya punya sembilan anak, cucu banyak, tujuh," kata U saat ditanya alasan melakukan tindak pidana pencabulan di Mapolres Metro Jakarta Timur, Senin (14/8/2023).
Padahal dari hasil pemeriksaan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Metro Jakarta Timur, saat melakukan ulah biadabnya U sempat mengancam korban agar tak mengadu.
U mengancam akan melakukan penganiayaan dan membunuh bila korban melaporkan ulahnya kepada orang tua, sehingga korban kini trauma dan harus menjalani pendampingan psikologis.
"Motifnya si kakek ini memang mengakui perbuatannya, yang mana dia merasa ada nafsu melihat anak-anak. Dengan alasan, dia suka," ujar Kanit PPA Polres Metro Jakarta Timur, Iptu Sri Yatmini.
Kasus kedua menimpa seorang bayi di bawah lima tahun (balita) berinisial H (4) yang dilakukan seorang kakek, B (66) pada musala di wilayah Kelurahan Cibubur, Kecamatan Ciracas.
B mencabuli korban yang masih tinggal dalam satu kawasan sama sebanyak dua kali pada Sabtu (12/8) dan Minggu (13/8/2023) usai menunaikan Salat Zuhur berjemaah.
Saat dihadirkan dalam ungkap kasus di Polres Metro Jakarta Timur, B mengaku ulah biadabnya tersebut dilakukan dengan menarik korban ketika sedang bermain di sekitar musala.
"Saya enggak kasih duit atau apa (iming-iming ke korban agar menurut), langsung saya tarik saja. Enggak saya ancam," kata B di Mapolres Metro Jakarta Timur, Selasa (15/8/2023).
Kala kejadian H tengah bermain bersama seorang anak perempuan sebayanya berinisial G, tapi G dapat selamat dari pencabulan dilakukan B di bagian dalam musala tersebut.
Korban pun sudah berupaya melakukan perlawanan dan memberontak, tapi B terus melakukan ulahnya dengan memanfaatkan kondisi musala yang saat kejadian sedang sepi.
"(Korban) Sempat memberontak, melawan. Tapi saya tetap melakukan, cuman dipegang-pegang doang," ujar B.
Dari hasil pemeriksaan dilakukan penyidik Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) Satreskrim Polres Metro Jakarta Timur, B sempat mencium dan memegang alat vital H.
Tindakan cabul dilakukan B baru berakhir setelah H dapat meloloskan diri dari sergapan pelaku, lalu bergegas melarikan diri bersama G keluar dan melapor kasus kepada orang tuanya.
"Saya khilaf. Waktu kejadian di pikiran enggak terbesit apa-apa. Itulah khilaf. Saya sudah punya tiga cucu, cucu tidak saya perlakuan seperti itu," tutur B.
U dan B kini memang sudah ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Pasal 76E jo 82 UU Nomor 35 Tahun 2014, keduanya ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Persoalannya adalah bagaimana mencegah agar tidak ada kasus serupa lainnya, terlebih kekerasan seksual terhadap anak justru dilakukan oleh orang-orang terdekat anak.
"Memang perlu dipahami bersama predator atau pelaku tindak kekerasan seksual terhadap anak ya kebanyakan orang terdekat, orang yang dikenal baik," kata Kanit PPA, Iptu Sri Yatmini.
Artinya lingkungan terdekat yang harusnya menjadi tempat paling aman untuk anak tumbuh justru tidak aman, sehingga orang tua perlu meningkatkan kewaspadaan dan pengawasan.
Memasang CCTV pada area sekolah dan ruang terbuka publik tempat anak-anak bermain dapat menjadi upaya untuk mencegah terjadinya kasus kekerasan seksual terhadap anak.
"Di lingkungan atau pun tempat ibadah, sekolah untuk lebih safety banyak dipasang CCTV sehingga kami pihak kepolisian bisa terbantu dengan adanya rekaman CCTV," ujar Sri.
Persoalan lainnya dalam masyarakat masih ada pandangan bahwa kasus korban kekerasan seksual dialami anak merupakan aib, sehingga orang tua enggan melapor ke polisi.
Pada kasus pencabulan dilakukan U (72) misalnya, dari dua siswi SD yang menjadi korban baru satu orang tua korban yang melaporkan kasus ke SPKT Polres Metro Jakarta Timur.
Padahal laporan kasus tidak hanya agar pelaku dapat diproses hukum, tapi juga agar korban dapat mendapatkan pendampingan psikologis untuk memulihkan trauma.
"Orangtua harus berani speak up, yang mana ini bukan aib. Kalau bahwasanya korban kekerasan seksual adalah aib salah besar, itu bukan aib. Itu harus kita proses sesuai UU yang berlaku," ujar Sri.
Masyarakat pun harus memberikan dukungan kepada anak korban kekerasan seksual agar dapat pulih, bukan justru mengucilkan terlebih menyalahkan korban atas kasus dialami.
Dalam kasus pencabulan dilakukan U dan B, Unit PPA Satreskrim Polres Metro Jakarta Timur sudah memberikan pendampingan sosial dengan melibatkan KemenPPPA dan Kementerian Sosial.
Tapi selain pendampingan psikologis terhadap korban, butuh upaya serius agar pelaku kekerasan seksual terhadap anak yang sudah dihukum tidak lagi melakukan ulahnya usai dihukum.
Pasalnya, secara umum perlu dicatat bahwa kasus predator seksual anak yang sudah dipenjara kembali berulah setelah menjalani masa hukuman atas vonis pengadilan di bui.
Kasat Reskrim Polres Metro Jakarta Timur, AKBP Dhimas Prasetyo menuturkan perlu kerja sama antara lembaga pemerintah untuk mencegah agar pelaku kekerasan seksual tidak berulah usai dipenjara.
"Kami harap bagi pihak-pihak terkait, nanti akan koordinasi (penanganan) terhadap pelaku kasus pencabulan. Enggak hanya dihukum secara fisik di penjara, selesa, keluar berbuat lagi," kata Dhimas.
Butuh rehabilitasi sosial agar pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak kembali melakukan ulahnya setelah dipenjara, hal ini perlu menjadi catatan serius bersama.
Mengingat secara umum kasus kekerasan seksual terhadap anak dari tahun ke tahun selalu terjadi, sehingga perlu dibuat prosedur penanganan lengkap agar pelaku tidak kembali berulah.
"Harus ada pemulihan mental, enggak cuman (untuk) korban, tapi pelaku (kekerasan seksual). Jangan sampai keluar setelah jalani hukuman jadi predator seksual," tutur Dhimas.
Pencegahan dan penanganan ini yang harus jadi catatan bersama semua pihak bila tidak ingin hanya dapat berharap agar kasus kekerasan seksual terhadap anak terus terjadi.
Baca artikel menarik lainnya TribunJakarta.com di Google News
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.